JIKA satu perjalanan menyimpan satu kepingan puzzle, maka perjalanan demi perjalanan akan menjadi upaya untuk menautkan banyak kepingan puzzle menjadi satu gambaran yang utuh. Dalam banyak kesempatan, saya merasakan perjalanan sebagai sesuatu yang terus bertumbuh.
Pengetahuan kita tentang satu topik kian mendalam seiring dengan perjalanan, yang kemudian mempertemukan kita dengan banyak pengetahuan lain.
Dua tahun silam, saya berkunjung ke Tanjung Pinang, dan
menyaksikan jejak sejarah orang Bugis dari tanah Luwu yang datang dan berdiam
di tanah Melayu, lalu membangun kerajaan di Malaysia dan Singapura.
Hari ini, saya berkunjung ke tanah Luwu, tanah yang merupakan leluhur dari para raja di negeri tetangga itu. Saya belajar untuk merunut ulang kisah-kisah mereka yang memilih jadi perantau lalu membangun peradaban besar di banyak tempat.
Hari ini, saya berkunjung ke tanah Luwu, tanah yang merupakan leluhur dari para raja di negeri tetangga itu. Saya belajar untuk merunut ulang kisah-kisah mereka yang memilih jadi perantau lalu membangun peradaban besar di banyak tempat.
Sekelebat tanya melintas di pikiran saya. Mengapa
orang-orang besar itu tak membangun peradaban hebat, berupa kerajaan besar dan
megah, di kampung halamannya sendiri? Mengapa mereka harus keluar dan tidak
menjelmakan ide-ide besarnya di tanah Luwu?
***
Hari itu, dua tahun silam.
DARI pompong atau perahu kecil yang saya tumpangi, Pulau
Penyengat tampak asri dipandang. Di tengah pulau itu, saya melihat warna kuning
keemasan berdiri kokoh. Batin saya tercekat. Entah kenapa, saya merasa seolah
pernah berada di sini. Kawan alfiandri berbisik kalau itulah Masjid Pulau
Penyengat. Masjid ini adalah saksi dan jejak dari banyak hal.
Di antara yang menggetarkan hati adalah masjid ini ibarat rumah bagi Raja Ali Haji, sosok hebat di tanah Melayu, pahlawan yang menulis gurindam dan puisi tentang kearifan, serta pejuang gigih yang hendak memerdekakan bangsanya.
Di antara yang menggetarkan hati adalah masjid ini ibarat rumah bagi Raja Ali Haji, sosok hebat di tanah Melayu, pahlawan yang menulis gurindam dan puisi tentang kearifan, serta pejuang gigih yang hendak memerdekakan bangsanya.
Bersama sahabat Alfiandri dan Wayu, saya berkunjung ke Pulau
Penyengat. Saya ingin melihat langsung pulau yang dahulu menjadi sentrum dari
denyut nadi kebudayaan Melayu. Saya ingin berziarah ke makam Raja Ali Haji,
sesuatu yang saya yakini sebagai cara terbaik untuk mengenali dan menyerap
pelajaran dari seorang tokoh.
Di pulau itu, saya merenungi banyak hal tentang Raja Ali
Haji. Dari sekian banyak kisahnya yang mentereng, hati saya selalu saja basah
saat mengingat jejaknya di dunia syair. Ia adalah sufi yang menjadi pahlawan
nasional.
Kitab yang ditulisnya mengenai bahasa menjadi patokan bagi para peserta Kongres Pemuda saat merumuskan bahasa persatuan. Ia seorang penulis yang produktif, sekaligus pejuang hebat dalam mengasah literasi bangsanya.
Kitab yang ditulisnya mengenai bahasa menjadi patokan bagi para peserta Kongres Pemuda saat merumuskan bahasa persatuan. Ia seorang penulis yang produktif, sekaligus pejuang hebat dalam mengasah literasi bangsanya.
Beberapa hari sebelumnya, saat pertama memasuki Kota Tanjung
Pinang, saya menyaksikan bagaimana syair yang dibuatnya digurat di banyak
lokasi. Pesan-pesannya yang dijejalkan dalam syair telah menjadi ikon dan
kebanggan kota itu.
Raja Ali Haji adalah pengendali kata, yang bisa mengubah kata-kata, dari sekadar sehimpunan bunyi, lalu menjadi kecipak sungai mengalir, hingga menggelegar, menggedor, dan menggebrak kesadaran.
Raja Ali Haji adalah pengendali kata, yang bisa mengubah kata-kata, dari sekadar sehimpunan bunyi, lalu menjadi kecipak sungai mengalir, hingga menggelegar, menggedor, dan menggebrak kesadaran.
Lelaki yang lahir di Selangor, Malaysia, pada tahun 1808. Ia
adalah putra Raja Ahmad, yang dikenal sebagai Engku Haji Tua. Ia adalah cucu
Raja Haji Fi Sabilillah, yang merupakan saudara Raja Lumu, Sultan pertama di Selangor.
