Lima Strategi untuk Kalahkan AHOK



DI berbagai survei dan lembaga konsultan politik, nama Ahok terus melaju di posisi terdepan sebagai kandidat kuat Gubernur DKI Jakarta. Sejatinya, Ahok tak sedang melaju sendirian. Ia diuntungkan karena lawan-lawannya malah terjebak pada irama dan tarian yang dimainkan Ahok. Lawan-lawannya memakai jurus dan lagu lama yang sudah terbukti kalah telak.

Padahal, Ahok bisa dikalahkan jika menerapkan strategi dan taktik yang jitu. Bisakah?

***

SAHABAT itu seolah punya energi meluap-luap saat membahas Ahok, Gubernur DKI saat ini. Ia selalu memosting berbagai berita ataupun link yang isinya selalu membahas hal-hal negatif tentang Ahok. Ia menjadikan kanal media sosialnya sebagai ajang kampanye negatif atas semua yang dilakukan Ahok. Tahukah anda di mana sahabat itu tinggal? Ia tinggal di Kendari, Sulawesi Tenggara.

Rupanya, di luar Jakarta, Ahok adalah trending topic yang tak pernah habis untuk dibedah. Semua orang suka membicarakan segala hal tentang sosok ini, baik itu melihatnya dari sisi positif maupun negatif. Lucu saja saat melihat fakta tentang mereka-mereka yang sibuk mengampanyekan sisi negatif Ahok, padahal berumah di luar Jakarta.

Kehadiran Ahok membuat orang luar Jakarta lupa kalau mereka juga punya pemimpin lokal yakni gubernur dan bupati yang seharusnya juga diawasi dan dikritik kinerjanya. Sahabat di Kendari itu lupa kalau gubernurnya sendiri masih Nur Alam, dan walikotanya masih Asrun, yang kinerjanya tak mocer-moncer amat. Biasa saja. Benar kata seorang kawan, Ahok itu serupa gubernur untuk Indonesia. Ia adalah magnet yang dibicarakan di banyak pelosok. Tiba-tiba saja semua kinerjanya hendak dibedah.

Dikarenakan para pembenci itu tinggal di luar daerah, satu-satunya yang menjadi rujukan adalah kliping atau link berita tentang Ahok. Apapun itu, sepanjang itu bisa menjadi counter atas ucapan Ahok langsung disebar. Tujuannya satu: memberi tahu semua orang kalau kinerja Ahok tidak bagus. Para pembenci itu mengabaikan fakta kalau semua berita dan media tak pernah netral. Berita selalu terkait konstruksi berpikir yang bermula dari kepentingan, lalu dialirkan di kanal-kanal media.

Saya sendiri tertarik membahas Ahok karena berumah di Bogor, yang hanya sepelemparan batu dari Jakarta. Apapun kejadian di Jakarta, maka akan menjalar ke beberapa daerah sekitar. Apalagi, aktivitas saya juga banyak di Jakarta. Kalaupun saya tertarik mengamati Jakarta, semata-mata karena menganggap kota itu adalah rumah tempat saya beraktivitas.

Ahok adalah anomali. Ia banyak melabrak tradisi dan pakem dalam dunia politik tanah air. Dari sisi marketing, ia bisa memosisikan dirinya secara unik di tengah barisan politisi yang berpikir seragam. Pantas saja jika dirinya selalu diberitakan media. Ia meladeni semua kritik dan kecaman atasnya dengan argumentasi. Beberapa kali ia mengekspresikan kemarahan, khususnya pada politisi yang hendak menilep uang rakyat. Setiap kali ia marah dan berkata kasar, maka segera menjadi viral di berbagai media. Yang dilupakan media adalah memuat substansi atau alasan utama mengapa Ahok berkata kasar. Benar kata seorang pakar, seringkali cara-cara dianggap lebih penting ketimbang makna.

Meskipun malu-malu untuk mengakuinya, saya tersenyum saat membaca pernyataan di media sosial yang menyebut kesalahan Ahok cuma dua, yakni: (1) Ahok seorang Kristen, (2) Ahok juga seorang Cina. Makanya, ia menggoyang kemapanan berpikir. Di tengah masyarakat yang masih memelihara berbagai prasangka, semua yang dilakukan Ahok akan dianggap salah. Jika di kota lain, kepala daerah yang menutup lokalisasi dianggap pahlawan, maka ketika Ahok melakukan tindakan yang sama, publik tenag-tenang saja. Ia tak dianggap pahlawan. Mengapa? Sebab Ahok berbeda.

