Prabowo Kepincut, SBY Ngotot, dan PKS-PAN Siap-siap Gigit Jari



Jumpa pers untuk memastikan Prabowo sebagai calon presiden


PERTEMUAN kedua antara Prabowo dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membuat banyak hal berubah. Posisi presiden telah dikunci menjadi milik Prabowo. Anies Baswedan resmi terpental dari bursa capres. Partai koalisi mulai gelisah dan ingin posisi wapres pada arena yang sudah dipetakan dan dikendalikan SBY.

Siapa menang banyak dan siapa gigit jari? Mengapa posisi wapres ini menjadi alot sehingga partai-partai mengancam abstain? Politik adalah soal siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana. Kita tak perlu baper dan menyebut satu adalah partai Allah dan sisanya setan. Marilah kita menelaah politik dengan hati riang gembira dan sesekali tertawa menyaksikan elite kita yang lucu-lucu.

***

PERTEMUAN itu diadakan di Istana Bogor, Selasa (31/7/2018) lalu. Presiden Joko Widodo (Jokowi) memanggil semua sekjen partai koalisi. Sebenarnya pertemuan itu biasa saja. Tak ada pembicaraan yang menyangkut hajat hidup orang banyak di situ. Yang tak biasa adalah dress code atau pakaian yang dikenakan. Semua memakai baju kaos dan sepatu sneakers dan kets. Mengapa bisa santai?

Bagi yang pernah membaca buku Interpretation of Culture dari Clifford Geertz pasti paham bahwa di balik simbol-simbol itu, ada pesan mendalam yang hendak di sampaikan. Presiden Jokowi adalah sosok yang paling pandai memainkan simbol. Dulu, ketika parlemen sibuk berebut posisi ketua, dia malah memanggil pelawak ke istana. Ketika partai oposisi nyinyir atas kinerjanya, dia memilih bekerja dan blusukan ke pelosok.

Di Istana Bogor, busana santai dari pimpinan partai koalisi itu memiliki pesan kuat. Jokowi dan partai-partai koalisi melihat dinamika dalam posisi yang riang dan penuh canda tawa. Tak ada saling ngotot dan mengunci. Tak ada saling gertak dan ancam. Semuanya gembira. Di sisi lain, mereka seakan mengolok-olok koalisi sebelah yang masih belum final.

Sindiran Presiden Jokowi dan koalisi pemerintah itu memang ada benarnya. Partai-partai oposisi masih mencari pasangan yang hendak berlaga di palagan pertempuran melawan Jokowi. Prabowo memang telah ditetapkan sebagai capres, sesuatu yang sebenarnya tidak diharapkan sebagian partai koalisi, mengingat bintangnya tidak sementereng gubernur keren yang namanya lagi bersinar. Partai-partai memikirkan bagaimana nasib mereka, apakah ini tidak lantas membuat mereka jadi partai gurem yang tak punya akses ke parlemen dan kekuasaan?

Sebagaimana pernah saya catat, pilpres kali ini berbeda dengan sebelumnya. Pilpres sekarang bersamaan dengan pemilu legislatif. Artinya, pilihan siapa presiden yang didukung akan membawa dampak pada suara partai. Inilah yang disebut coat tail effect (efek ekor jas). Di tambah lagi, lembaga-lembaga survei sudah memprediksi partai mana yang bertahan dan mana yang terpental. Beberapa partai di kubu oposisi akan terancam menjadi partai gurem yang gagal melalui parliamentary treshold atau ambang batas untuk lolos di parlemen yakni empat persen. PAN dan PKS berada di garis yang tidak aman ini.

Jika tak lolos di parlemen, maka habislah. Sehebat apa pun Anda, ketika hanya berada di luar, maka Anda tak akan masuk hitungan. Partai akan mengempis dengan sendirinya karena tak ada ada darah segar yang membuat sirkulasi di partai. Suara partai tak beda dengan para cebong dan kampret yang selalu berkelahi sembari mendengarkan lagu dari Nasidaria yang syairnya: “Tidak akan kuserahkan pada kampret yang durhaka.”

