Para JAGOAN dan Penumpang Gelap Republik


Di televisi, Presiden Jokowi memimpin upacara peringatan detik-detik proklamasi. Semua orang hendak mengenang peristiwa bersejarah itu. Tapi, apa yang disebut dengan mengenang itu selalu politis. 

Kita hanya mengenang episode tertentu, lalu mengabaikan banyak peristiwa lain pada saat yang sama. Kita hanya mengenang saat Sukarno dan Hatta membacakan naskah proklamasi, lalu kita abai pada banyak peristiwa lain.

Saya sedang membaca buku berjudul Gangsters and Revolutionaries yang ditulis sejarawan Robert Cribb. Buku ini telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan diterbitkan Komunitas Bambu pada tahun 2010, dengan judul Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta.

Saya merinding saat mengetahui bahwa pada masa revolusi, bukan hanya para nasionalis dan pemimpin pergerakan yang eksis, tapi juga para jagoan, para bandit, dan mereka yang menguasai dunia hitam.




Saat Sukarno membacakan naskah Proklamasi, para bandit dan para jagoan juga bergerak. Mereka mengatasnamakan dirinya sebagai laskar yang berbaju seperti pejuang, kemudian menebar teror di mana-mana. 

Beberapa kelompok memakai atribut agama, lalu mengatasnamakan jihad, untuk menebar teror sana-sini. Ada yang mengatasnamakan dirinya Lasykar Ubel-Ubel. Lasykar artinya tentara dan ubel-ubel adalah sorban yang dipakai jamaah haji di Mekkah.

Mereka menyatroni kantor-kantor dan gedung-gedung milik perusahaan Eropa dan Belanda. Atas nama kemerdekaan, mereka membunuh banyak orang dan mencaplok berbagai gedung, menjarah banyak barang, kemudian menuliskan grafiti “milik repoeblik.” 

Mereka membunuh banyak pegawai kantor pemerintah kolonial, yang saat itu mayoritas adalah orang Indonesia sendiri. Robert Cribb mencatat kesaksian seorang saksi sejarah tentang betapa sulitnya mendapatkan air minum di Klender karena banyak sumur tersumbat mayat orang Cina yang jadi korban pembantaian.

Bagi orang Eropa, bulan-bulan terakhir tahun 1945 adalah masa perampokan, perampasan, penculikan, dan pembunuhan acak di jalanan. Banyak orang Eropa yang menghilang, tiba-tiba ditemukan mengambang di kanal di tengah kota. 

Di banyak daerah, situasinya lebih kelam lagi. Di Kranji, orang Eropa yang bekerja sebagai mandor perkebunan swasta dibunuh. Istrinya lalu diperkosa. Di Karawang, seorang jagoan menduduki kantor bupati dan menyatakan dirinya sebagai bupati. Gangster lain mengambil alih semua perkebunan swasta dan menyatakan miliknya. Di Tangerang, pembantaian pada tuan tanah dan petani Cina terjadi. 

Cribb mengatakan, para pembunuh ini tidak punya agenda politik. Mereka adalah kaum oportunis yang memanfaatkan situasi politik saat Jepang sedang lemah, dan munculnya klaim kemerdekaan dari para pemimpin republik.

Saya tertegun membaca lembaran yang ditulis Cribb. Saya percaya dan amat yakin, para pemipin pergerakan seperti Sukarno dan Hatta mendambakan kemerdekaan karena melihat betapa jahatnya praktik politik dari pemerintah kolonial. Kemerdekaan muncul dari hasrat bebas dan keinginan diperlakukan sebagai manusia yang punya derajat yang sama.

Tapi harga yang diraih untuk merebut kemerdekaan itu begitu mahal. Tidak semua orang-orang punya niat suci untuk membebaskan sesama manusia dan mewujudkan tatanan baru yang lebih berkeadilan. Banyak yang melihatnya sebagai isyarat untuk melampiaskan keberingasan dan kejahatan, sebagaimana pernah dilakukan pemerintah kolonial.

Mungkin Anda beranggapan bahwa tindakan kekerasan adalah hal yang lumrah dalam satu revolusi. Tapi jika itu memang opsi yang dipilih, maka Anda sama saja dengan para kolonialis itu. Anda juga menghalalkan segala cara untuk membunuh yang lain, sebagaimana para kompeni yang datang menjarah di sini. Yang membedakan antara Anda dan mereka hanyalah kekuasaan.

Saya teringat Nelson Mandela, salah seorang manusia hebat yang terlahir di abad ini. Puluhan tahun dipenjara dan ditindas oleh rezim kulit putih, dia tidak lantas memerintahkan pembunuhan pada orang kulit putih. Dia berkata bahwa musuh kita bukanlah orang kulit putih. Musuh kita adalah penindasan dan keserakahan, sesuatu yang bisa hadir di tangan siapa saja. 

Saya teringat kebencian Sukarno dan Hatta pada kolonialisme, tapi tetap membuat mereka berlaku adil. Mereka percaya pada jalan-jalan diplomasi sebab jalan itu tidak menumpahkan darah manusia di mana-mana. 

Mereka bekerja sama dengan siapa pun, apapun warna kulitnya, sebab meyakini bahwa peninadasan adalah sesuatu yang maknanya bisa dirasakan secara universal. Sukarno menghormati guru-gurunya yang orang Belanda, bahkan Hatta menghormati para profesornya semasa belajar di Belanda sana. Mereka menyerap semangat perjuangan justru pada banyak orang Eropa.

versi terjemahan yang diterbitkan Komunitas Bambu

Sukarno pernah merasa  bersalah karena mengampanyekan Romusha, yang kemudian menjadi sumber penderitaan rakyat Indonesia. Tapi dia membayar lunas semua rasa bersalah itu dengan kemerdekaan, yang kemudian menjadi jembatan emas untuk menggapai kemajuan.

Tapi, para pemimpin pergerakan juga manusia biasa yang punya keterbatasan. Mereka tak berdaya ketika banyak kaum radikal mulai meneror dan membunuh di sana-sini. Bahkan seorang pemimpin pergerakan yakni Tan Malaka dibunuh oleh salah satu laskar yang bertindak tanpa koordinasi. Dalam situasi ketika tak ada kelompok berkuasa, semua orang bisa merebut kuasa demi menghamba pada keuntungan pribadi.

Hari ini, kita merayakan 74 tahun kemerdekaan. Tentu saja, ada yang diingat dan ada yang dikenang. Ada ingatan penuh bahagia, ada pula ingatan penuh sedih. Kita memilih mengenang yang bahagia dan merayakannya dengan gegap gempita.

Jika kita benar-benar mengabaikan hal yang sedih, maka di masa depan hal serupa bisa terjadi lagi. Ketika kita bisa gagal mengelola semua ingatan kelam di masa lalu menjadi pelajaran berharga, maka peristiwa serupa bisa terjadi di masa depan.

Perlu sejumput refleksi untuk mengenang kemerdekaan. Ada gembira, ada juga sedih. Perlu juga menyerap hikmah dan mutiara.



0 komentar:

Posting Komentar