seorang demonstran membawa bendera merah putih (foto: kompas.com) |
Semua cinta Indonesia. Mulai dari mahasiswa yang mengeluarkan pekik untuk berdemonstrasi, para polisi yang teguh menjaga fasilitas negara, para ahli hukum yang menyusun semua rancangan undang-undang, wakil rakyat yang ingin membenahi negara, hingga semua perangkat negara yang ingin membawa bangsa ini lebih baik.
Lantas, mengapa harus ada kabar benci yang disebar setinggi langit dan memenuhi udara? Mengapa orang saling curiga dan membenci? Siapa yang paling diuntungkan?
***
DUA anak muda di Kendari itu meregang nyawa karena peluru menembus tubuhnya. Usai sudah tugas mereka untuk ibu pertiwi. Mereka menyatakan sikap perlawanan dengan heroik. Anak muda memang harus menyabung nyawa untuk kebenaran. Mereka harus bertarung dengan rezim. Mereka harus menolak untuk sekadar duduk diam, seperti seniornya mantan aktivis.
Di mana-mana mahasiswa tampil ke depan. Semuanya menolak rancangan undang-undang. Mereka menyahut semua protes yang mengalir di semua media sosial. Telepon seluler mereka setiap saat dialiri informasi yang isinya penuh kemarahan. Segala jenis kabar mulai dari benci sampai murka berseliweran. Rasa iba pada negeri membuat mereka panik dan bergerak. Di tambah lagi, setiap saat media dijejali tayangan pekik mahasiswa di berbagai kota.
Jangan pula berharap mahasiswa akan paham substansi. Mereka bukan ahli hukum yang tahu persis detail dan titik koma satu aturan. Saat para pemimpin mahasiswa itu tampil di televisi, jangan berharap mereka akan meladeni semua argumentasi mengenai apa yang hendak dikritik. Mereka punya satu hal yang tidak dimiliki generasi lain yakni kemudaan dan keberanian. Mereka punya kekuatan saat berjejaring dengan banyak pihak.
Jangan heran jika banyak kelompok ingin menumpang aksi mereka. Bahwa isu yang mereka usung itu tidak fokus, itu soal lain. Mereka punya semangat muda yang terus membara.
Sebab mereka cinta negeri ini.
***
BAPAK polisi itu bersimbah peluh saat mengawasi demonstrasi. Mereka harus menghadapi mahasiswa yang notabene adalah anak, adik, saudara, ponakan, atau keluarga dekat. Bapak-bapak polisi itu paham bahwa tugas mereka harus ditunaikan. Jika mereka melonggarkan penjagaan, bisa-bisa semua fasilitas negara akan rusak dan dibakar, sebagaimana terlihat di beberapa kota.
Bapak polisi paham prosedur pengamanan. Sangat paham. Mereka pun sudah terbiasa dengan berbagai makian dan umpatan, bahkan ajakan berkelahi. Saat massa mulai beringas dan merangsak maju, mulailah mereka menembakkan gas air mata serta water canon. Setiap saat mereka berhadapan dengan ancaman pemecatan dan hukuman jika berani memukul massa.
Tugas mereka adalah mengamankan semua fasilitas publik. Mereka tidak diajarkan untuk anarkis. Saat berjaga, mereka memelihara kesabaran selevel dewa. Bisa dibayangkan, mereka harus menerima umpatan, lemparan batu, bom molotov, hingga teriakan-teriakan dari mereka yang mengaku intelektual.
BACA: Saat Rocky Gerung Menampar Akademisi Kita
Namun ada saat di mana kesabaran mereka bisa jebol. Mereka pun setiap saat harus siap menjadi pihak tertuduh serta kambing hitam dari setiap peristiwa. Siapapun bisa memanfaatkan situasi chaos. Mungkin ada di antara mereka yang tak bisa tahan emosi. Bisa saja ada penyusup yang menembak dari jarak dekat kepada massa yang sedang beringas. Mereka tetap teguh menjaga semua fasilitas negara, meskipun dihujat setinggi langit.