Raja Haji sendiri adalah putra Opu Daeng Cella', lelaki Bugis asal Tanah Luwu
yang pertama datang pada abad ke-18.
di Masjid Pulau Penyengat |
Biarpun Raja Ali Haji adalah sosok besar di tanah Melayu, ia tak pernah melupakan tanah leluhurnya. Selain mengarang syair Gurindam Dua Belas yang tersohor itu, ia juga menulis kitab tentang silsilah Melayu dan Bugis demi mencari jati diri dan garis nenek moyangnya.
Walau tak ada catatan sejarah perjalananya ke tanah Bugis, ia tetap memosisikan Bugis sebagai penanda identitasnya. Ia menulis kitab silsilah Bugis-Melayu, sebelum akhirnya membuat syair-syair yang menaikkan namanya.
Ia menjaga identitasnya sebagai orang Bugis di tanah Melayu.
***
“Kamu berasal dari mana?” Bapak berambut putih itu datang
menemui saya lalu menjabat tangan. Sepertinya, dia bisa mengenali saya sebagai
orang yang baru pertama berkunjung ke masjid itu. Saat saya menyebut berasal
dari Sulawesi, bapak itu tersenyum. Ia mengangguk, lalu merespon singkat,
“Saya juga dari Sulawesi. Saya dari Luwu,” katanya.
“Pernah ke Luwu?” tanya saya.
“Belum pernah. Kakek moyang saya Opu Daeng Cella, berasal
dari Luwu,” katanya.
Sahabat saya, Alfiandri, bercerita kalau bapak itu adalah
salah seorang keturunan langsung Raja Ali Haji. Pantas saja dirinya tetap
menyebut nama Opu Daeng Cella’, sosok yang merupakan kakek Raja Ali Haji. Tanpa
saya minta, bapak berambut putih itu lalu menjelaskan banyak hal tentang masjid
itu. Mulai dari makna empat pilar, makna syair, hingga beberapa puisi sufistik.
Opu Daeng Cella’ adalah satu dari lima pangeran asal Luwu
yang hijrah dari kampung halamannya. Opu Daeng Cella lalu diangkat sebagai raja
muda di Riau, yang kemudian mewariskan tahtanya pada anaknya Raja Haji, ayah
dari Raja Ali Haji.
Saudaranya yang lain adalah; Opu Daeng Parani, Opu Daeng Marewa, Opu Daeng Manambong dan Opu Daeng Kamase. Kesemuanya memiliki riwayat yang cukup masyhur, dan diangkat menjadi Sultan di Malaysia, Riau dan Kalimantan Barat.
Saudaranya yang lain adalah; Opu Daeng Parani, Opu Daeng Marewa, Opu Daeng Manambong dan Opu Daeng Kamase. Kesemuanya memiliki riwayat yang cukup masyhur, dan diangkat menjadi Sultan di Malaysia, Riau dan Kalimantan Barat.
Masing-masing menempuh takdir berbeda. Opu Daeng Manambong
menjadi sultan di Mempawah, Kalimantan Barat. Opu Daeng Parani menikah dengan
puteri Raja Selangor, dan adik Raja Kedah. Ia adalah menantu Raja Selangor dan
adik ipar Raja Kedah. Opu Daeng Kamase dinobatkan menjadi raja Sambas di
Kalimantan Barat, dengan gelar pangeran Mangkubumi. Opu Daeng marewa sebelunya
adalah raja muda di Riau, yang kemudian digantikan Opu Daeng Cella.
Kelimanya masyhur dan mewariskan jejak hebat di negeri yang
dikunjunginya. Jika hari ini kita mendengar nama mereka, maka kita sedang
mendengar kisah diaspora yang tidak saja bertujuan untuk membangun kuasa, tapi
juga mewariskan jejak berharga di bumi manapun yang dikunjungi. Kita bisa
melihatnya pada sosok Raja Ali Haji yang mewariskan banyak hal baik, tak hanya
bagi tanah melayu, tapi juga Indonesia.
***
HARI ini, saya berada di Belopa, ibukota Kabupaten Luwu. Saya teringat banyak pengalaman saat di Pulau penyengat, kepulauan Riau. Saya membatin bahwa sejarah di banyak tempat di Malaysia, Riau, hingga Kalimantan, dimulai dari tanah ini.
Namun, Luwu tidaklah semegah negeri-negeri yang dijelajahi para putra Luwu. Kini, Luwu adalah wilayah yang telah mekar menjadi beberapa wilayah, mulai dari Kota Palopo, Luwu, Luwu Timur, hingga Luwu Utara.
Pertanyaan yang menggelayut di benak adalah mengapa
orang-orang besar itu tak membangun peradaban hebat, berupa kerajaan besar dan
megah, di kampung halamannya sendiri? Mengapa mereka harus keluar dan tidak
menjelmakan ide-ide besarnya di tanah Luwu?