Apapun itu, kemarahan Ahok tidak mengurangi dukungan publik atasnya. Seorang teman yang bekerja di lembaga konsultan politik berbisik kalau saat ini Ahok tak terbendung. Teman Ahok mengelola ajang politik menjadi ajang yang rapi dan penuh strategi modern ala kampanye di luar negeri. Mereka mengolah kampanye di media sosial, membuka posko pengumpulan KTP, melakukan fundrising untuk mengumpulkan dana, lalu fokus pada kelebihan-kelebihan Ahok.

Yang menarik buat saya, peta pertarungan Ahok versus kandidat lain punya lanskap yang mirip dengan arena pemilihan presiden lalu. Strategi Ahok menggerakkan relawan serta konsultan politik memiliki kemiripan dnegan pola-pola yang digunakan Jokowi saat pilpres lalu. Sementara lawannya terjebak dengan strategi usang, yang sudah pernah kalah telak.

Harusnya, lawan-lawan politik Ahok punya kajian mendalam tentang bagaimana kondisi sosial masyarakat Jakarta, evaluasi atas beberapa pemilihan sebelumnya, lalu menggelar tahap demi tahap strategi politik untuk mengalahkannya. Seharusnya, lawan-lawan Ahok mengidentifikasi di mana sisi kelemahan gagasan Ahok, lalu menyusun strategi yang lebih jitu.

Belajar dari ajang pilpres, ada beberapa hal yang bisa digunakan untuk mengalahkan Ahok. Kita akan lihat satu per satu.

Pertama, jangan pernah membawa-bawa isu SARA. Saat pilkada DKI lalu, juga pilpres, isu ini terbukti gagal total. Masyarakat Jakarta berisikan kelas menengah ngehek yang gampang bereaksi saat mendengar isu ini diangkat ke permukaan. Jakarta adalah kota yang sudah pernah diremuk beberapa konflik bernuansa SARA, sehingga ketika isu ini diangkat, semua orang akan terbawa pada kenangan traumatik yang tak ingin diulangi kembali. Jika dilakukan survei, hampir semua warga Jakarta menginginkan kehidupan yang tenang dan damai. Dikarenakan akses media serta pendidikan di kota ini lebih baik, maka kelas menengah perkotaan tak selalu nyaman dengan isu etnik.

Nampaknya, warga kota sama paham bahwa isu-isu SARA dianggap bisa merobek bangunan kebangsaan yang telah lama dibangun. Di kota sebesar Jakarta, siapapun yang membawa-bawa isu SARA berpotensi besar untuk gagal total. Kita bisa melihat sendiri pengalaman pemilihan sebelumnya. Lihat pula perolehan suara berbasis agama di wilayah ini yang rendah. Mengapa? Sebab kartu yang dimainkan adalah SARA.

Kedua, segera lakukan perekrutan tim profesional untuk menangani social media, serta counter opini di media massa. Untuk kota sebesar Jakarta, informasi dengan cepat menyebar. Di mana-mana warga menggunakan smartphone. Ujung jemari warga bisa menjadi alat kampanye yang efektif hanya dengan cara meng-klik.

Tim lawan Ahok sebaiknya jangan merekrut eks kombatan media sosial yang pernah kalah di pilpres lalu. Mengapa? Sebab strategi menebar kebencian, sebagaimana pernah dilakukan salah satu pasangan pilpres lalu, terbukti gagal total. Yang harus dilakukan adalah melatih tim social media secara profesional, membentuk barisan intelektual yang mengolah isu dengan cerdas, lalu mengemas beberapa program populer yang bsia mendingkrak elektabilitas.

Informasi harus dikemas dengan mendidik, sekaligus menghibur. Jangan sekali-sekali merekrut tim media Aburizal Bakrie (ARB) yang terus-menerus membobardir publik melalui media milik pengusaha itu, sehingga menimbulkan efek jenuh. Pelajaran berharga dari pengalaman tim ARB adalah informasi yang terus-menerus dijejalkan ke ruang visual publik bisa berujung pada sentimen negatif. Harusnya, tonjolkan hal positif, yang tak perlu membawa-bawa nama seseorang yang lagi punya hajatan politik. Lucunya, strategi ARB itu tengah diterapkan Harry Tanoe untuk populer di medianya sendiri. Apakah berhasil? Dugaan saya akan berujung pada kemuakan.

Ketiga, tebarkan jejaring sosial ke berbagai ranah maya. Kenali siapa saja para pemantul isu yang paling lihai di media sosial. Pelajaran dari Arab Spring adalah para fesbuker dan pemain twitter punya peran besar untuk mendorong revolusi. Di era ini, tak begitu sulit mengenali seberapa kuat pengaruh seseorang di media sosial. Gunakan Klout, aplikasi yang memberi skor sejauh mana kekuatan seseorang di media sosial. Gunakan ranking Alexa untuk mengetahui sejauh mana pengaruh dan kekuatan seorang blogger. Jangan terpengaruh dengan retorika pengaruh. Ukur kekuatan seseorang melalui banyak aplikasi yang tersedia di dunia maya.

