Apakah Bahasa Inggris Segala-galanya?



Sahabat saya Emilius baru saja meraih gelar doktor di Belanda. Saya melihat fotonya yang mengenakan pakaian bernuansa etnik Dayak saat ujian promosi. Betapa saya bangga dan bahagia melihatnya.

Pernah, pada satu masa saya dan Emilius berada di kelas bahasa Inggris yang sama. Saya dan Emil lulus beasiswa yang tidak mensyaratkan kemampuan bahasa Inggris. Kami benar-benar memulai semuanya dari nol. Kami orang kampung yang lebih fasih bahasa daerah, ketimbang bahasa asing.

Di sekolah menengah kita, bahasa Inggris adalah pelajaran tersulit, bersanding dengan matematika. Generasi saya mendapatkan pelajaran bahasa Inggris sejak SD hingga perguruan tinggi. Lucunya, bisa dihitung jari yang bisa menggunakan bahasa ini secara fasih.

Mengapa? Banyak faktor bisa disebutkan. Yang saya amati, pelajaran bahasa Inggris di sekolah-sekolah serupa matematika yang penuh rumus hafalan. Tenses dihafal mati, tanpa tahu kapan dan bagaimana harus digunakan. Jika saja pelajaran bahasa Inggris dikembalikan pada fitrahnya sebagai cara berkomunikasi dan penyampai pesan, pasti akan lebih asyik.

Yang saya amati, setiap kali ada orang yang belajar dan mendemonstrasikan kemampuan bahasa Inggrisnya yang terbata-bata, sering kali banyak orang meledek dan mengolok-olok. Bahkan sekelas Presiden Jokowi pun akan dirundung dan ditertawakan. Dia dianggap tidak cakap. Dia dianggap bodoh.

Padahal, bahasa Inggris kan bukan bahasa kita. Ketika kita tidak pandai, itu hal yang biasa saja. Malah itu menunjukkan bahwa kita sangat Indonesia. Kita sangat nasionalis. Kita mencintai bangsa ini sampai-sampai untuk bahasa sehari-hari kita nyaman dengan bahasa Indonesia.

Harusnya kita bangga sebagai orang Indonesia. Kita adalah bangsa yang warganya menguasai banyak bahasa. Selain bahasa Indonesia, sebagian besar dari kita menguasai beberapa bahasa lokal, lengkap dengan dialeknya. Saya sendiri menguasai lima bahasa, tiga di antaranya adalah bahasa daerah.

Lain halnya saat berada di luar negeri. Saat kita terbata-bata berbahasa Inggris, tak ada satu pun orang yang menertawakan. Malah, orang bule sangat mengapresiasi. Malah banyak yang memuji sebab kita bisa bisa berkomunikasi dengan bahasa Inggris, sementara mereka sama sekali tak bisa bahasa kita.

Sejauh pengamatan saya, bahasa Inggris bukan segala-galanya di kelas-kelas perkuliahan luar negeri. Biarpun Anda tak begitu fasih, tapi ketika Anda menyampaikan sesuatu yang penuh substansi, orang-orang akan sangat menyimak. Semua akan memberi apresiasi.

Sebaliknya, bahasa Inggris hebat tak selalu jadi garansi kesuksesan di kampus-kampus luar. Saya mengenal beberapa orang kaya yang bahasa Inggrisnya kayak bule. Mereka  punya akses sekolah di luar. Prestasinya biasa saja. Nilainya pas-pasan.

Mengapa? Sebab mereka hanya menekankan kemampuan bahasa, tanpa menghadirkan keunikan, orisinalitas, dan pengalaman. Mereka tak menghadirkan gagasan yang berbeda dan menggerakkan.

Logikanya, biar Anda jago bahasa Inggris, tapi jika Anda tak tahu hendak membicarakan apa, maka itu sama saja dengan nol. Sementara di saat bersamaan, ada yang tak lancar bahasa Inggris, tapi saat itu mencoba menyampaikan sesuatu gagasan yang substansial dan bernas, yang  bersumber dari pengalaman serta refleksi yang kuat, maka pastilah akan mendapatkan apresiasi.

Bahasa Inggris hanya cara untuk menyampaikan ide, sesuatu yang amat penting dan lahir dari kontemplasi dan interpretasi atas kenyataan. Bahasa hanyalah jalan tol agar kendaraan gagasan bisa meluncur di lalu-lintas ide. 

Yang tak kalah penting adalah gagasan serta keberanian untuk menyampaikannya, yang meskipun dalam kondisi yang terbata-bata, tetap tidak kehilangan substansinya. Pandangan yang menilai bahasa segala-galanya adalah pandangan yang amat picik. Tanya kawan-kawan di luar sana. Betapa banyak mahasiswa Asia yang datang dengan kemampuan bahasa yang pas-pasan, tapi bisa eksis malah bisa sukses.

Seseorang mesti memiliki ide-ide, serta kemampuan bertahan atau daya-daya survival dalam menghadapi berbagai tantangan. Tanpa kemampuan itu, kemampuan bahasa jadi tak ada apa-apanya. Malah, kalaupun dipaksakan ngomong, yang muncul adalah bualan atau omong besar yang tidak didasari penalaran yang jernih.

Belajarlah pada Bong Joon Ho, sutradara Korea yang meraih Oscar berkat film Parasite. Kreativitas adalah nomor satu, sedangkan bahasa adalah nomor kesekian.

Ada satu kisah menarik yang saya baca di buku Rhenald Kasali. Sewaktu dia belajar di Amerika, anaknya ikut belajar di satu sekolah dasar di sana. Anaknya tak fasih bahasa Inggris. Tapi saat akhir semester, anaknya malah dapat nilai tinggi. Rhenald tak percaya. Dia mendatangi sekolah untuk protes.

“Bapak dari mana?” tanya guru yang mengajar anak Rhenald.
“Saya dari Indonesia” kata Rhenald.
“Ooo pantas bapak protes. Di sini kami tidak melihat hasil. Kami melihat proses. Anak bapak punya start yang berbeda dengan anak lain. Tapi dia tidak pernah menyerah. Dalam keterbatasannya, dia menunjukkan upaya yang lebih keras dan lebih semangat dari anak-anak lain. Kami sangat mengapresiasinya,” kata guru itu.

Saya menangkap satu embun jernih. Bahwa penting bagi seseorang untuk menemukan semangat dan motivasi kuat untuk menggapai mimpinya. Saat seseorang tahu tujuan, punya mimpi-mimpi, maka dia akan menemukan kaki-kaki untuk bergerak. Semesta akan memeluk semua mimpinya. Dia akan bisa menaklukkan apa pun, termasuk bahasa.

Saya telah melihatnya pada beberapa sahabat. Mulai dari Nahad Baunsele di Pulau Timor, Oemar Werfete di Papua, hingga Emilius yang baru saja meraih doktor. Mereka telah mengubah semua keterbatasan menjadi kekuatan.

Saya bangga mengenal mereka.


2 komentar:

Amaluddin Sope mengatakan...

Keren Bang

Unknown mengatakan...

Mantapa

Posting Komentar