Bukalapak, Lupabapak, dan Kedunguan Digital


ilustrasi

Di era pemilihan presiden, semua orang tiba-tiba memiliki sumbu pendek. Hanya karena satu cuitan, maka satu negeri bisa ribut. Hanya karena satu komentar di media, satu bangsa bisa terbelah. Bahkan hanya karena satu tagar di internet, semua orang akan sibuk membelah diri dalam berbagai kubu. Ini bukan soal cebong vs kampret.

Ini soal bangsa yang kian terpolarisasi. Energi publik yang seharusnya dipakai untuk mendiskusikan berbagai hal yang substansial, tiba-tiba tersita untuk masuk dalam debat remeh-temeh yang sejatinya berpangkal pada kesalahan dalam memilih diksi dan kalimat yang tepat untuk menyatakan maksud.

Pendiri Bukalapak itu tidak menyadari kalau dirinya bukan lagi anak muda alay yang bebas ngomong apa saja di media sosial. Dia seorang public figure yang seharusnya memiliki kecerdasan dalam hal menangkap momen apa yang sedang terjadi di bangsanya.

Sebagaimana pengakuannya, dia tidak bermaksud untuk bersikap seperti apa yang dituduhkan. Dia hanya tidak tahu bagaimana memilih diksi yang tepat. Dia kembali menjadi anak muda bodoh yang karbitan, tapi tiba-tiba mendadak kaya karena mainan startup mendapat siraman dari investor.

Kalau pun dia menyenangi satu kubu, jelas tak ada salahnya. Dia bisa saja gentle mengakui sikap politiknya, tanpa harus gentar karena tekanan dan seruan Lupabapak. Abaikan saja suara netizen yang mengingatkan dirinya perhatian seorang kepala negara. Bantah saja argumentasi kalau kemajuan usahanya itu karena iklim yang dibuat oleh kepala negara itu.

Akuilah kalau selama ini dirinya bukan hanya buat platform digital untuk para UKM, sebagaimana klaimnya selama ini, tetapi juga membuat bahan gorengan yang kemudian cepat disambar para cebong dan kampret. 

Tak perlu ngomong soal dana riset sebab para periset sendiri sudah lama mengeluh risetnya diabaikan sebab pihak berwenang hanya peduli pada laporan keuangan dan aspek administrasi. Di negeri ini, riset sudah lama jadi barang pajangan, dan hanya menjadi alat legitimasi kebijakan.

Para periset hanya berkutat dengan debu di lapangan riset dan berbagai laboratorium. Nasib mereka tak baik-baik amat. Satu-satunya riset yang diperhatikan dan bikin penelitinya makmur hanya survei politik dan opini pesanan. Itu pun hanya untuk membuat tim sukses gembira dan capresnya sujud syukur.

Di sisi lain, kita pun harus mengakui kalau watak netizen kita memang suka ribut. Bahkan soal Valentine saja sibuk berdebat sebab dianggap bukan budaya kita. Semuanya lupa kalau budaya kita yang sesungguhnya adalah suka debat dan tengkar tanpa ada ujung demi membela kelompok kita.

Budaya kita adalah perasaan merasa tertinggal saat ada kereta debat yang sudah berjalan jauh. Semua ingin ikut dalam adu tengkar.

Dulu, kita menyaksikan bagaimana Sari Roti hendak diboikot. Seruan itu hanya sejenak sebab setelah itu semuanya kembali pada rutinitas sehari-hari. Dengan memboikot Sari Roti tidak membuat kehidupan Anda semakin baik.  Kini, Bukalapak hendak diboikot. Ketika di masa depan ternyata Bukalapak masih eksis, maka kita akan kembali menarik ludah yang sudah dilepaskan.

Para ahli psikologi menyebut fenomena kolektif ini sebagai fear of missing out (fomo). Banyak orang ingin ikut terlibat membahas sesuatu yang sedang ngetrend. Tanpa memilah dan menganalisis, langsung saja ikut menyebar satu tagar.

Dunia digital membuat kita mudah emosional sehingga gampang terserat dalam arus debat yang tak henti. Siapa yang paling diuntungkan dari debat ini? Tentunya, tim sukses dan tim pemenangan. Yang bertepuk adalah para spin doctors, para pemelintir informasi, mereka yang membelokkan setiap debat untuk menguatkan laskar siber dan menggempur lawan. 

Setiap isu ibarat amunisi dan bom yang kemudian diledakkan di media sosial sehingga huru-hara dan keramaian tercipta. Dengan melempar isu, mereka jadi tahu siapa kawan dan siapa lawan, kemudian menghimpun mereka dalam satu barisan.

Mereka bisa memerintah algoritma media sosial sehingga pesan untuk ribut itu tersulut ke mana-mana. Setelah itu, mereka ramai-ramai mengipasi kita agar selalu ribut. Ketika perhatian publik tercurah pada satu isu, mereka akan melakukan operasi yang lain.

Misalnya menjauhkan perdebatan tentang salat Jumat, atau fokus pada mencari isu lain untuk menutupi debat tidak berkualitas.

Saya ingat satu bab dalam buku 21 Lessons for 21st Century yang ditulis Yuval Noah Harari mengenai kebebasan. Katanya, di era big data dan kecerdasan digital, maka manusia kehilangan kebebasannya sebab tunduk pada kekang yang dipegang oleh para pengendali digital.

Bahaya yang dihadapi manusia saat ini adalah apa yang disebutnya kediktatoran digital, saat semua algoritma dan mesin cerdas bisa memetakan potensi cebong dan kampret dalam diri seseorang, kemudian diarahkan untuk menjadi pemandu sorak yang meramaikan hiruk-pikuk dan diskusi tak ada ujung di ruang maya kita.

Marilah kita akui bahwa kita juga terjebak pada kedunguan digital secara massif sehingga kita kehilangan nalar untuk melihat mana hal penting dan tak penting untuk ditengkarkan.

Atau haruskah kita menunggu pilpres ini berlalu biar kita kembali menemukan akal sehat kita?




0 komentar:

Posting Komentar