Setelah itu, dekatilah tokoh-tokoh kunci itu. Tawarkan satu gagasan cerdas tentang Jakarta yang lebih baik, lalu ajak mereka untuk meramaikan ranah media sosial dnegan berita positif. Jelaskan kepada mereka kalau kampanye politik ibarat bermain dalam game The Simps tentang mengelola kota. Katakan, yang hendak didukung adalah figur yang punya track-record baik serta punya ide yang lebih hebat dari Ahok untuk menata Jakarta. Rekrut kalangan muda yang terbiasa terkoneksi dunia maya ataupun terbiasa dengan game online. Katakan, misi untuk mendukung kepala daerah yang baik serupa game counter-strike yang mengandalkan banyak strategi serta kiat untuk menang.

Yang membuat Ahok makin kuat adalah lawan-lawannya kembali mengulangi lagu lama saat pilpres dulu, melakukan berbagai strategi yang sudah terbukti gagal total, serta terbawa arus emosi dan sentimen negatif. Lebih parah lagi karena strategi alwan Ahok adalah copy-paste dariapa yang dilakukan Ahok. Lihat saja bagaimana Adhyaksa Dault membentuk kawan Adhyaksa di medsos. Bagaimanapun juga, publik akan lebih mendukung soosk yang lebih orisinil, bukan pengekor.

Keempat, fokus pada berbagai kelemahan Ahok dalam hal gagasan. Salah satu pintu masuk untuk menggugat Ahok adalah keberpihakan pemerintah pada lapis bawah yang tak begitu menonjol. Dalam beberapa kasus penggusuran, pendekatan Ahok selalu saja legal-formal, yang mengabaikan aspek dialogis yang seharunya menjadi kekuatan bagi warga kota.

Kemukakan fakta tentang posisi lapis bawah masyarakat yang tak pernah dianggap sebagai kelas yang seharusnya punya hak hidup dan hak untuk didengarkan. Kritik pula kebijakan memindahkan warga di rumah susun. Sebab kebijakan itu tak selaras dengan spirit kolektivisme masyarakat yang terbiasa menghadapi persoalan secara bersama-sama. Kepindahan ke rumah susun justru kian mengecilkan kolektivisme, lalu membawa masyarakat ke arah individualisme, sebagaimana terlihat pada sekat-sekat di rumah susun.

Hadapi Ahok dengan argumentasi tentang betapa jauhnya pembangunan dari proses pemanusiaan warga Jakarta. Gali beberapa fakta tentang pembangunan yang tidak merata, sebab hanya memihak kelompok menengah ke atas. Angkat fakta tentang Ahok yang hanya garang di lapis bawah, tapi berubah jadi penuh sopan santun saat bertemu warga lapis menengah atas Jakarta.

Kelima, tetap bermain sabar dan tenang. Jangan pernah terpancing dengan segala emosi dan kemarahan Ahok. Ahok leluasa menggunakan strategi itu, sebab track-record-nya cukup baik, khususnya dalam hal kehadiran di berbagai momen penting pembangunan Jakarta. Jangan terpancing dengan emosi Ahok lalu tiba-tiba menjawab dengan sentimen SARA. Ingat, masyarakat yang hendak dimenangkan adalah lapis menengah bawah yang tak benar-benar diam. Mereka mencatat semua yang dilakukan, lalu menyebarkannya secara viral.

***

TENTU saja, politik adalah seni untuk mengolah berbagai kemungkinan. Makanya, berbagai strategi mesti ditempuh secara kreatif demi memenangkan orang baik ke kursi kekuasaan. Kekuatan Ahok tak selalu bermuara pada gagasan serta cara-cara baru dalam melihat pembangunan. Kekuatan Ahok semakin menonjol dikarenakan lawan-lawannya mengedepankan pendekatan yang sudah terbukti gagal total dalam beberapa momen pemilihan.

Dugaan saya, semakin dekat pemilihan, maka isu etnik dan agama akan semakin massif dikampanyekan. Kembali, kita akan melihat jualan agama untuk menjatuhkan seseorang. Jika kondisinya demikian, saya yakin kalau Ahok akan kembali menang dan mewujudkan Jakarta baru yang bebas prasangka, penuh dedikasi, serta transparan dalam mengelola dana publik.

Buat anda yang membenci Ahok, bersiaplah menerima fakta kalau Ahok akan kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta.


Bogor, 12 Maret 2016


BACA JUGA:







2 komentar:

born from nature, live for nature mengatakan...

Klo punya ktp jakarta, pilih siapa mas?

Yusran Darmawan mengatakan...

saya akan pilih Ahok.

Posting Komentar