Bagi partai-partai, politik laksana lari maraton. Anda tidak harus habis-habisan di awal, melainkan mengatur ritme dan napas agar bisa mencapai finish. Partai-partai tak ingin menjadikan pilpres sebagai arena tempur habis-habisan membela keyakinan sebagaimana Perang Badar dan perang-perang suci lainnya. Jauh lebih urgen memikirkan bagaimana bisa bertahan di parlemen, menjaga basis massa, dan bisa menang banyak. Partai memikirkan bagaimana menjaga kemudi dan kendali partai agar tetap berlaga. Semuanya mencari posisi paling nyaman untuk memenangkan kontestasi ini dengan hasil sebesar-besarnya.

Nama Anies Baswedan memang cukup seksi untuk diajukan. Tapi Partai Gerindra menimbang suara partai jika nama Anies diajukan. Tanpa ada nama Prabowo sebagai calon presiden dalam kampanye seorang caleg Gerindra, suara partai ini diprediksi bisa turun dari posisi tiga (sesuai prediksi beberapa lembaga) ke posisi lima dan enam. Menang atau kalah, nama Prabowo harus diajukan demi menjaga suara konstituen yang cinta mati pada Prabowo agar tetap memilih partai.

Berada di posisi ujung tanduk dan siap-siap gigit jari, PKS dan PAN coba menaikkan posisi tawar. PKS tetap ngotot mengajukan sembilan nama untuk mendampingi Prabowo. Jika seandainya Prabowo lebih suka nama AHY sebagai wakilnya, maka PKS jelas tak akan mendapatkan efek apa pun dari duet ini. Prabowo adalah milik Gerindra, dan AHY adalah milik Demokrat. Makanya, wajar saja jika kemarin partai ini menyatakan bisa-bisa abstain. Ini untuk menaikkan nilai tawar.

Bergabung dengan koalisi pemerintah rasanya tidak mungkin. PKS tidak bisa menaikkan posisi tawar dengan ancaman akan bergabung ke Jokowi. Apa kata kader-kadernya yang bergabung dalam koalisi kampret yang sudah berjibaku dalam perang udara dengan kubu cebong? Apa kata kader yang sudah rajin mengutip ayat demi menunjukkan kekafiran Jokowi, jika tiba-tiba pemimpinnya menyatakan gabung dengan presiden yang disebut plonga-plongo itu?

PKS diuntungkan dengan rekomendasi para ulama pendukung 212 yang mendorong nama Salim Segaf Al Jufri dan Abdul Somad sebagai cawapres. Salim adalah Ketua Majelis Syuro PKS. Apakah Prabowo mau berpasangan dengannya? Berpasangan dengan Hatta Radjasa yang jelas-jelas populer dan punya logistik lebih dari cukup, Prabowo kalah, bagaimana jika berpasangan dengan Salim yang tak punya hitungan elektabilitas untuk menang?

PAN masih berharap Prabowo akan berpasangan dengan Abdul Somad. Apalagi, Ustad Somad diprediksi punya posisi seperti Jokowi. Dia dari daerah, simbol rakyat, populer di semua media sosial. Dia punya massa banyak yang setia mengikuti ceramahnya. Tapi Somad bukan figur yang punya kapital. Dia tidak punya logistik. Kalau Somad menjadi wakil, siapa yang akan membayar barisan kampret yang rajin lempar isu ke media sosial? Siapa yang akan membiayai aksi gerilya dari masjid ke masjid untuk mengampanyekan calon melalui isu agama?

Jika ingin mengulang kesuksesan pilkada DKI, maka kartu yang harus dimainkan adalah kartu agama dan SARA. Ini peluang efektif untuk menang. Tapi jika pasangan Prabowo bukan representasi umat, sementara Jokowi berpasangan dengan Tuan Guru Badjang (TGB), Ma’ruf Amin, atau Mahfud MD yang punya darah ulama, maka suara umat akan terbelah. Benar kata Kapitra Ampera, pengacara Habieb Rizieq, kalau pilihannya capres ulama, dia akan mendukung ulama. Tapi kalau pilihannya adalah Prabowo versus Jokowi, maka dia akan memilih Jokowi.

***

JIKA Prabowo kepincut dan akhirnya tetap memilih berpasangan dengan AHY, maka ini adalah buah dari strategi yang lihai dari SBY. Sebagai ahli strategi, SBY memeras otak untuk memikirkan suara partai. Jika nama AHY tidak ada dalam bursa cawapres, maka suara Demokrat juga akan mengempis. Tidak akan ada efek ekor jas yang didapatkan partai itu.

