Cerita tentang "Pork Barrel Project"




Di satu kafe di sekitar Sarinah, saya bertemu dengannya. Dia datang jauh dari satu daerah di kawasan timur. Dia sudah hampir sebulan di Jakarta. Dia telah bertemu banyak petualang politik. Dia butuh selembar rekomendasi untuk pilkada.

Namun hingga dua minggu gerilya, dia belum menemukan lampu hijau. Di mata saya, dia cukup cerdas. Dia punya visi yang bagus. Pintar meyakinkan orang lain. Lantas, dia kurang apa?

Di tengah isu corona dan banjir, Jakarta ibarat lampu petromax yang terus didatangi laron politik dari semua daerah. Tahun ini, Indonesia akan menggelar ratusan pilkada serentak. Mayoritas calon kepala daerah kini memenuhi Jakarta demi berebut rekomendasi dari partai politik.

Selembar rekomendasi itu ibarat tiket yang diperebutkan dengan berbagai cara. Pemilik partai adalah pemilik kuasa yang dikejar-kejar demi selembar tiket. Para calon kepala daerah itu harus datang memelas, membawa banyak upeti, juga memberikan garansi kalau mereka akan menang.

Partai politik jelas ingin menang. Sebab hanya kemenangan yang akan membawa masa depan bagi partai itu. Seorang kepala daerah punya kuasa mengubah suara partai. Dia punya jejaring yang jika bergerak akan membawa berkah bagi partai.

Demi mengetuk pintu partai politik, maka ada dua syarat penting yang wajib dipenuhi.

Pertama, Anda punya jejaring pada pengambil kebijakan di partai. Jejaring adalah koentji. Anda mesti punya pintu masuk untuk mengetuk pengambil kebijakan di semua partai politik.

Maka beruntunglah mereka yang pernah berorganisasi dan mengenal petinggi partai itu sejak belia. Bersyukurlah mereka yang aktif di organisasi massa –misalnya NU, Muhammadiyah, dan KAHMI-- sehingga punya gerbong besar untuk mengajukan namanya sebagai kepala daerah.

Kedua, Anda harus punya uang. Anda harus memperlihatkan saldo rekening sebagai garansi bisa menggerakkan tim pemenangan. Anda mesti meyakinkan partai kalau Anda punya uang untuk menang, bisa memberi manfaat bagi partai, serta bisa membantu kerja-kerja partai.

Bagaimana jika tidak punya uang? Gampang. Anda cukup mendapat garansi dari pemilik bisnis besar, taipan, atau konglomerat. Mereka yang akan membayar semua pintu partai. Bukan rahasia lagi jika ada partai politik yang memasang tarif untuk setiap kursi di parlemen.

“Saya merasa beruntung karena dibantu pengusaha besar,” kata sosok di hadapan saya ini.
“Apa yang kamu janjikan?”
“Tidak ada. Kami punya visi yang sama untuk membangun daerah,” katanya.

Saya terdiam. Di pikiran saya melintas pendapat akademisi Edward Aspinall tentang pork barrel projects atau proyek gentong babi. Kata Aspinall, seorang politisi dan kepala daerah sering menjanjikan proyek-proyek pembangunan.

Proyek ini biasanya melibatkan lobi-lobi, jaringan, serta kongkalikong dengan pengusaha. Politisi butuh pengusaha untuk membiayai agendanya. Pengusaha butuh politisi untuk melicinkan jalannya menguasai proyek di daerah.

Saya juga ingat peneliti Michael Buehler. Hampir semua proyek-proyek pembangunan selalu dikerjakan oleh kontraktor atau perusahaan yang dekat dengan seorang kepala daerah. Itu semacam proyek balas budi. Pepatah “no free lunch” berlaku di sini.

“Yos, kamu mau minum apa? Wine yaa”



0 komentar:

Posting Komentar