TOKO buku Gramedia di Bogor
menggelar pesta diskon. Saya pun datang berbelanja. Hanya dengan uang senilai
150 ribu rupiah, saya membeli 10 buku bagus. Jika dikalkulasi dengan harga normal, barangkali
saya harus membayar di atas 500 ribu rupiah. Dikarenakan cuci gudang, saya bisa
mendapatkannya dengan harga yang teramat murah.
Sebagai konsumen, jelas ini
sangat menguntungkan. Tapi saya tiba-tiba tertegun saat membayangkan berapakah gerangan nilai
materi yang akan didapatkan para penulis buku ini? Saya membatin tentang kerja keras mereka, mulai dari
mengumpulkan gagasan, mengolah lagi semua gagasan itu agar enyah dibaca,
berkorespondensi dengan editor dan penerbit, hingga akhirnya ikut menata
aksara, lalu memberi masukan terkait desain layout dan cover buku. Terakhir
adalah mempromosikan karyanya di toko buku.
Sebagaimana halnya manusia yang punya takdir
berbeda-beda, karya tulis pun punya takdir berbeda. Ada karya tulis yang
menyerbu toko buku dengan label best seller lalu dicetak berulang-ulang,
dikembangkan menjadi film laris, yang lalu memberi kekayaan bagi penulisnya.
Tapi ada juga yang cuma bernasib tragis; hanya selintas menghuni rak toko buku,
setelah itu memenuhi rak buku diskon hingga harganya dibuat semurah mungkin,
seolah-olah menggemakan suara pemilik toko buku yang hendak berkata, “Ayo,
ambil buku ini. Gratis lho..”
Kata orang, pasar lebih mudah menyerap buku
fiksi, ketimbang buku non-fiksi. Hanya saja tak semua fiksi bisa seberuntung
novel yang mengisahkan persahabatan anak-anak di Belitung sana. Banyak yang
nasibnya cuma melintas. Nasib buku non-fiksi lebih tragis lagi. Belakangan ini,
saya kesulitan mendapatkan buku-buku non-fiksi bermutu, khususnya yang bergenre
ilmu sosial dan budaya. Dalam amatan saya, hampir setiap tahun buku non-fiksi
bermutu terbit, akan tetapi buku itu hanya sekilas hadir di toko buku, setelah
itu lenyap tak tentu rimbanya. Beberapa di antaranya bisa dibeli lewat online,
beberapa lagi lenyap tak tentu rimbanya.
Banyak di antara buku bermutu itu yang akan
selalu abadi. Semisal buku karya James Scott berjudul Weapon of the Weak, yang
lalu diterjemahkan penerbit Obor. Bagi saya, bahasan dalam buku ini bersifat
abadi dan selalu relevan di baca kapanpun. Sayangnya, buku sebagus itu hanya
muncul sekilas di toko buku. Mungkin buku itu tak banyak peminat. Hingga kini
belum juga dicetak ulang.
Nah, di tengah kesulitan mendapatkan buku-buku
bagus yang tak laku di pasar itulah, saya mendapatkan rekomendasi dari beberapa
teman untuk membelinya di beberapa jasa penjual buku bajakan di Yogyakarta.
Saya dikirimi katalog yang koleksinya cukup lengkap.
Setiap kali melihat katalog itu, saya
benar-benar berada dalam dilema. Saya tahu bahwa penulis buku tak mendapatkan
royalti dari buku yang terbeli. Tapi saya tak menemukan satu mekanisme lain
untuk menyerap informasi dari buku itu ketika tak ditemukan lagi di pasar.
Taruhlah, saya ingin membaca buku Arus Balik
yang ditulis Pramoedya Ananta Toer. Saya tak menemukan satupun buku itu di
banyak toko buku. Buku itu hanya bisa dibeli dari penjual buku bajakan. Jika
membelinya, maka tiba-tiba saja hati menjadi berat, khususnya saat membayangkan
penderitaan penulisnya saat berada dalam penjara di Pulau Buru. Betapa tak
adilnya kita mengagumi satu karya besar yang lahir pada situasi pengarangnya
yang setiap saat nyawanya bisa melayang.
Kehidupan memang menyisahkan banyak dilema.
Saya ingin menghormati semua penulis dan membeli buku dengan harga mahal. Saya
tahu persis kalau seorang penulis tak banyak dapat untung dari setiap sen buku
terjual. Di setiap harga buku, terdapat biaya untuk menggerakkan mata rantai
penerbitan. Bagian yang diterima penulis selalu lebih kecil dari bagian yang diterima
toko buku dan penerbit. Padahal penulis berlelah-lelah menghasilkan satu karya.
Penulis pernah bersentuhan dengan satu keping kenyataan, memeram gagasan, lalu
bersusah-payah melahirkan ide-ide dalam bentuk tertulis. Ia merawat gagasan
itu, memberinya nutrisi dan masukan dari banyak orang, hingga akhirnya lahir.
Hiks, rasanya sedih juga saat harus membelinya
dengan harga diskon buku yang menjadikan buku terlampau murah. Sementara di
sudut sana, penulis buku itu hidup dalam keterbatasan. Ah, semoga saja mereka
menerima banyak manfaat dan rezeki lain yang datang beruntun seiring dengan
bukunya yang tersebar ke mana-mana. Semoga.
Bogor, 7 Agustus 2016
0 komentar:
Posting Komentar