Demokrasi yang Dibajak Makhluk Halus



Di kota-kota sebagai jantung kekuasaan, ataupun di kampus-kampus sebagai jantung ilmu pengetahuan, orang bisa saja mengutip beragam teori dari Gabriel Almond, Raymond Lipset, Robert Dahl, hingga Winters dan Aspinall mengenai demokrasi di Indonesia. Namun jika anda sering bepergian di daerah, pasti akan menemui banyak keping kenyataan berbeda.

Di banyak tempat di tanah air, demokrasi bukan saja ajang bertarung visi-misi dan gagasan, tapi juga bertarung preman, bertarung modal, dan juga bertarung makhluk halus? Yup, para politisi akan merasa hebat kalau memiliki jin yang digunakan untuk beragam kepentingan. Atau barangkali mengklaim memiliki jin demi memenangkan kontestasi kuasa, atau menutupi banyak hal yang tak hendak dijelaskan secara rasional.

Sepintas, gagasan ini konyol. Namun, betapa seringnya saya menemui fakta politisi yang sibuk membicarakan tentang ilmu kesaktian serta aksi saling santet di ajang pesta demokrasi lokal atau pilkada. Banyak politisi yang lebih percaya wangsit dan jin, ketimbang hasil-hasil survei mengenai persepsi publik. Banyak yang lebih percaya arwah yang sudah lama meninggal, juga percaya pada pesan-pesan dari dunia gaib.

Buku karya Prof Nils Bubandt berjudul Demokrasi, Korupsi, dan Makhluk Halus, terbitan Obor, ini adalah jenis buku unik yang menelisik bagaimana dunia politik dan dunia makhluk halus saling berkelindan di Indonesia. Mulanya, saya tertarik membacanya karena diterjemahkan oleh Prof Achmad Fedyani, antropolog UI, yang merupakan pembimbing tesis saya. Ternyata buku ini memang menarik. Buku ini membahas tentang kecenderungan para politisi pada kegaiban dan makhluk halus menjelaskan politik kita penuh harapan dan kekecewaan, yang disebut Derrida sebagai adanya “struktur di balik hegemoni.” Buku ini membahas banyak sisi yang nyaris diabaikan, namun menjelaskan banyak hal dari dunia politik kita yang penuh aroma mistis.

Deskripsi etnografis di dalamnya buat saya kaget-kaget, lalu menandainya dengan stabilo. Mulai dari bahasan tentang seribu jin yang konon dikirimkan satu pesantren untuk digunakan dalam demonstrasi anti-korupsi, tewasnya seorang politisi yang diyakini karena santet dari lawan politiknya, pencalonan seorang sultan di Maluku Utara di kancah politik yang merasa didukung arwah nenek moyang, hingga seorang ibu yang mengaku nabi di Jailolo, lalu percaya datangnya sultan yang lama hilang beserta banyak emas dari dasar bumi, juga bicara tentang kebangkitan Sukarno.

Ah, politik kita memang unik. Mistis. Juga lucu. Biarpun telat membacanya, sebab buku ini terbit sejak Desember 2016, saya yakin buku ini akan jadi santapan lezat di akhir pekan.




0 komentar:

Posting Komentar