Cerita tentang Gajah Kesepian yang Selalu Marah




Semalam, saya menemukan kisah gajah kesepian dalam buku Homo Deus: A Brief History of Tomorrow yang ditulis Yuval Noah Harari. Kisah ini membuat saya termenung beberapa saat dan memikirkan banyak hal. 

Suatu hari, seorang penduduk yang tinggal di tepian hutan di selatan India tewas karena terjangan gajah. Penduduk itu berasal dari Suku Nayaka yang tinggal di tepian hutan. Pemerintah lalu menawarkan kepada penduduk suku lainnya untuk menangkap dan membunuh gajah yang menyebabkan tewasnya seorang warga.

Tapi penduduk malah menolak. Mereka justru mengatakan bisa memahami mengapa gajah itu menewaskan  salah satu anggotanya. Malah, mereka menyalahkan pemerintah. Kok bisa?

Antropolog Danny Naveh mencatat pengakuan penduduk suku. Danny telah melakukan riset selama bertahun-tahun mengenai suku itu. Suku Nayaka sangat dekat dengan alam. Setiap ada anggota suku itu yang masuk hutan lalu bertemu binatang buas seperti harimau dan ular, maka dia akan berkata: 

“Kamu tinggal di hutan ini. Saya juga. Saya datang ke sini hanya untuk mengumpulkan rotan dan akar. Saya tidak ingin menyakitimu. Saya juga berharap kamu tidak menyakiti kami. Kita sama-sama penduduk bumi.”

Terhadap warganya yang tewas karena terjangan gajah, penduduk suku punya cerita. Kata mereka, ada dua gajah yang tinggal di hutan itu. Dua gajah itu selalu memulai perjalanan bersama di setiap pagi, kemudian keduanya akan memutari jalan berbeda. Di sore hari, kedua gajah itu akan bertemu di satu titik, untuk kemudian menghabiskan malam bersama. Ritual itu sudah berjalan bertahun-tahun.

Suatu hari, beberapa pejabat pemerintah bersama stafnya, mungkin semacam Departemen Kehutanan, memasuki hutan itu dan menemui seekor gajah yang sedang berjalan. Merasa terancam, seorang staf lalu menembak gajah itu hingga mati. Mungkin juga dia mengincar gading gajah itu yang bernilai mahal. 

Orang-orang itu tidak paham paham bahwa ada gajah lain yang setia menunggu gajah itu. Di sore hari, gajah lainnya menunggu di titik pertemuan, namun gajah satunya tidak datang-datang. Gajah itu berkeliling lalu menemukan bangkai gajah satunya. Dia lalu mengeluarkan suara yang didengar seisi hutan. Dia sedang marah. 

Hari-hari berjalan tidak biasa lagi. Gajah itu berjalan seorang diri dan menyeruduk sana-sini. Dia kehilangan harapan hidup. Dia menerjang apa pun di hadapannya, hingga akhirnya dia tanpa sadar telah membunuh seorang manusia.

Ketika pemerintah menawarkan bantuan pada warga suku untuk membunuh gajah itu, warga menolak dengan tegas. Seorang tetua adat malah berkata, “Bagaimana mungkin kami harus marah sama gajah itu, sementara dia dalam keadaan sedih dan getir karena pasangannya telah kalian renggut? Bagaimana perasaanmu ketika kekasih hatimu tiba-tiba saja dibunuh orang lain hanya karena dia dianggap hewan yang seolah tak punya hak hidup di hutan ini?”

Saya merasakan ada banyak tetes-tetes permenungan sesuai membaca kisah ini. Batin saya dibasahi oleh banyak hikmah. Kita manusia hidup di era di mana kita satu-satunya yang menafsirkan sesuatu. Kadang-kadang, kita tak memberikan ruang bagi orang lain, bahkan makhluk lain untuk mendiami bumi ini. Atas nama pengetahuan dan keserakahan kita tak hanya menyingkirkan semua hewan, tapi juga menyingkirkan manusia lainnya.

Kita manusia modern, mengira kitalah satu-satunya pemilik alam semesta. Padahal kita hanyalah sekrup kecil dari mesin besar bernama alam semesta. Kita kehilangan kepekaan untuk memahami apa saja kenyataan yang terjadi di sekitar kita sebab nurani kita telah lama tumpul oleh hasrat kuasa dan keinginan kita untuk menjadi yang terunggul.

Pada suku-suku seperti Nayaka, kita menemukan cermin untuk melihat diri kita sesungguhnya. Pada suku itu, ada kearifan yang melihat kehidupan tidak sekadar aku dan kamu, tapi juga dia yang berdiam di sana. Pada suku ini, kita menemukan keikhlasan untuk melihat diri sebagai bagian kecil semesta, di mana ada juga bagian-bagian lain di situ yang hidup bersama selama jutaan tahun. 

Saya bisa membayangkan betapa sedihnya perasaan gajah itu. Kehilangan satu teman jalan yang menjalani hari-hari bersama adalah kehilangan kehidupan itu sendiri. Dia hanya bisa marah dan menerjang kiri kanan demi menyalurkan tangis dan getir yang dihadapinya. Pada Tuhan Semesta Alam, dia mengadukan nasibnya yang kehilangan kekasih dan berharap menemukan jalan lain yang lebih adil untuknya.

Dan pada kisah gajah kesepian itu, kita melihat cermin diri kita.



1 komentar:

Annisa Puspita Sari mengatakan...

speechless! saya manusia dengan luka yang sama :( tulisannya parah, ngena banget. keep writing, kak. sukses selalu :))

Posting Komentar