Ketika #BugisBerduka dan #MinangBerduka Ramai di Twitter


saat Wamena dicekam rusuh (foto: CNN Indonesia)

Dalam beberapa hari ini, kita menjadi akrab dengan tragedi. Perhatian kita berpindah dari isu-ke isu. Di era medsos, kita ibarat bola pimpong yang bergerak ke mana-mana mengikuti arah siapa yang menepuk.

Di mana-mana orang rusuh dan demonstrasi. Ada yang memprotes rancangan undang-undang, ada juga yang protes ketika seorang aktivis digelandang dan diperiksa. Dunia serupa kiamat. Bahkan hari ini, masih banyak yang membela habis-habisan dirinya atas satu perkara yang sebenarnya tengah bergulir.

Namun adakah yang sempat menoleh ke Wamena lalu Oksibil di sana, saat sejumlah orang Bugis dan Minang dibantai, dibakar, lalu diusir dari tanah yang telah menjadi tanah tumpah darahnya?

Di era di mana perhatian kita pada satu topik sangat dipengaruhi seberapa seksi topik itu di panggung internasional, peristiwa di Wamena sana tidak cukup menyita perhatian kita. Tapi di sana, ada puluhan jiwa yang tewas hanya karena dianggap pendatang.

Masih relevankah kita bicara pribumi dan pendatang di era ini? Apakah orang yang sudah tinggal sejak kakek-neneknya masih pantas disebut pendatang? Bisakah mereka yang menganggap tempat itu sebagai tanah tumpah darahnya disebut pendatang?

Sejarah mencatat mereka yang disebut pendatang itu datang hanya dengan selembar pakaian, kemudian mulai membuka lahan sepetak, lalu menyapa semua orang dalam damai. Mereka mencari nafkah,bercocok tanam, dan membagi rezeki dengan warga sekitar. Hingga mereka beranak-pinak lalu kian sejahtera di sana.

Memang, pemerintah bisa saja tak adil pada mereka yang mengaku sebagai penduduk asli. Sering ada laporan tentang isu HAM di sana, apalagi isu ini memang seksi di panggung internasional. Pemerintah lalai ketika mencaplok tanah lalu membiarkan penduduk asli jadi paria di tanahnya sendiri. Pemerintah juga keliru saat tidak punya banyak instrumen kebijakan yang memihak mereka.

Namun, pemerintah juga sama kelirunya ketika membiarkan masyarakat biasa saling bantai sehingga puluhan korban tewas, dan ribuan orang harus mengungsi ke Jayapura. Tugas negara adalah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.”

Kita memasrahkan perlindungan saudara kita di sana pada negara sembari mengetuk solidaritas orang-orang untuk berpaling ke sana. Kita pun berharap agar pemerintah menjamin keamanan dan keadilan, yang berlaku untuk semua kalangan, tanpa memandang etnik dan asal-usulnya.

Namun, apakah ada ruang untuk bicara tentang tragedi kemanusiaan? Apakah bisa bicara kemanusiaan ketika hasrat semua orang tengah berpaling ke politik?

Hari-hari belakangan ini, kita menyaksikan ribuan mahasiswa di berbagai kota rela mempertaruhkan nyawa atas rancangan undang-undang yang sebenarnya masih terbuka celah hukum untuk membatalkannya. Kita melihat orang-orang yang bersuara protes agar pemimpin itu lengser.

Kita melihat para aktivis Social Justice Warrior (SJW) yang menemukan momentumnya. Suara mereka yang selama ini tenggelam di tengah hiruk-pikuk politik, kini bangkit kembali.

Tapi bolehlah kita menanam harapan kuat. Jika mereka memang peduli hak asasi manusia, kita harapkan agar mereka juga bicara tentang saudara kita Wamena. Kalau mereka bungkam, maka kita pun tak boleh lelah untuk bersuara.

Ini bukan waktunya menyalahkan siapapun. Bukan masanya untuk saling nyinyir dan menjelekkan siapapun. Kita desak pemerintah untuk melindungi anak bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia di sana. Kita dorong solidaritas publik agar berpaling ke mereka yang sedang terusir dari tanahnya.

Di jagad maya Twitter, #BugisBerduka menjadi trending. Orang Minang juga tengah menyeru solidaritas warganya untuk saling bantu saudaranya yang sedang kesusahan. Kita pun perlu mengetuk kesadaran atas kemanusiaan kita untuk melindungi dan mencintai semua anak bangsa, apapun agama dan etniknya.

Di Wamena, Papua, nurani kemanusiaan kita sedang diketuk. Pada air mata mereka yang mengungsi itu, kita menyaksikan begitu banyak beban yang dipikul tanah air kita: INDONESIA.


Foto: CNN Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar