Antologi Rasa Kuliner MINANG


berpose di Bukittinggi

“Di jengkal mana pun di tanah air, pasti kamu akan ketemu masakan Padang. Pasti lebih enak di sini,” kata Malik. Sepanjang jalan dari Bandara Minangkabau menuju jantung kota Padang, dia tak henti bercerita tentang lezatnya kuliner Minang. Sebagai driver ojol berpengalaman, dia bisa menebak kalau saya baru pertama kali ke tanah Minang.

Minang identik dengan kuliner yang jejak kelezatannya abadi di lidah. Di berbagai kota dan kabupaten yang saya jelajahi, selalu saja ada kuliner Minang. Beberapa bulan lalu, saya singgah ke Kefamenanu, wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste. Lagi-lagi, saya menemukan kuliner Minang yang amat nikmat di situ.

Setelah berpisah dengan Malik, saya mengontak seorang kawan. Saya minta informasi di mana tempat makan paling nikmat di Padang. Dia menyebut banyak nama restoran dan lokasinya. Terdekat adalah Restoran Lamun Ombak. Saya pun bergegas ke situ.

BACA: Kopi Ternikmat di Dunia

Lamun Ombak mengingatkan saya pada Restoran Sederhana yang bertebaran di banyak kota. Suasananya ramai. Di sini ada keramaian ala kedai nikmat di kampung-kampung, tetapi konsepnya modern dan bersih.

Baru masuk, saya sudah terkesima melihat kuliner yang dipajang di kaca-kaca. Prosedurnya sama dengan restoran Minang lain. Pengunjung duduk di meja, kemudian pelayannya datang dengan piring yang bersusun di lengannya, kemudian meletakkan semuanya di meja.

Saat mencicipi, saya mengamini kalimat Malik yang diucapkan saat berpisah. Di tanah Minang, hanya ada dua rasa makanan yakni enak dan enak sekali. Kuliner Minang memang lebih enak di kampung halamannya sendiri. Saya mengakuinya.

Sebagai periset, saya melihat budaya hadir dalam bentuk pengetahuan serta gagasan yang berisikan resep-resep dan pedoman, diwariskan dari generasi ke generasi, senantiasa berubah sesuai dengan konteks zamannya.

Sebagai satu khazanah budaya, kuliner Minang terus berkembang di sepanjang zaman, serta terus mengalami penyesuaian di sana- sini. Di banyak daerah, rasa kuliner Minang selalu berbeda sebab menyesuaikan dengan bahan serta lidah orang setempat.


menu di Restoran Lamun Ombak, Padang

Di tanah Minang, saya menemukan rasa yang orisinal. Saya merasakan nikmat yang tidak biasa sebab di sinilah semuanya bermula.  Mengapa orang Minang suka makanan pedas?

“Rasa pedas itu terkait dengan asal-usul orang Minang,” kata seorang pelayan. Dia bercerita tentang luhak nan tigo, atau asal-usul orang Minangkabau dari tiga lokasi, yakni Luhak Agam, Luhak Limapuluh Kota dan Luhak Tanah Datar.

Ketiga daerah itu dikenal sebagai dataran tinggi, yang disebut darek. Daerah itu dikelilingi hawa dingin sehingga masyarakat membutuhkan sesuatu yang hangat. “Makanya, selalu ada resep cabai di masakan Minang. Mereka butuh menghangatkan badan sebab hawa dingin menusuk-nusuk,” katanya.

BACA: Saat Baronang Melintas di Wakatobi

Biarpun kuliner Minang sudah menjelajah ke seluruh wilayah Asia hingga Amerika, rasanya masih bisa dikenali. Jenis menunya selalu sama. Ada semacam konsensus tentang masakan Padang. Selalu saja ada makanan bersantan, bergulai, dan rendang. Catatan sejarah menyebutkan, orang Minang sudah berabad-abad memasak makanan bersantan seperti rendang dan gulai.

Dalam buku The History of Sumatra (1784), William Marsde mencatat tentang dua tumbuhan paling penting di Sumatera yakni padi dan kelapa. Kini, keduanya menjadi bahan pokok semua kuliner Minang. Kelapa menjadi santan untuk membuat aneka gulai.

Pernah saya membaca komentar Gusti Asnan, guru besar sejarah Universitas Andalas, yang menyebutkan tentang catatan Jenderal Hubert Joseph de Stuers, panglima militer dan residen Padang pada masa Belanda, tahun 1827. De Stuers bercerita mengenai “teknik membuat masakan menggunakan kelapa yang dihaluskan.” Ini mengarah ke rendang. Artinya, rendang sudah ada sejak dulu.

Namun, kuliner Minang juga menunjukkan adanya pertautan dengan berbagai kebudayaan lain. Sejak lama, Minangkabau menjalin hubungan dengan Afrika dan India. Mereka dihubungkan oleh arus angin yang memandu para pelayar untuk saling mengunjungi.

Bahkan penjelajah Tome Pires dalam Summa Oriental menyebutkan koneksi kuat antara pantai barat Sumatra dengan Afrika dan India yang berlangsung di Pelabuhan Tiku, kini ada di Agam.  Hubungan itu bisa dilihat dari tradisi dan ritual budaya.



Dalam hal kuliner, gulai yang ada di Minang diduga kuat dipengaruhi oleh India. Bedanya, India tidak memakai santan, melainkan yoghurt dan kacang-kacangan, sebagai bahan pengental.

Dalam satu publikasi, saya pernah membaca uraian Gusti Asnan mengenai sejarah restoran Minang. Menurutnya, di zaman kolonial, Padang adalah pusat administrasi Gouvernement Van Sumatras Westkust serta pusat aktivitas ekonomi. Semua hasil bumi Sumatra dibawa ke Padang untuk dipasarkan.

Pada masa itu, perjalanan dari daerah-daerah semisal Bukittinggi menuju Padang dilalui dengan kuda beban dan pedati. Makanya, selalu ada etape bagi pedati untuk berhenti. Dari Bukittinggi ke Padang terdapat enam etape. Di situ, pejalan akan istirahat, kemudian singgah makan. Dari sinilah awal mula Restoran padang.

“Mengapa masakan Minang bisa ditemukan di seluruh penjuru Nusantara?” Pelayan di Lamun Ombak ini tersenyum.  “Sebab orang Minang suka merantau. Mereka berkelana ke mana-mana dan membawa kuliner yang diharapkan bisa tahan berhari-hari. Itulah rendang dan sebangsanya,” katanya.

Saya masih ingin bertanya lagi. Tapi dia sudah bergegas untuk kembali bekerja. Saya ingin tahu mengapa orang Minang suka merantau, serta bagaimana proses internasionalisasi kuliner Minang sehingga rasanya selalu akrab di lidah.

Saya memilih lanjut menikmati hidangan.

*** 

Di satu sudut kota Padang, saya bertemu budayawan Edy Utama. Dia seorang jurnalis, sutradara teater, dan sering mewakili budayawan Minang ke pentas dunia. Dia pernah menjadi Ketua Dewan Kesenian Sumatera Barat.

Kami bertemu di satu kedai kopi, di kawasan Pecinan, tidak jauh dari hotel Kyriad, tempat seorang anggota parlemen menggerebek seorang pekerja seks. Langsung saya tanyakan tentang tradisi merantau.

“Orang Minang sudah merantau sejak berabad silam. Motifnya bukan semata ekonomi, tetapi mereka suka melakukan adventure of mind atau semacam petualangan pikiran ke mana-mana,” katanya.

Bagi Edy, lelaki Minang memang identik dengan perantau. “Lihat rumah gadang. Tak ada ruangan laki-laki di situ. Semua ruangan untuk anak perempuan dan orang tua. Laki-laki lebih banyak di surau dan masjid,” katanya.

Saya ingat para antropolog mengenai Minang. Dalam sistem kebudayaan yang matrilineal, garis keturunan perempuan menjadi lebih penting dari laki-laki. Ruang bagi laki-laki adalah di luar rumah dan sedini mungkin merantau lalu mandiri.

