Terima Kasih Aktivis Amerika


Peggy Gish dan Profesor McGinn saat menggelar aksi Kamisan di Ohio, beberapa tahun lalu

Di persimpangan Court Street, Athens, Ohio, saya melihat perempuan itu membentangkan spanduk bersama seorang lelaki. Di tahun 2013, saya memotret mereka yang sedang melakukan demonstrasi anti perang. Mereka membawa spanduk bertuliskan: “It’s a lie that war is protecting us.”

Mereka melakukan demonstrasi itu setiap Kamis, tanpa pernah libur. Selama bertahun-tahun, mereka melakukannya. Perempuan itu adalah Peggy Gish. Dia adalah istri mendiang aktivis Art Gish yang pernah menjadi tameng hidup saat menghadang tank Israel yang hendak membombardir Palestina. Buku Art Gish berjudul Hebron Journal telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan diterbitkan Mizan.

Sejak Perang Teluk, Peggy dan suaminya memilih jalan aktivisme anti perang demi mengingatkan semua orang kalau perang hanya menyisakan nestapa. Dia memilih jalan damai. Dia berkampanye perdamaian ke seluruh penjuru Amerika.

Hari itu, Peggy ditemani pria tua yang ternyata seorang profesor bernama Profesor McGinn. Di kalangan mahasiswa Indonesia, McGinn cukup populer karena risetnya mengenai tradisi lisan di Indonesia. Dia pun seorang aktivis anti perang yang selalu berkampanye perdamaian.

Saya terkenang keduanya saat menyaksikan situasi Timur Tengah yang kian memanas selama beberapa hari ini. Terbunuhnya seorang jenderal di Iran telah memantik rasa marah. Iran membalas dengan puluhan rudal yang amat presisi menghantam target.

Presiden Amerika Serikat Donald Trump melunak. Saat jumpa pers, Trump malah menyalahkan pemerintah sebelumnya, serta berbicara tentang perdamaian. Padahal, beberapa hari sebelumnya, dia seperti preman pasar yang sedang menggertak. Dia membanggakan peralatan perang, serta kesigapannya untuk menghancurkan situs budaya Iran.

BACA: Peggy Gish dan Setetes Embun

Berkat Twitter, saya jadi tahu bahwa perubahan sikap Trump dipicu oleh tingginya tekanan dalam negeri. Di kota-kota Amerika Serikat, demonstrasi digelar warga yang benci dengan perang. Banyak orang menyampaikan desakan kuat agar negeri itu tidak lagi menggelar perang. Sebab dampaknya bukan hanya ekonomi, tetapi juga anak-anak muda militer yang kemudian menjadi korban.

Salah satu horor bagi orang Amerika adalah menyaksikan peti mati berlapis bendera yang turun dari pesawat, serta upacara kemiliteran. Apalagi kebanyakan prajurit yang dikirim bertempur adalah anak-anak muda dari keluarga menengah ke bawah yang sengaja masuk militer demi memudahkan karier serta jaminan masa depan.

Bahkan mereka yang kembali dari pertempuran pun membawa trauma. Saya membaca di National Geographic edisi Februari tahun 2015, kalau kehidupan mereka tidak berjalan sebagaimana sebelumnya. Mereka sering dicekam ketakutan serta tiba-tiba saja panik dan gelisah. Mereka seakan terbawa pada situasi hidup mati saat berada di medan perang. Butuh banyak terapi untuk memulihkan keadaan mereka seperti sedia kala.

Makanya, saat negeri itu dikabarkan hendak menggelar perang, protes merebak di mana-mana. Para aktivis anti-perang menggelar aksi di mana-mana. Mereka mengirimkan pesan kalau fundasi negeri itu adalah perdamaian, bukan perang dan ambisi dari orang gila yang kini menjabat sebagai presiden.

Di Twitter, saya melihat tayangan pernyataan politisi Bernie Sanders. Mantan kandidat presiden dari Partai Demokrat yang kemudian dikalahkan Hillary Clinton, yang disebarkan ke mana-mana. Bernie menyebut sebanyak 59.000 tentara Amerika yang tewas karena kebohongan. Tahun 2003, tentara dikirim ke Irak untuk menghancurkan senjata pembunuh massal.

