Kapurung Ternikmat di Tanah Luwu (1)




Hanya di beberapa daerah kawasan timur Indonesia, saya menemukan masyarakat yang begitu memuliakan makanan berbahan sagu. Sejak masyarakat kita menjadikan beras sebagai pilihan utama, sagu dan komoditas hasil ladang seakan terpinggirkan.

Di Luwu, Sulawesi Selatan, sagu masih menjadi makanan pokok warga, bersanding dengan beras. Di sepanjang jalan menuju Masamba lanjut Malili, saya melihat begitu banyak warung yang menjual sagu, yang entah kenapa selalu dibungkus plastik merah.

Masyarakat mengolahnya jadi kapurung, olahan sagu yang dikombinasikan dengan sayur, ikan, udang, dan lain-lain. Di beberapa daerah, saya menemukan makanan sejenis kapurung. Di kendari, namanya sinonggi. Di Ternate dan Maluku, saya melihatnya disajikan dalam berbagai acara. Masyarakat di sana memakai sumpit untuk menggulung sagu.

Saat seorang teman di Masamba mengajak saya makan kapurung, berceritalah saya tentang sagu di Pulau Buton. Dulu, ibu saya menyajikan sagu seperti kolak panas, dicampur dengan air gula merah dan bersantan. Teman saya langsung protes: "Pasti rasanya aneh."

Saya terkekeh sebab saya pun menganggap aneh melihat sagu yang disajikan dengan sayuran, udang dan ikan. Kebudayaan memberikan resep-resep berbeda di berbagai wIlayah. Kebudayaan ibarat kaca mata yang membatasi cara pandang kita. saat lensanya merah, kita melihat semua hal jadi merah.

Di Luwu, kapurung adalah makanan pokok yang ditabah sayuran. Di tempat lain, sagu jadi bahan untuk kolak. Malah di Ambon, sagu Jadi bahan untuk kue bernama Bagea. Kesemuanua punya benang merah yakni sama2 memuliakan sagu.

Pada kapurung di atas meja, saya melihat potensi dan kekuatan lokal. Dulu, Indonesia mencapai kedaulatan pangan ketika ladang masih menjadi mitra pangan. Dulu, tak pernah ada kasus gizi buruk dan krisis pangan. Sebab ladang menyuplai kita dengan berbagai makanan, mulai dari sagu, jagung, keladi, ubi, dan banyak lagi.

Saya teringat krisis pangan di Yahukimo, Papua, beberapa tahun lalu. Kata seorang antropolog, krisis pangan di sana bukan karena alam tak lagi pemurah. Tapi pemerintah menggeser budaya pangan warga dari ladang ke sawah. Masyarakat jadi tergantung sama beras, yang untuk mendatangkannya ke Papua mesti diimpor dari pulau Jawa. Masyarakat jadi tergantung pada pangan dari luar. Alam tak lagi menjadi sandaran, sehingga pada satu titik ketika pasokan beras tidak datang, terjadilah krisis pangan.

"Bang, kapurungnya sudah mau dingin," kata sahabat itu.

Saya melihat kapurung yang begitu nikmat dengan udang sserta cabe yang rasanya agak pedas. Saya membayangkan senyum para pencari sagu di Luwu saat mengolah sagu. Saya membayangkan anak2 berlarian di hutan sambil memikul sagu. Saya melihat keriangan para ibu yang mengolah sagu jadi kapurung.

Saya melihat ada banyak bahagia dan haru bermunculan demi membawa sagu ini menjadi kapurung. Saya lalu menyendok kapurung, sesaat menikmati aroma hebat ini, lalu memasukkannya dalam mulut.

Sssrruuppp.

0 komentar:

Posting Komentar