BACA: Wangi Kopi dan Aroma Cengkeh Pegunungan Luwu

Edy mengutip buku Semasa Kecil di Kampung yang ditulis Muhammad Radjab pada tahun 1928. Katanya, setiap tahun, para perantau Minang kembali ke kampung sehingga anak-anak muda mendengarkan kisah mereka mengenai hebatnya tanah rantau.

“Pakaiannya bagus-bagus. Ceritanya memukau, sehingga mereka terpesona. Mereka termotivasi untuk melakukan hal yang sama. Ini alasan kultural. Selain itu ada alasan intelektual yakni melakukan perjalanan intelektual,” katanya.

buku yang ditulis Muhammad Radjab

Saya menyimak tuturan Edy. Seingat saya, Radjab bercerita mengenai perubahan lanskap budaya Minang dari masa ke masa. Pada mulanya, para datuk dan bangsawan menempati strata penting di masyarakat. Banyak orang ingin bermenantukan bangsawan. Saat agama Islam hadir, para kiai dan pemuka agama yang menjadi sosok paling penting. Orang-orang ingin berkeluarga dengan mereka agar bisa masuk surga.

Namun, setelah masuk era kapitalisme, para perantau yang kaya-kaya mulai berdatangan dan menjadi pusat perhatian semua orang. Biarpun asal-usul tak jelas, selagi mereka punya banyak uang, maka mereka menjadi titik perhatian semua orang. Radjab tumbuh dalam situasi ketika merantau dan berniaga agar kaya menjadi idaman semua pria.

Mengacu pada tuturan Edy Utama dan catatan Muhammad Radjab, perantauan itu berlangsung sejak lama demi mobilitas kelas, serta aktivitas ekonomi. Para perantau itu menjual keahlian mereka dalam meracik bumbu sehingga menjadi kuliner yang disukai di mana-mana. Seiring waktu, bisnis kuliner itu terus berkembang sehingga berdampak pada proses penyebaran kuliner Minang ke mana-mana.

Namun, tak bisa pula diabaikan faktor politik di balik proses menusantaranya kuliner Inang. Saya kembali mengutip sejarawan Gusti Asnan yang menyebut adanya peristiwa PRRI di tahun 1961 sehingga terjadi eksodus besar-besaran orang Minang ke berbagai penjuru.

Kata Gusti, orang padang setelah itu peristiwa itu disuruh melapor, dibilangi orang kalah, dan menjadi tahanan di rumah sendiri. “Mereka memilih eksodus ke Jawa, banyak yang mengganti identitasnya, serta selalu ada rasa tidak aman,” katanya.

BACA: Mencicipi Kuliner, Mencicipi Kebudayaan

Proses politik itu menyebabkan orang Minang semakin jauh merantau, semakin jauh berniaga, dan semakin jauh membawa semua pusako minang, termasuk kulinernya sehingga menjadi kuliner kesukaan di mana-mana. Mereka membawa semua cita rasa itu menjadi sesuatu yang universal sehingga kuliner Minang menjadi identik dengan nasionalisme.

Kuliner Minang yang menyebar ke mana-mana telah mengingatkan saya pada konsep ethnoscape dari antropolog Arjun Appadurai yang membahas bagaimana budaya terus bergerak seiring dengan perpindahan manusianya. Kuliner itu tidak lagi menjadi milik orang Minang, tetapi telah lama menjadi identitas nasional kita.

Makanya ketika di tahun 2017, CNN menobatkan rendang sebagai makanan terenak di dunia, nasionalisme kita seakan bangkit. Seluruh anak bangsa Indonesia merasa bangga. Rendang adalah khazanah kuliner yang telah menjadi identitas nasional kita yang menghadirkan kebanggaan. Kita bangga dengan pusako Minang. Kita bangga dengan Indonesia.

Di satu sudut kota Padang, saya menikmati kuliner dengan lahap, selahap-lahapnya.




0 komentar:

Posting Komentar