Letkol Ratih (depan tengah) berpose dengan rekannya sesama pasukan perdamaian PBB |
Dia tersenyum ketika menyambut kedatangan saya di Gedung Lemhanas, Jakarta. Beberapa kali kami janjian, tapi selalu gagal ketemu. Saya pikir dia seorang militer yang kaku dan selalu serius. Di luar dugaan saya, dia sangat menyenangkan dan selalu punya banyak topik untuk dibahas.
Perempuan itu bernama Letkol Ratih Pusparini. Dia adalah tentara perempuan Indonesia pertama yang terjun dalam misi perdamaian PBB. Tahun 2008, dia ikut dalam misi Pasukan Garuda di Kongo. Dia menjadi military observer.
Sebagai perempuan, dia memiliki akses untuk memasuki wilayah yang tidak bisa dimasuki militer laki-laki. Dia tetap menggunakan pendekatan keibuan ketika berhadapan dengan perempuan dan anak-anak.
“Kami berhasil memasuki satu desa dan mendapatkan informasi mengenai kekerasan seksual di sana. Regu sebelumnya gagal mendapatkan informasi itu karena tidak ada perempuan di sana,” kata perwira TNI Angkatan Udara ini.
Ketika Ratih datang, ibu-ibu dan anak kecil akan mendekat dan bercerita tentang situasi yang mereka hadapi. “Kami adalah mata dan telinganya misi. Begitu ada berita tentang perkosaan dan kriminal, kami selalu datang ke lokasi bersama interpreter. Beda kalau laki-laki, ceritanya lebih banyak maskulin,” katanya.
Demi menunjang misi, Ratih selalu mendatangi orang sakit di seputaran batalyon. Ternyata hal ini sangat berkesan bagi mereka. Pendekatan kemanusiaan ini menjadi jauh lebih berkesan dari yang lain.
Di mana pun berada, pasukan Indonesia selalu berusaha membangun dekatan dengan masyarakat setempat melalui community engagement. Dalam program ini, militer dan sipil sama-sama merencanakan program atau kegiatan yang memiliki misi kemanusiaan.
Di Kongo, Ratih sangat terharu ketika seorang anak mendatanginya, kemudian berkata, “Mam, I wanna be like you! Because of you, we can go to school…" Saat itu, Ratih dan timnya berhasil mengamankan akses jalan sehingga anak-anak bisa pergi ke sekolah. Dia memeluk anak itu.
Kisah hidup yang tak dilupakannya adalah suatu hari pada tahun 2012, dia dihubungi wakil Kementerian Luar Negeri, Desra Percaya. Dia diminta untuk bersiap-siap dikirim ke Suriah, yang saat itu sedang dilanda peperangan.
Lulusan magister dari Monash University, Australia ini, masih mengenang perjalanan dari Libanon ke Suriah yang hanya tiga jam, tapi terasa menegangkan. Dia memakai pakaian militer. Wajahnya terlihat pucat. Seorang driver asal Libanon bertanya: “Mum, you’r okay?” Dia jawab, “I’m not okay.” Driver itu menjawab: “Just call your parents.”
Ratih menelepon ibunya di Indonesia. Dia menitip pesan: “Ma, kalau nanti tidak ada yang menelepon berati saya baik saja. Tapi kalau ada orang lain yang menelepon, ikhlaskan kepergian saya. Saya juga sudah ikhlas jalani semuanya,” katanya. Setelah menelepon dia tersenyum. Dia merasa plong. Pria Libanon itu berkata,” Now you look like an angel.”
Misi itu hanya berjalan selama 4 bulan. PBB memulangkan semua pasukan perdamaian karena situasi yang tidak aman. Beberapa teman Ratih tewas saat sedang menjalankan tugas.
Kini, Ratih menjadi figur inspiratif. Dia menerima penghargaan sebagai Perempuan Inspiratif dari Kedubes Amerika dan beberapa lembaga lainnya. Dia pun menerima UN Medal Honour.
Di hadapan sidang PBB, dia meminta agar perempuan lebih banyak dilibatkan dalam misi operasi perdamaian. Perempuan lebih bisa membaur dengan warga, khususnya ibu dan anak-anak. “Mereka adalah korban paling besar. Sentuhan keibuan lebih dibutuhkan oleh mereka,” kata Ratih di sidang PBB.
Saya menikmati perbincangan dengannya. Dia malah menolak dipanggil Ibu. Dia lebih suka dipanggil Mbak atau Ratih. Saat hendak foto-foto, saya memintanya memakai uniform yang dipakainya saat operasi perdamaian.
“Wah, saya mesti pakai loreng gurun yaa. Mas Yusran ini harusnya jadi komandan karena suka ngarahin-ngarahin.”
Saya tertawa ngakak. Saya pun ikut berpose dengannya. “Kalau di militer, mesti salam komando. Biar sah,” katanya.
Siiiiaaaaaappp!
0 komentar:
Posting Komentar