Mereka yang Menebar EMBUN di Media Sosial



TAK semua orang menjadikan media sosial sebagai sarana untuk menebar kebencian dan melampiaskan semua kemarahan. Tak semua orang menjadikan media sosial sebagai panggung politik, panggung merendahkan orang lain, panggung untuk memamerkan kehebatan. Justru di media sosial, terdapat sejumlah figur hebat yang mendedikasikan dirinya sebagai embun sejuk yang membasahi pikiran dan hati.

Justru di media sosial, terdapat sejumlah orang yang memilih untuk menyalakan lilin di tengah kumpulan orang-orang yang hanya bisa mengutuk dan menyalahkan keadaan. Mereka bukanlah partisan, bukan pendukung partai. Melalui mereka, kita menyerap kearifan, merasakan gelora dan semangat yang membumbung tinggi, lalu menyelam di dasar samudera jernih. Siapakah gerangan?

Saya mencatat tiga nama di timeline saya, yang memiliki aliran keagamaan berbeda, yang selalu menginspirasi. Ketiganya selalu menuangkan embun di tengah emosi yang menggelegak. Ketiganya tak lelah menjadi guru yang selalu memosting hal-hal reflektif, penuh perenungan. Siapakah mereka?

Pertama, Mustofa Bisri. Sosok ini bukanlah sosok kemarin sore yang tiba-tiba saja tenar karena munculnya facebook. Sosok ini telah lama membangun jejak yang dalam di dunia kenyairan dan sastra Indonesia. Puisi-puisinya terbilang religius serta berangkat dari kontemplasi yang dalam. Saya sangat sering mengutip beberapa puisinya. Yang paling saya sukai adalah puisi berjudul “Kalau Kau Sibuk.” Berikut beberapa bait puisi itu.

Kalau kau sibuk mencela orang lain saja 
Kapan kau sempat membuktikan cela-celanya? 
Kalau kau sibuk membuktikan cela orang saja 
Kapan kau menyadari celamu sendri? 
Kalau kau sibuk bertikai saja 
Kapan kau sempat merenungi sebab pertkaian? 
Kalau kau sibuk merenungi sebab pertikaian saja 
Kapan kau akan menyadari sia-sianya?….. 
Kalau kau sibuk berkutbah saja 
Kapan kau sempat menyadari kebijakan kutbah? 
Kalau kau sibuk dengan kebijakan kutbah saja 
Kapan kau akan mengamalkannya? 
Kalau kau sibuk berdzikir saja 
Kapan kau sempat menyadari keagungan yang kau dzikiri? 
Kalau kau sibuk dengan keagungan yang kau dzikiri saja 
Kapan kau kan mengenalnya? 

Gus Mus, demikian ia disapa, adalah salah satu penulis tema-tema keislaman yang sangat produktif. Sebagai kiai Nahdlatul Ulama (NU) yang memimpin Pondok pesantren di Rembang ini, ia menulis puluhan buku, yang kesemuanya adalah tema agama. Buku-bukunya snagat kental dengan sufisme serta bagaimana membumikan Islam dalam kehidupan sehari-hari. Reputasi dan dedikasinya di bidang intelektualitas dan keumatan, tak diragukan lagi.

Ketika media sosial mulai mewabah, ia meramaikannya dengan konten-konten positif. Ia emnjadikan facebook sebagai arena untuk menyebarkan dakwah dengan cara yang tidak menggurui orang lain. Beberapa hari lalu, ia mengatakan:
 “Kalau ada yang menghina atau merendahkanmu janganlah buru-buru emosi dan marah. Siapa tahu dia memang digerakkan Allah untuk mencoba kesabaran kita. Bersyukurlah bahwa bukan kita yang dijadikan cobaan. :-)”

Belakangan ini, namanya banyak dibahas netizen. Saat dugaan penistaan agama muncul, ia berani berpendapat berbeda dengan banyak orang yang suka marah2 di dunia medsos. Ia tak hendak ikut-ikutan menyampaikan sikap dengan cara marah. Ia tetap tenang, dan terus memosting hal-hal positif.

