TAK perlu jauh-jauh ke Venesia, Italia,
untuk merasakan sensasi bersama kekasih di atas gondola. Di Kota Bunga,
Cipanas, yang letaknya bersisian dengan Cisarua (atau sering disebut Puncak), semua
orang bisa merasakan bagaimana sensasi di atas gondola yang melintasi sungai di
antara bangunan, bergondola di bawah jembatan, hingga menyaksikan orang-orang
yang berlalu-lalang di teras-teras tepi sungai.
Saya membaca beberapa publikasi tentang
Little Venice di Kota Bunga, Cipanas. Mulanya saya tak tertarik. Sebagai orang
yang besar di pulau kecil yang memiliki pasir putih cantik, laut biru, dan
kerap bermain di atas sampan, gondola ibarat kegembiraan anak kecil. Bagi saya,
pengalaman mengayuh koli-koli atau sampan kecil di Pulau Buton jauh lebih
mendebarkan ketimbang gondola yang dikayuh di sungai tenang. Di masa kecil,
sering saya berpindah pulau dengan perahu yang dihela dengan layar, serta
bantuan mesin. Saya tak antusias dengan gondola.
Namun, setelah beberapa kali melihat gambar-gambar
gondola itu di beberapa media, saya mulai tertarik. Sepintas, saya melihat foto
itu serupa Venesia yang saya saksikan dalam beberapa film Hollywood, khususnya
film The Tourist yang dibintangi
Johny Depp dan Angelina Jolie. Yang ditawarkan di Little Venice tak sekadar
pengalaman bergondola. Yang dijual di situ adalah sensasi seolah-olah berada di
Venesia, Italia, lengkap dengan plaza, bangunan, serta resto-resto di dekat
sungai.
Saat pertama menginjakkan kaki di gerbang
Little Venice, sayup-sayup suara Luciano Pavarotti, penyanyi tenor asal Italia
mengalun. Suara yang melengking dan mendapat julukan “Suara dari Surga” itu
seakan menjadi soundtrack yang terus diperdengarkan. Kesan saya, tempat ini
hendak menjiplak keadaan di Eropa, khususnya Italia. Benar, bangunan-bangunan
di situ dibangun dengan arsitektur ala Eropa.
gerbang masuk |
Little Venice terletak di tengah-tengah
Kota Bunga. Bentuk-bentuk rumah di kawasan ini meniru bentuk di berbagai
negara. Untuk menuju Little Venice, saya melintasi kawasan yang rumahnya mirip
rumah-rumah di Jepang, Cina, hingga Eropa. Suasananya sangat menarik, khususnya
bagi mereka yang tertarik untuk mengambil gambar atau sekadar ber-selfie.
Suasana wah mulai terasa saat memandang
gerbang Little Venice. Saya melihat puluhan patung Dewa Atlas yang sedang
memikul bumi. Entah apa maknanya mengapa Atlas diletakkan dalam jumah banyak.
Saya hendak membayar tiket masuk sebesar 25 ribu rupiah. Dikarenakan hari itu,
ada promosi, maka pengunjung cukup membayar 60 ribu rupiah agar dapat masuk dan
bonus menumpang gondola dan kapal berkincir. Kalau harus bayar masing-masing, akan lebih mahal.
Setelah masuk ke dalam, suasananya memang
menyenangkan. Saya melihat pilar-pilar, panggung pertunjukan, juga gondola,
perahu bebek, dan kapal. Semua aktivitas berlangsung di hamparan danau yang
cukup luas Di kejauhan, saya melihat banyak rumah mewah yang menghadap ke
danau. Saya membayangkan, jika dilihat di malam hari, pasti pemandangannya
asri.
Berdiri di satu jembatan, saya melihat
gondola melintas di bawah. Saya tak menyia-nyiakan momen. Saya mengambil
beberapa jepretan. Seorang turis Arab bersama perempuan bercadar hitam cuma
berdua di salah satu gondola. Mereka nampak mesra sebab tak malu-malu duduk
berduaan lalu berpelukan. Mungkin saja mereka adaah suami istri yang datang
berbulan madu.