Nilai tawar SBY dan Demokrat juga lebih tinggi di mata Prabowo. SBY punya logistik dan pengalaman dua kali menang, sesuatu yang sekarang tidak dimiliki Prabowo. Dengan limpahan logistik itu, Prabowo bisa leluasa memainkan kartunya untuk menang di pilpres. Makanya, jika dilihat dari kesiapan logistik dan hasrat menang, duet Prabowo – AHY sepertinya akan sulit dibendung.

Meskipun bagi saya, ini pasangan paling tidak menarik. Sebab sama-sama militer yang mundur. Prabowo masih mending sebab punya beberapa jejak dan prestasi di lingkup tentara. Tapi apa prestasi AHY selain dari dirinya putra presiden yang meninggalkan ketentaraan pada posisi Mayor? Memimpin Kodim saja belum pernah, bagaimana mungkin mau mengendalikan para jenderal?

Bagi Demokrat, mengajukan AHY adalah harga mati. Now or never. Sebab politik juga berkaitan momentum. Saat ini bintang AHY sedang terang-terangnya, meskipun belum cukup terang untuk posisi calon presiden. Dalam jangka pendek, partai ini harus mendapatkan suara sebanyak-banyaknya demi mengamankan peluang untuk nanti mengajukan capres pada pilpres mendatang.

Jika tak ada lonjakan suara di pemilu legislatif ini, maka permainan bisa dianggap selesai. Sebab belum tentu AHY akan laku dijual pada pilpres mendatang, setelah era Jokowi. Era pilpres mendatang akan lebih kompleks, yang indikasinya sudah bisa dibaca sekarang. Publik akan lebih suka pemimpin yang otentik dan punya jejak prestasi, sebagaimana Jokowi.

Pada pilpres mendatang, AHY akan berhadapan dengan jagoan-jagoan partai yang punya jejak karya bagus di daerah. Mereka adalah para kepala daerah berprestasi yang punya basis teritorial dan popularitas, serta otentik dari bawah. AHY belum tentu bisa menang melawan Gandjar Pranowo, Ridwan Kamil, Risma, Khofifah Indar Parawansa, Nurdin Abdullah, dan Emil Dardak yang di masa kini saja sudah populer dan disukai banyak orang karena punya rekam jejak membangun daerah.

Hikmah yang bisa dipetik dari adu siasat ini adalah partai-partai harus belajar pada SBY bagaimana mengambil posisi. Jauh-jauh hari dia sudah menyuruh Ruhut Sitompul untuk menyeberang ke koalisi Jokowi. Dia juga sudah mengatur agar Hayono Isman pindah ke Nasdem demi membuka jalan bagi Demokrat ke koalisi pemerintah. Ketika AHY ditolak jadi capres Jokowi, maka segera kondisikan Gerindra agar bersedia meminang AHY.

BACA: SBY Menang Banyak, Prabowo Tak Pernah

Bahkan ketika TGB mundur dari Demokrat pun, bisa jadi itu strategi SBY agar pra-kondisi bagi partai itu pindah ke sebelah berjalan mulus. Jika koalisi pemerintah menang dalam pilpres ini, saya prediksi Demokrat akan mudah berayun ke sebelah. Bisa saja Demokrat beralasan, di sebelah ada TGB sehingga mereka bisa lebih fleksibel dalam menata langkahnya.

PKS dan PAN mesti banyak belajar pada kelihaian Demokrat. Dua partai ini tadinya adalah kekasih setia Gerindra yang sehidup semati. PAN adalah kekasih yang pernah selingkuh sebab dua tahun lalu pilih gabung dengan pemerintah dan dapat satu jatah menteri. Sementara PKS adalah kekasih paling setia dan berikrar sehidup semati, namun keinginannya diabaikan. Dia tak kuat bersaing dengan kekasih baru berwarna biru yang lebih glamour, cantik, kaya, dan pintar. Ternyata, sekadar solehah dan setia saja tak cukup buat menjaga sang pacar agar tidak ke lain hati.

Yah, demikianlah.







4 komentar:

Unknown mengatakan...

Saya suka dengan nutrisi tulisan brother Yusran. Seger dan berkualitas. Salam

Anonim mengatakan...

Tulisannya Luar biasa

Unknown mengatakan...

keren tulisannya brother

Unknown mengatakan...

Keren tulisannya pak 😎

Posting Komentar