Beberapa hari lalu, ia kembali dihina oleh seorang netizen. Reaksinya bukan marah-marah dan lapor polisi. Ia membuka pintu rumahnya saat si penghina itu datang. Ia malah menganggap tak ada yang perlu dimaafkan. Dengan tenangnya, ia berkata:

“Saudara Fadjroel Rachman dan Adhi Karya BUMN dengan sungguh-sungguh memintakan maaf atas ucapan salah satu karyawannya. Maka dengan sungguh-sungguh saya menjawab: Tidak ada yg perlu dimaafkan, Mas Fadjroel. Kesalahannya mungkin hanyalah menggunakan 'bahasa khusus' di tempat umum. Maklum masih muda. ”

Melihat Gus Mus, saya selalu berdoa agar dirinya dianugerahi kekuatan untuk menjaga iman seluruh anak bangsa.

Kedua, Karma Zopa Gyatsho. Beliau seorang biksu yang suka berbagi pengetahuan di facebook. Saya tak mendapatkan data lengkap siapa dan bagaimana kisah hidupnya. Saya juga tak mendapatkan informasi apa saja pemikirannya yang telah dipublikasi. Mendengar kata Gyatsho, saya teringat nama biksu yang menjadi guru Avatar Aang dalam kisah Avatar: The Last Airbender yang ditayangkan di Nicklodeon. Fisiknya serupa Gyatsho, yakni berkepala botak, dan menyelimuti tubuhnya dengan kain kuning.

Saya terpikat pada biksu Gyatsho ini sejak dirinya menanggapi penurunan patung Budha di Tanjung Balai, Asahan, Sumatera Utara. Dia tidak menunjukkan reaksi marah atau protes, lalu sibuk mengemukakan dalil tentang kerukunan bergama. Dia justru dengan santainya berkomentar:

"Apabila dengan turun nya patung Buddha bisa memberikan kebahagiaan kepada orang lain, maka bukankah doa khas umat Buddha yaitu "semoga semua makhluk hidup berbahagia" menjadi kenyataan?"

Saya menyukai apapun yang dipostingnya. Ia cukup rajin membuat postingan. Ia tak pernah membahas politik atau tema-tema aktual. Postingannya mengingatkan saya pada buku-buku yang ditulis Ajahn Brahm, seorang biksu asal Australia yang memilih tinggal di hutan belantara Thailand. Postingan para biksu ini selalu adem dan menyejukkan. Karpa Zopa Gyatso mengajarkan Budha, tapi bukan dengan cara mengutip-ngutip dan menggurui.

Ia menekankan pada pentingnya mengalir bersama semesta. Bahwa setiap manusia adalah tuan bagi dirinya sendiri. Bahwa pikiran adalah tuan yang mengendalikan segala hal. Saat manusia berpikir tentang sedih, maka sebanyak apapun bahagia, bisa menjadi sedih. Sebaliknya, saat kita berpikir bahagia, maka segala jenis kesedihan akan menjelma jadi bahagia. Dalam hidup, kita tak harus menolak sedih, tapi bagaimana kita memandangnya sebagai rekan seperjalanan yang mewarnai hari-hari kita. Kita berdamai dengan segala rasa sedih.

Hari ini ia menulis postingan menarik saat dirinya hendak sarapan. Ia mengatakan:

Renungan Sebelum MakanTerima kasih kepada kebaikan hati pak tani padi, pak tani sayur-sayur, terima kasih kepada pak sopir yang membawa beras dan sayur dari pak tani ke pasar induk, terima kasih pak buruh angkut yang mengangkat beras dalam karung untuk dipajang di toko beras, terima kasih pak sopir bajaj yang sudah mengantar beras dan sayur dari pasar ke tempat saya, terima kasih pak penjual gas buat saya memasak nasi dan sayur.Terima kasih semuanya sehingga sepiring nasi dan sayur ini bisa berada di hadapan saya dan siap memberikan kekuatan kepada tubuh saya untuk meneruskan hidup agar bisa berbagi kebaikan kepada semua makhluk hidup. Tanpa kebaikan hati kalian semua, mungkin tubuhku tidak bisa bertahan hidup lagi.Lihatlah betapa hidup Anda sangat mengandalkan kebaikan hati begitu banyak orang yang terlibat!Lihatlah betapa banyaknya ucapan terima kasih yang layak Anda berikan kepada begitu banyak orang yang sangat baik hati itu!Apabila hari-hari Anda lebih banyak diisi pikiran yang berterima kasih, ucapan yang berterima kasih dan Perbuatan yang berterima kasih, maka Anda tidak punya waktu lain lagi untuk memupuk ketidakbaikan hati yang tidak bermanfaat itu.Terima kasihMatur NuwunYuk...sarapan dulu 