Mereka yang emosi kemudian melepaskan peluru harus segera diproses hukum. Mereka dihukum atas ketidaksabaran dan pelanggaran prosedur. Tak semua mereka bisa melalui ujian kesabaran yang begitu hebat. Ketika ada darah anak bangsa yang menetes, mereka harus siap-siap untuk diproses. Pedang keadilan akan menebas mereka yang melanggar. Mereka tahu itu.
Sebab mereka cinta negeri ini.
***
IBU profesor itu tampil di layar televisi. Namanya Harkristuti Harkrisnowo. Dia meminta mahasiswa yang hadir untuk membaca draft undang-undang itu. Dia menjelaskan proses perjalanan undang-undang yang tidak mudah. Sejak masa presiden kedua hingga presiden ketujuh, UU itu telah dipersiapkan. Di semua tahapan, ada uji publik di kampus-kampus.
Tim pembuat UU selalu mencari pikiran-pikiran terbaik. Mereka terbuka dengan diskusi dan debat. Kalaupun UU itu terbit, dan ada beberapa pasal yang dipertanyakan, maka jalan untuk menggugatnya dibuka lebar. Selalu ada mekanisme untuk mempertanyakan sesuatu. Keran untuk itu dibuka luas.
Dia tak sendirian. Ada pula nama lain yakni Profesor Muladi. Integritas dan kepakaran mereka teruji. Mereka menerima warisan dari guru-guru hukum yang terpelajar. Selama bertahun-tahun mereka bekerja. Mereka tak marah ketika hasil kerja mereka dimentahkan begitu saja dan dicaci oleh mereka yang tak belajar hukum.
Mereka paham tentang dalil sosiologi hukum yang menyebutkan bahwa setiap gagasan harus relevan dengan kondisi sosial tertentu. Ada situasi ketika satu ide besar tidak bersesuaian dengan keinginan masyarakat, sehingga ide itu tersaput angin. Dahulu, Galileo Galilei datang dengan ide baru yang kemudian ditentang masyarakat dan otoritas agama. Bertahun-tahun setelah Galileo tewas, barulah masyarakat sadar kalau dia benar.
Di era yang disebut Tom Nichols sebagai "the death of expertise”, era matinya kepakaran, apakah suara mereka yang ahli punya ruang yang memadai? Mereka tenggelam oleh celotehan para buzzer dan para laskar media sosial. Tapi para pakar hukum itu tak lantas mundur. Mereka tetap bekerja, meskipun dalam diam.
Sebab mereka cinta negeri ini.
***
WAKIL rakyat itu terpaku menatap layar. Segala tuntutan dan caci maki tengah mengarah ke gedung dewan. Dia menjalankan tugasnya dengan baik. Dia ikut dalam banyak rapat-rapat mengenai rancangan undang-undang. Dia menjalankan tugas konstitusionalnya dengan sebaik-baiknya.
Tapi dia paham bahwa setiap kebijakan lahir dari hasil negosiasi dan kontestasi. Ada banyak kekuatan yang saling bergesekan demi lahirnya satu kebijakan. Politik adalah arena yang terbuka untuk memperdebatkan mana yang disebut kepentingan rakyat dan mana kepentingan elite. Semua pihak sedang mengatasnamakan rakyat.
Mereka adalah wakil rakyat yang sebenar-benarnya. Mereka memegang mandat konstitusional karena dipilih melalui mekanisme pemilihan yang terbuka dan transparan. Kinerja mereka boleh diragukan. Tapi mereka punya akses untuk masuk gedung itu dan mendiskusikan banyak hal.
Kebijakan mereka tak selalu menyenangkan semua pihak. Tapi mereka dilantik untuk mengatasnamakan suara banyak orang. Mereka punya kuasa untuk menentukan siapa yang duduk di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu, membahas undang-undang, dan mengawasi jalannya pemerintahan.