Gondola itu melintasi sungai yang tak
terlalu panjang. Kiri kanannya bangunan-bangunan yang sepintas mengingatkan
pada lorong-lorong di Venesia. Saya melihat sungai itu tidak terlalu panjang.
Para pengguna gondola itu hanya berputar selama 15 menit, setelah itu merapat
ke dermaga dan ganti penumpang.
Secara umum, kawasan Little Venice ini
menawarkan sesuatu yang beda. Bagi yang suka wisata danau, gondola, dan
pemandangan rumah mewah, mungkin wisata ini akan dirasa menyenangkan. Sayangnya
tak banyak wahana atau permainan. Setelah naik gondola dan menaiki perahu
kincir, tak ada lagi permainan yang bisa dimainkan. Anak saya sempat mencoba
motor kecil yang melalui lintasan ban. Saya tak terlalu puas di sini.
Catatan lain, tempat ini tak menyediakan
restoran atau rumah makan. Makanya, setelah mengitari danau dan memotret
beberapa obyek, rasa lelah dan panas segera menyergap. Saya pun memutuskan
untuk meninggalkan wahana Little Venice.
Di mata saya, Kota Bunga ibarat kota
cantik serupa bangunan dalam dongeng. Hanya saja, kota ini juga seperti kota
hantu. Kebanyakan rumah-rumah di situ tidak berpenghuni. Nasibnya sama dengan
banyak perumahan mewah lain di Cipanas. Seorang kawan bercerita, banyak orang
kaya yang membeli rumah mewah dan villa, sementara mereka jarang datang ke
situ. Palingan, mereka hanya datang nginap selama tiga hari dalam enam bulan.
Malah, banyak rumah yang disewakan pada
turis Arab. Selama beberapa tahun ini, warga Arab bergelombang datang ke Puncak
dan Cipanas untuk berwisata. Mereka menyewa banyak rumah mewah, lalu menikmati
liburan ala surga. Banyak masalah sosial mulai muncul, mulai dari isu kawin
kontrak, merajalelanya prostitusi, hingga berbagai penyakit sosial lainnya.
Perlahan, kawasan ini mirip suasana di Timur Tengah. Banyak resto dan toko-toko
yang memajang plang berbahasa Arab.
Kata kawan pula, dahulu, sebelum ada jalan
tol Cipularang, perjalanan ke Bandung mesti melintasi Puncak lalu Cipanas.
Banyak orang kaya membeli rumah mewah sekadar tetirah untuk istrahat saat ke
Bandung. Setelah tol Cipularang beroperasi, rumah-rumah mewah di Cipanas
laksana rumah hantu yang tak ditinggali. Palingan hanya ditinggali warga lokal
yang bertugas sebagai penjaga rumah.
Saya jadi ingat komentar seorang dosen di
Bogor, banyak orang membeli rumah dan aset tapi tak menikmatinya. “Yang seolah
kaya adalah para penjaga dan pembantu. Mereka menikmati aset yang dibiarkan
oleh majikan super kaya tadi.”
Mungkin kita harus mengubah definsi kaya.
Bukan lagi mereka yang punya aset berupa villa, tapi mereka yang punya banyak
waktu luang dan bisa memaksimalkan semua yang dimilikinya untuk menggapai
kesenangan dan kebahagiaan bersama keluarga. Artinya, biarpun anda kaya raya,
namun jika tak punya waktu bersama keluarga sebab hari-hari sibuk bekerja, hidup
anda sesungguhnya biasa-biasa saja. Bisa jadi, mereka yang tak punya aset itu,
malah jauh lebih bahagia sebab menikmati sesuatu tanpa harus membayar mahal.
Tul gak?
0 komentar:
Posting Komentar