Matinya Tabloid BOLA, Matinya KREATIVITAS


BERITA itu datang serupa petir yang menyambar di siang bolong. Tabloid Bola yang dahulu selalu menjadi rujukan ketika hendak mengetahui informasi tentang bola tak lama lagi akan tutup. Tak ada lagi logo Bola di lapak koran dan majalah. Tak ada lagi kartun Si Gundul di pinggir jalan. 

Saya punya banyak kenangan terhadap media ini. Dahulu, hampir setiap Selasa dan Jumat, saya membeli majalah ini di lapak-lapak yang ada di pintu dua, kampus Unhas, Makassar. 

Tak lengkap menonton pertandingan bola jika tidak membaca ulasan dari media ini. Saya masih mengingat beberapa nama yang sering saya kutip, di antaranya Sumohadi Marsis, Ian Situmorang, dan Wesley Hutagalung. Di banyak lapak warung kopi, sering saya temukan analisis kawan-kawan tentang bola, yang sumbernya adalah analisis para jurnalis Bola.



Saya juga masih terkenang dengan poster-poster tim kesayangan yang selalu ditempel di dinding kos-kosan mahasiswa. Saya juga ingat diksi yang khas media ini sebagai judul besar di halaman depan. Selalu ada rima yang khas. Misalnya: Beban Boban, Nestapa Nesta.

Setelah pertama terbit tahun 1984, akhirnya media yang dulu menjadi trendsetter dari semua media olahraga itu akan mengakhiri perjalanannya di dunia cetak. Bola akan menambah deretan media cetak yang telah lama berakhir, di antaranya adalah majalah Hai, koran Sinar Harapan, harian Terbit,  dan banyak lagi.

Pertanyaannya mengapa Bola harus tumbang? Banyak kalangan yang dengan mudahnya mengatakan bahwa penetrasi media online perlahan meminggirkan media cetak. Bola dianggap gagal mengantisipasi perubahan zaman sehingga ketika masuk era smartphone, media ini kehilangan pembacanya.

Tapi saya tak mau ikut-ikutan dengan analisis itu. Sebab bagi saya, itu sama dengan menyederhanakan persoalan. Jurnalisme adalah dunia yang selalu bergerak dan fleksibel. Setiap perubahan selalu diketahui lebih dahulu oleh para jurnalis dan media-media. Mustahil mereka tidak tahu tentang perubahan yang perlahan menggerus zaman.
Menurut seorang kawan jurnalis, Bola adalah media yang paling cepat mengikuti perubahan. Setiap ada gadget terbaru, maka para jurnalis Bola yang selalu lebih dulu memilikinya. Setiap pertandingan luar negeri, Bola selalu mengutus jurnalis untuk meliput dan bercerita dari tepi lapangan.

Bagi saya, matinya satu media disebabkan perasaan jumawa dan sikap mapan para pengelolanya. Pada satu masa, Bola pernah besar dan berjaya, selanjutnya tidak melakukan transformasi lagi. Media ini bertahan dengan pola lama sebab meyakini pola lama itu sukses membuat mereka pada titik kejayaan. 

Media ini terjebak pada sikap pongah bahwa pembaca akan selalu mengikuti mereka ke mana pun hendak bergerak. Pengelola dan jurnalisnya pernah menemukan satu style menulis yang kemudian jadi trendsetter selama beberapa dekade, sehingga merasa mapan dan tidak mau mengubahnya. Sebagai pemain besar, mereka pikir semua media harusnya mengikuti mereka. 

Padahal zaman terus bergulir. Pemain mapan perlahan digeser oleh anak kemarin sore yang bergerak gesit dan lincah. Kegagalan Bola adalah kegagalan untuk melakukan transformasi dan refleksi sebab terlanjur merasa besar dan mapan. Kegagalan Bola adalah kegagalan untuk melakukan inovasi di tengah menjamurnya media sehingga perlahan menjadi gajah bengkak yang susah berjalan. 

Sebagai pembaca Bola, saya mengikuti media ini hingga akhir tahun 1990-an. Pada awal tahun 2000-an, saya sudah tidak membaca Bola. Sebab saat itu, koran-koran lokal di Makassar menyajikan informasi tentang Bola dalam format sisipan hingga beberapa lembar setiap hari. 

Dari pada menunggu tabloid Bola yang hanya terbit dua kali seminggu, mending saya membaca koran lokal yang setiap hari punya sisipan berita bola yang lengkap. Membaca koran lokal lebih lengkap sebab ada informasi lokal, informasi nasional, juga informasi olahraga dalam format sisipan yang lengkap setiap hari. Ditambah lagi, murah pula.

Ada juga sisi lain. Dua hari lalu, saya bersua dengan seorang kawan yang kini menjadi petinggi di satu lini perusahaan miliki Gramedia. Dia bercerita bahwa alarm kematian Bola itu sudah berlangsung lama, ketika media itu mulai merumahkan para jurnalis seniornya.