BACA: Para Jagoan dan Penumpang Gelap Republik
Dalam setiap penyusunan kebijakan, selalu tersedia ruang untuk negosiasi dan diskusi alot. Bahkan untuk penentuan siapa ketua komisi yang menjadi perangkat hukum negeri, mereka melakukannya dengan ketat. Bukan kali ini saja. Ketua KPK pertama hingga Ketua KPK terakhir, semuanya terpilih karena seleksi di kalangan dewan. Lantas, mengapa hasil seleksi mereka dipertanyakan?
Sebab mereka tak lagi sendirian. Di era di mana transparansi menjadi jantung dari kehidupan masyarakat, kerja-kerja mereka menjadi sorotan banyak pihak. Mereka harus mendengar suara-suara, baik itu positif maupun negatif, dari banyak kalangan. Telinga mereka harus lebih peka untuk menangkap suara jarum jatuh hingga suara yang dikeraskan dengan megaphone.
Kalau ada keberatan pada keputusan mereka, celah-celah hukum terbuka. Silakan ajukan gugatan ke mahkamah. Bawa semua bukti, argumentasi, dan pikiran terbaik. Kalau lama, itulah prosedur, sebagaimana lamanya wakil rakyat itu membuat keputusan. Mengapa wakil rakyat itu lama membuat keputusan?
Sebab mereka cinta negeri ini.
***
DI sekeliling kita, terdapat banyak suara-suara yang mendengung. Selalu saja kita diajak untuk marah, resah, dan mengamuk. Emosi kita mudah diaduk-aduk oleh satu pandangan yang merasa dirinya benar. Kita harus siap untuk menghadapi semburan kebenaran dari buzzer yang sedang membawa misi tertentu. Bukan hanya versi pemerintah, tapi banyak pula anti pemerintah.
Padahal, mereka yang berseteru itu sedang menyampaikan cintanya pada bangsa. Di tingkat elite, mereka yang berseteru itu bisa duduk manis dan saling menyeruput teh panas. Lihat saja semua elite politik yang berseteru. Di layar kaca, mereka bisa sengit berdebat, tapi di belakang layar, mereka bisa tertawa-tawa bersama.
Tidak semua orang punya kearifan dalam mengelola perbedaan. Mereka yang tidak arif adalah mereka yang sibuk menebar provokasi di media sosial. Setiap ada hal meresahkan, langsung dibagikan, tanpa menelaah dulu apa yang sebenarnya terjadi. Selalu saja ada orang yang suka melihat bangsa ini chaos dan sesama warga saling curiga.
Siapa yang diuntungkan? Banyak. Mulai dari elite penguasa, para buzzer yang menerima orderan di mana-mana, gurita pemodal yang memiliki tentakel di kalangan para pengusaha gerakan sampai pada penguasa.
Kita rakyat jelata adalah kayu bakar yang setiap saat bisa disulut. Mereka tak ikut di jalan-jalan sebab sibuk mengamati melalui media sosial di satu ruangan ber-AC. Mereka hanya sibuk meneriakkan semangat dan panjang umur perlawanan sembari menjalankan agenda lain dari ruang kerja mereka.
Ketika korban berjatuhan, mereka akan segera memasang tagar duka cita dan solidaritas. Saat itulah kita sadar bahwa terlalu banyak harga yang harus dibayar demi menggugat sesuatu yang koridornya masih terbuka lebar. Negeri ini butuh embun ketenangan, kemudian duduk bersama dan berdialog untuk mencari solusi terbaik.
Jika negeri ini ingin menjadi tempat yang digambarkan komponis Ismail Marzuki: “Indonesia sejak dulu kala sudah dipuja-puja bangsa” saatnya saling mendengarkan. Padamkan api amarah, basahi dengan embun kesejukan, kemudian semua pihak mulai duduk bersama dan saling mendengarkan. Waspadai semua kabar provokasi. Dengarkan mereka yang menjerit. Buka hati dan pikiran untuk kemajuan bangsa.
Sebab semua cinta negeri ini.
0 komentar:
Posting Komentar