“Kita semua tahu kalau itu adalah kebohongan, tapi kita telah kehilangan 4.000 tentara Amerika yang pemberani dan ratusan ribu warga setempat. Saya yakin perang melawan Iran adalah bencana besar. Kita semua tahu dan pernah belajar konstitusi kita. Bahwa pernyataan perang adalah hasil keputusan kongres, bukan presiden,” katanya.

Bernie Sanders kini disebut-sebut sebagai penantang Trump yang paling kuat. Dia diidolakan bayak anak muda sebab membawa gagasan-gagasan sosialisme di negeri yang sangat kapitalis itu. Baginya, ketimbang perang, rakyat lebih membutuhkan jaminan kesehatan, pendidikan yang murah dan merata, serta kualitas hidup yang lebih baik.

Bernie tak sendirian. Gelombang unjuk rasa yang digelar kelompok Act Now to Stop War and End Racism, yang merupakan koalisi anti perang, bergema di mana-mana. Demonstrasi itu digelar di lebih dari 70 kota di Amerika Serikat. Bahkan di depan Trump Tower di Chicago, mereka menggelar aksi protes. Dukungan untuk mereka mengalir dari mana-mana.



Di luar Gedung Putih, sekitar 200 orang berkumpul sebagai bagian dari gelombang demo yang diserukan oleh organisasi-organisasi sayap kiri. Mereka meneriakkan slogan, “Tanpa Keadilan Tidak Ada Pedamaian” dan “Amerika Keluar dari Timur Tengah.”

Saya menyukai postingan Michael Moore, sutradara film dokumenter, di Twitter. Moore mempertanyakan mengapa negerinya harus membunuh Jenderal dari negeri lain. Dia berkata: “Remember—everything you hear from Trump and his cronies about Iran, like everything else he says, is a lie.”

Dia juga bilang: “WOW. Take them up on it, President Trump! No need to prove your manhood! You ARE a MAN! A BIG man! A strongman! Sooo powerful. You won! It was a perfect call! Your crowd was bigger than Obama’s! Women love you! You’re the least racist president ever. End the war tonight! YA BABY!”

Moore malah bergerak lebih jauh. Dia justru menuding Amerika telah melakukan kejahatan internasional sebab membunuh petinggi Negara lain yang datang secara resmi karena undangan.

“What Americans did Soleimani kill? Our troops, who were forced to invade Iraq, a country next to his which had nothing to do with 9/11? No.Our beloved troops were sent there to their deaths by Bush, Cheney &the 29 Democratic Senators who voted to commit this war crime. The Truth.”

Kerja mereka akhirnya berbuah. Presiden Donald Trump berada di ujung tanduk karena derasnya kecaman dan demonstrasi. Dia pun harus menerima fakta mengejutkan kemampuan rudal Iran yang bisa mengenai sasaran dengan presisi.

Jika perang berlanjut, di atas kertas negerinya akan menang. Tapi itu akan dibayar dengan banyaknya korban jiwa yang berjatuhan, serta pemandangan horor berupa peti mati yang berdatangan dari arena perang. Boleh jadi, dia melihat meme yang dibuat pejuang Hizbullah yakni tentara Amerika akan datang tegak, tapi akan kembali dalam keadaan berbaring. Dia tak punya pilihan selain membatalkan rencana perang.

Mereka-mereka yang anti-perang itu adalah sisi lain Amerika yang tidak banyak diketahui penduduk bumi yang lain. Selama ini kita terlanjur percaya pada satu sosok yang seolah mewakili semua. Padahal ada banyak keragaman dan perbedaan pandangan yang saling mempengaruhi semua kebijakan politik.

Mereka pantas mendapatkan ucapan terima kasih dan apresiasi karena telah menunjukkan sisi lain Amerika. Mereka layak mendapatkan penghargaan setinggi mungkin karena telah menjaga nalar dan mengedepankan sisi kemanusiaan. Bahwa manusia bisa berada di ruang politik berbeda, namun selalu berada di barisan yang sama sebagai umat manusia.