Kemarin, ia menulis sesuatu yang menggetarkan batin:

Darimana energi Anda keluar, maka dari sana Anda menariknya kembali. Anda menganalisa dimana potensi yang dapat merusak Anda, disana pula Anda berusaha melindungi dan menutup, mengendalikan ke enam indera, termasuk tubuh dan pikiran.Dengan mendengar dan melihat sesuatu yang tidak baik, maka Anda akan memiliki prasangka atau pikiran yang tidak baik pula dan akibatnya apa yang Anda ucapkan menjadi tidak baik pula. Jika masih ada perlakuan yang diskriminatif terhadap semua insan berarti dalam ke enam indera masih ada suatu masalah sehingga perasaan Anda berperan mengenai hal yang tidak baik.Apabila hati Anda seperti ombak yang terombang-ambing maka dengan sendirinya Anda tidak bisa mencapai keberhasilan dalam memperbaiki diri sendiri.(KZG, 271116) 
Saya menyenangi segala hal yang ditulisnya. Pada setiap postingan itu, saya merasa belajar banyak hal baru, khususnya bagaimana mendengar suara-suara hati. Beberapa bagian dari postingannya, memiliki kesesuaian dengan kalimat para sufi. Di antaranya adalah kalimatnya: Langit tidak perlu menjelaskan bahwa dirinya tinggi ~ People know you're good If you are good.

Biksu ini menyerap apapun kearifan di sekitarnya, termasuk kisah seorang banser NU yang tewas saat menjaga gereja. Ia memosting foto banser itu lalu menulis: “Tribute to pahlawan kemanusiaan~Riyanto~ Banser NU. Sabda Buddha, "Lebih baik menjalani hidup satu hari saja tapi dengan melakukan kebajikan besar daripada hidup seratus tahun tapi menjalani hidup dengan sembarangan dan tidak mengendalikan diri."

Ketiga, Gede Prama. Saya tak perlu membahas banyak tokoh ini. Dia sepopuler Gus Mus. Gede Prama adalah seorang spiritualis Hindu yang sebelumnya menjabat sebagai direktur perusahaan asing di Jakarta. Ia meninggalkan semua kemewahan dan kemegahan dunia, lalu menepi di satu desa di Bali. Ia mulai menulis tentang pesan-pesan spiritual yang serupa embun bagi manusia modern.

Saya telah lama mengikuti postingan Gede Prama di facebook, pada akun Gede Prama’s Compassion. Dia sangat produktif, dan setiap hari berbagi pengetahuan. Dalam sehari, saya tak sempat membaca semua postingannya. Ia juga rajin memosting gambar atau tulisan yang dibuat murid-muridnya di manapun. Dia menulis di Kompas dan banyak media-media besar lainnya. Postingannya memiliki benang merah yang khas, yakni bagaimaa melihat sisi positif dari setiap kejadian demi memperkaya pengalaman batin. Dia bukan orang yang reaktif dan menulis kesan apapun yang dilihatnya, tapi ia memberi jeda bagi batinnya untuk mencerna ulang peristiwa itu, lalu direfleksi kembali dengan pikiran jernih.

Hari ini membuat postingan menarik. Saya kutipkan beberapa di antaranya:

"Jika orang tua suka dan bangga dengan apa-apa yang terjadi di masa lalu, anak muda energi hidupnya datang dari harapan tentang masa depan. Dan di dunia meditasi lain lagi. Masa lalu sudah berlalu, masa depan belum datang. Dan satu-satunya hadiah Tuhan yang menyediakan dirinya untuk disyukuri dan dinikmati adalah saat ini. Makanya dalam bahasa Inggris saat ini disebut the present (hadiah). Untuk itu, tarik nafas tersenyum pada setiap berkah di saat ini. Hembuskan nafas, bagikan senyumannya kepada dunia." 
Ia juga mengingatkan agar berhati-hati dalam memilih topic pembicaraan. Lebih baik menghindari hal-hal yang akan menjurus pada pertengkaran. Katanya:

"Hati-hati memilih topik pembicaraan saat Anda bercengkrama dengan orang-orang dekat. Begitu pembicaraan mengarah pada pertengkaran, apa lagi mengarah pada perkehalian, cari cara agar topik pembicaraan diganti. Lebih bagus lagi kalau menemukan topik pembicaraan yang memungkinkan orang menutupi lubang-lubang jiwanya. Yang paling bagus adalah menemukan topik pembicaraan yang membuat Anda mengingat memori-memori yang membuat hubungan semakin kuat dan sehat"

Yang mengejutkan, ia malah menyuruh kita untuk mencintai mereka-mereka yang melukai diri kita. Katanya:

"Berbaik hatilah pada orang-orang yang suka melukai. Di jalan spiritual mendalam, manusia jenis ini sangat dibutuhkan. Tanpa orang yang melukai, perjalanan spiritual mirip peselancar yang tidak berjumpa gelombang, serupa petinju yang tanpa lawan. Oleh karena itu, jika Anda sedang dicaci dan dilukai, bayangkan diri Anda seorang peselancar spiritual. Dan cacian serta makian orang adalah gelombang besar yang sedang Anda tundukkan"

Yang saya rasakan saat membaca postingan Gede Prama adalah kehidupan harus dihadapi dengan segala kelenturan. Manusia harus mengalir bersama smeua gerak dalam semesta demi menemukan kedamaian diri. Sebab kelenturan adalah simbol dari vitalitas dan daya hidup manusia. Manusia yang tidak lentur adalah manusia yang sudah mati. Sebagaimana alam semesta, manusia pun harus terus mengalir demi mendapatkan kedamaian.

"Sebagian lebih permukaan bumi isinya air. Sebagian lebih tubuh manusia isinya juga zat-zat cair. Ia membawa pesan bimbingan, selalu ingat untuk lentur dan fleksibel dalam memandang kehidupan. Perhatikan tubuh manusia, tubuh binatang, juga batang pohon. Yang masih hidup jauh lebih lentur dibandingkan dengan yang sudah mati. Artinya, kehidupan lebih dekat dengan kelenturan. Lebih dari itu, seperti air yang mengalir lentur menuju samudra yang tidak berhingga, kelenturan membuat seseorang terus bertumbuh menuju wilayah yang tidak berhingga"

***

DAFTAR ini tentulah sangat sedikit jika dibandingkan dengan betapa banyaknya guru-guru di media sosial. Saya hanya memilih tiga orang yang kerap melintas di timeline facebook saya. Tak ada niat untuk mengultuskan ketiganya. Saya hanya ingin berkata bahwa pada mereka yang menemukan banyak pelajaran saat melintas di belantara postingan penuh marah, benci, serta hal-hal biasa yang sederhana, malah sering menggelikan, di media sosial.

Postingan mereka ibarat oase atau danau segar yang sesaat membasuh jiwa, dan setelah itu merekahkan senyum saat mata menjadi lebih jernih dari biasanya. Semoga ketiga guru ini tak lelah berbagi perenungan. Semoga ketiganya setia merawat dan membasahi jiwa manusia Indonesia.


Bogor, 28 November 2016




7 komentar:

Anonim mengatakan...

Masak diam saja menerima ketidakadilan!!!

Imam Rahmanto mengatakan...

Izin share, Bang

Anonim mengatakan...

Saya ingin bertanya kalau ketidakadilan menimpa mereka apakah sikap mereka seperti itu?

Yusran Darmawan mengatakan...

gak boleh diam. keadilan harus ditegakkan. cuman mesti hati2. jangan sampai kita memaksakan adil, yang ada dalam pandangan kita, sementara boleh jadi itu justru tidak adil.

Yusran Darmawan mengatakan...

silakan mas...

Profesor Ndeso mengatakan...

Terimakasih mas Yusran..ulasan dan pujian yg penuh "vitamin" banget..

Anton mengatakan...

tulisan yang cukup bagus,

Sebagaimana bunga membuat taman jadi indah, memafkan membuat jiwa jadi indah…

untuk tulisan terbaru Guruji Gede Prama tentang kedamaian dan cara menyembuhkan kemarahan bisa dibaca di bawah ini

https://www.belkedamaian.org

Posting Komentar