Kawan itu pernah diundang Bola untuk melakukan sharing tentang media. Dia mengkritik Bola yang terlalu mapan dan tidak melakukan transformasi diri sejak lama. Yang terjadi, kawan itu malah dinasihati macam-macam oleh para jurnalis senior Bola yang merasa lebih paham dunia media olahraga.

Grafis Tabloid Bola (sumber: Kumparan)

Tak berselang lama dari pertemuan itu, malah Bola mulai kolaps. Beberapa bulan berikutnya, pengelola Bola malah mendatangi markas teman itu dianggap sukses membangun media olahraga yang perlahan menyingkirkan Bola. Malah, para jurnalis senior itu pelan-pelan mengakui bahwa mereka banyak ketinggalan.

Kawan itu menyampaikan satu contoh. Pernah, para pengelola Bola memandang enteng pentingnya Instagram, sebagaimana dijelaskan kawan itu. Mereka heran-heran mengapa media milik kawan itu selalu meng-update Instagram dan memperkaya dengan tampilan grafis yang keren. 

Pengelola Bola tidak paham bahwa generasi milenial adalah pengguna instagram, yang akan mencari informasi tentang sesuatu di Instagram, kemudian mencari versi cetak dan online. Instagram ibarat virus yang mempengaruhi isi kepala seseorang, mempengaruhi top of mind atau preferensi di pikiran, sehingga berdampak pada kian naiknya popularitas satu media.

BACA: Jurnalisme yang Terhempas dan Terputus

Contoh lain dikemukakan kawan itu. Saat sesi diskusi tentang media, para jurnalis senior di Bola selalu ingin menceramahi para jurnalis baru di media lain yang sedang mengembangkan media olahraga. Para jurnalis Bola itu tidak menyadari bahwa jurnalisme selalu terkait perkembangan zaman. Selalu ada spirit zaman yang berubah yang seharusnya dipahami oleh semua pelaku di ranah jurnalistik. 

Harusnya, para jurnalis Bola itu mendengar anak muda, memahami kebiasaan mereka mencari informasi, kemudian melakukan formulasi liputan mendalam yang tetap renyah dikonsumsi kalangan muda. Tanpa semangat menyerap itu, media ibarat zombie yang sudah mati, tapi mau memaksakan diri untuk tetap hidup.

Apa boleh buat. Zaman lebih cepat bergerak dari pikiran manusia. Matinya Bola adalah matinya kreativitas untuk merawat pembaca, matinya semangat untuk memberikan sesuatu yang lebih dari sekadar informasi. Ketika disrupsi terjadi, Bola perlahan ditinggalkan pembaca, ditinggalkan pengiklannya, hingga akhirnya cuma memiliki satu hal yakni nostalgia.

Bahkan saat Bola mulai fokus ke online, saya anggap sudah kasip. Media ini hanya berlari di belakang media online yang sudah mapan. Padahal pernah ada masa ketika Bola menertawakan media online yang kecil-kecil dan berusaha tumbuh itu. Kini, media yang dipandang sebelah mata itu menjadi petarung utama yang liat di dunia online dan bisa menyengat Bola hingga tewas.

BACA: Nurani Jurnalisme dalam The Post

Pada akhirnya, kita akan mengamini pendapat Charles Darwin, bahwa yang bertahan bukanlah yang terhebat dan terkuat, melainkan yang paling survive dalam menghadapi perubahan. Dalam konteks media, yang bertahan adalah media yang paling memahami pasar dan bergerak untuk memenuhi kebutuhan pasar yang juga terus bergerak.

Jurnalisme bisa berganti format. Media bisa berubah bentuk. Tapi kreativitas, ide-ide yang mengalir deras, dan inovasi ibarat denyut nadi yang menjaga napas media lebih panjang. Tanpa itu, media bisa cepat berakhir, apa pun formatnya.

Sedih juga melihat banyak yang berduka di media sosial. Padahal yang membuat Bola mati karena kita sendiri yang tidak lagi mau membeli. Kita adalah pembaca yang kian selektif dan memenuhi kebutuhan informasi secara cepat.

Kita ikut menancapkan belati di tubuhnya, dengan cara tidak lagi mau membeli, sehingga kehilangan kawan seiring dalam mengarungi zaman yang kian penuh tantangan. 

Hari ini kita hanya menabur bunga di pusara Bola sembari mengurai satu demi satu kenangan.



2 komentar:

Unknown mengatakan...

Menapak nostalgia tabloid bola, sambil menghitung jejak, kira-kira media cetak mana lagi yang segera mati.

Unknown mengatakan...

Menapak nostalgia tabloid bola, sambil menghitung jejak, kira-kira media cetak mana lagi yang segera mati.

Posting Komentar