Mereka mengajarkan perbedaan. Bahwa ada ratusan juta manusia yang hilir mudik di negeri itu dan membentuk satu mozaik di bawah panji “E Pluribus Unum” atau “Unity in Diversity.” Ada begitu banyak perbedaan pandangan yang kesemuanya saling bersinergi dan membentuk negeri itu hingga sebesar sekarang.

BACA: Di Balik Ketenangan Hassan Nasrallah

Makanya, Amerika Serikat bukanlah musuh. Bahkan Iran pun bukan musuh. Demikian pula Turki, Libya, Kuba, bahkan Venezuela. Tak ada satu pun yang bisa dimusuhi hanya karena perbedaan.

Yang pantas dimusuhi adalah sikap keangkuhan yang merasa diri paling hebat dan berhak mengendalikan orang lain. Yang pantas dibenci adalah rasisme atau pandangan tentang diri yang hebat dan lebih mulia sehingga merasa berhak mengatur hidup orang lain. Yang harus dimusuhi adalah sikap sombong yang merasa lebih tinggi dan lebih hebat dari siapa pun, lalu menindas yang lain.

Saya teringat Peggy Gish. Dia mewakili gambaran tentang sisi lembut dari Amerika Serikat yang anti peperangan. Jika suaminya pernah menjadi tameng hidup dari tank Israel, Peggy pun pernah menjadi aktivis perdamaian di Irak.

Dia mendokumentasikan pelanggaran HAM yang dilakukan tentara AS. Dia pernah bercerita tentang pengalamannya di Irak. Yang berkesan adalah ketika berada di satu kota yang dijatuhi bom.

“Saya bersama mereka saat bom jatuh dan menghancurkan kota. Saya ketakutan sambil bertanya, di manakah kau Tuhan? Apakah Kau sedang bersama mereka yang menderita di peperangan ini?”

Saya mengenang kalimat-kalimatnya. Pernah, saya tak tahan untuk bertanya sesuatu. “Bisakah kita hentikan perang yang serupa virus telah menggerogoti manusia di zaman sekarang?”

Dia tersenyum. “Bisa. Hanya cinta yang mengalahkan semua kebencian. Saya telah membuktikannya. Saya merasakan bagaimana diculik oleh militer AS. Saya merasakan bagaimana cinta kasih adalah embun yang bisa memadamkan segala api amarah yang menyala-nyala.”



7 komentar:

Hapudin mengatakan...

Cerita soal perang yang mengena. Saya mungkin salah satu yang selalu melewatkan berita peperangan antara Amerika dan Iran, karena dalih mereka bukan negara saya.

Tapi setelah membaca artikel ini, saya paham bahwa mengetahui keadaan mereka disana, akan menumbuhkan kecintaan secara sendirinya. Ada ajakan untuk menumbuhkan banyak nilai-nilai kebaikan, yang selama ini banyak diabaikan.

Baizulzaman.wordpress.com mengatakan...

Tulisan bang Yus ini harus dibaca oleh semua orang khususnya mereka yang akhir-akhir ini bergejolak jiwanya untuk berperang. Agar mereka sadar bahwa perang hanya menyisakan duka dan air mata.

Yusran Darmawan mengatakan...

thanks atas pesannya bro. salam.

Yusran Darmawan mengatakan...

iya. banyak yang bersorak jika melihat perang. kayak orang yang lagi lihat sabung ayam. tapi saya yakin semua orang tidak mau terkena dampak perang.

Anwar No’ mengatakan...

Tulisan yang harus di viralkan..
Diera terbuka dimana semua orang bisa terkoneksi, saatnya menebarkan semangat kebersamaan itu.. sekiranya tulisan seperti ini dikirim warga amerika ke warga iran maka para pemimpinnya akan malu sendiri..
amerika adalah pusat pengetahuan dan Iran juga pusat kebudayaan dunia.. akankan dihancurkan oleh manusia arogan dan tak beradab seperti Trump??

Unknown mengatakan...

Perang tidak memberikan solusi, menghancurkan peradaban manusia yg saling cinta kasih, sampaikan HATI dengan cinta.

Unknown mengatakan...

Perang tidak memberikan solusi, menghancurkan peradaban manusia yg saling cinta kasih, sampaikan HATI dengan cinta.

Posting Komentar