Saya menyimpan pertanyaan ini, lalu menanyakannya pada Bachrianto Bachtiar, seorang akademisi. Kata Bachrianto, Luwu adalah wilayah yang punya wiayah luas, dengan berbagai kekayaan. Katanya, semua etnik bisa ditemukan di Luwu dikarenakan banyaknya sumberdaya alam yang bisa menopang kesejahteraan.
“Kalaupun ada orang Luwu merantau, maka pastilah itu
disebabkan sesuatu yang prinsipil. Mereka memilih memegang prinsip itu,
mempertahankannya mati-matian. Kalau perlu, mereka siap binasa demi prinsip
yang dipegang erat itu,” katanya.
Saya merenungi penuturan Bachrianto. Sejarah hijrahnya orang Luwu ke Malaysia dan wilayah lain memang tak bisa lepas dari faktor politik. Hijrahnya lima bangsawan Luwu itu tak bisa dilepaskan dari faktor politik.
Seusai Perang Makassar yang ditandai dengan lahirnya Perjanjian Bongaya di tahun 1669, banyak orang Bugis-Makassar yang merasa tercabik harga dirinya. Mereka merasa terhina sebab harus dipimpin oleh orang Belanda, yang telah mengalahkan mereka dalam perang dahsyat.
bersama keturunan Raja Ali Haji |
Hijrahnya mereka ke banyak titik menjadi awal dari diaspora orang-orang Bugis Makassar yang lalu tersebar ke mana-mana. Di tanah yang baru, mereka menjadikan kecerdasan dan keahlian perangnya sebagai modal untuk menjadi pemimpin.
Tak heran, banyak di antara mereka yang menjadi pemimpin sebab sukses memaksimalkan semua modal keahlian yang dimilikinya untuk menaikkan posisinya.
Sahabat saya, Helmy Ayuradi Mihardja, menjelaskan tentang
dinamika Bugis perantauan itu dengan cara meneropongnya dari sisi pandang
filsuf Pierre Bourdieu. Kata Helmy, modal budaya dan simbolik etnik Bugis
mempermudah mereka bertarung di arena sosial maupun di arena ekonomi.
Sebab, modal budaya dan simbolik telah menjadi habitus masyarakat Bugis, yang teguh memegang prinsip-prinsip kehidupan etnik Bugis termasuk prinsip siri’na passe. Prinsip Siri’ merujuk prinsip malu, yang meliputi malu hidup melarat di kampung orang lain dan malu mengambil hak orang lain. Mereka mengamalkan prinsip Passe, tidak tega melihat saudaranya hidup sengsara. Nilai-nilai passe mendorong orang-orang Bugis untuk saling bahu membahu dalam perbaikan nasib.
Di luar itu, orang Bugis punya strategi bertahan dengan memaksimalkan tiga ujung, yakni ujung lidah (cappa lila), ujung badik (cappa kawali), dan ujung kemaluan (cappa lasse). Ujung lidah adalah kemampuan diplomasi dan bersiasat.
Ujung badik adalah kemampuan tempur dan mengalahkan siapapun lawan. Ujung kemaluan adalah metafor dari prinsip akulturasi dengan budaya lain, yag ditempuh melalui perkawinan.
Filosofi tiga ujung ini pernah pula dipaparkan oleh Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak, yang merupakan keturunan Bugis. Ia memaparkan itu saat menerima gelar doktor honoris causa dari Universitas Hasanuddin. Najib meyebut filosofi tiga ujung ini sebagai daya-daya adaptasi dalam menghadapi ruang sosial baru.
Kita juga bisa menambahkannya dengan argumentasi tentang spirit rantau. Bahwa mereka yang merantau dibekali optimisme kuat untuk sukses agar kelak tidak membawa rasa malu saat kembali ke kampung halaman.
Spirit ini menjadi kompas yang memandu sejauh manapun kaki perantau Bugis bergerak. Semangat rantau ini telah menggerakkan mereka untuk menjalin persahabatan dengan siapapun. Mereka bersahabat dengan siapapun, tapi bisa menyabung nyawa untuk hal-hal yang melanggar prinsip.
Di sini, di tanah Luwu, saya merenungi perantauan orang-orang Bugis di Luwu yang berkelana hingga jauh. Saya merenungi salah satu pasal dalam gurindam dua belas yang disusun Raja Ali Haji:
cahari olehmu akan sahabat
yang boleh dijadikan obat
cahari olehmu akan guru
yang boleh tahukan tiap seteru
cahari olehmu akan isteri
yang boleh menyerahkan diri
cahari olehmu akan kawan
pilih segala orang yang setiawan
cahari olehmu akan abdi
yang ada baik sedikit budi.
Belopa, 11 Januari 2017
BACA JUGA:
1 komentar:
Baik
Posting Komentar