sampul buku yang diterbitkan Mojok.co (sumber: facebook buku Mojok) |
DAHULU, para pembuat opini dan pemantik
diskusi adalah mereka yang wara-wiri di rubrik opini harian Kompas dan majalah
Tempo. Kini, para pengendali wacana adalah para blogger yang dalam sekejap bisa
membuat tulisannya di-share hingga ribuan kali, disukai jutaan orang. Kini,
mereka adalah penulis di Mojok.co, Kompasiana, Indonesiana, blog Detik, ataupun
Indoprogress.
Dahulu, bisa menembus media itu sudah
dianggap keren. Sekarang tidak lagi. Tulisan yang keren adalah tulisan yang serentak
dibagikan secara viral, menembus berbagai lapisan usia, dibincangkan di
mana-mana, di-share di facebook hingga ribuan kali, dibagikan secara cepat
melalui twitter, dibahas di forum-forum Kaskus, diulas berkali-kali di
Kompasiana, hingga akhirnya bisa ‘memaksa’ semua televisi untuk menayangkannya.
Dahulu, para pengendali wacana itu muncul
dari berbagai perguruan tinggi dan ruang-ruang ilmiah. Kini, para pengendali
wacana itu bisa datang dari berbagai lapisan sosial. Ada kumpulan emak blogger,
ibu rumah tangga, pengusaha, pengamen jalanan, siswa sekolah, bahkan seorang
kuli panggul pun bisa menjadi pengendali wacana, sepanjang tulisannya disukai
jutaan orang dan disebarkan beramai-ramai. Di satu media warga, seorang
koruptor yang tengah ditahan di satu lembaga pemasyarakatan bisa menjadi
blogger selebritis karena tulisan-tulisannya memang bernas dan selalu memantik
rasa ingin tahu.
Tentu saja, diskusi tentang dilema etik
bisa muncul. Point yang ingin saya tekankan adalah siapapun anda, apapun
profesi serta aktivitas, anda bisa menjadi pengendali wacana sepanjang anda
bisa melahirkan tulisan-tulisan yang bernas, dibagikan banyak orang, serta
menginspirasi orang-orang dari berbagai kalangan.
Inilah karakter zaman kita. Inilah penanda
waktu hari ini. Zaman para pembuat opini yang serius dan membahas bangsa-negara
dari berbagai perspektif ilmu sudah lama lewat. Tulisan-tulisan yang banyak
dicari dan dibagikan adalah tulisan yang membumi, melihat persoalan dari sudut
pandang orang biasa, namun tetap punya muatan dan pesan kuat yang ketika dibaca
bisa sejenak mengendap dalam pikiran.
Pada titik ini, kita mesti banyak berguru pada para penulis di Mojok.Co. Sejak kehadiran media warga ini, saya
kerap menyaksikan betapa banyaknya orang yang membagikan artikel dari media
ini. Dalam usia relatif muda, Mojok bisa menghadirkan artikel-artikel yang amat
bersesuaian dengan karakter netizen di media sosial. Mereka tahu bahwa para
netizen ingin artikel yang ringan, punya makna, penuh daya ledak, serta bisa
melihat persoalan dari sisi yang sederhana. Inilah rahasia mengapa artikel di
social blog ini laris-manis bak kacang goreng.
Saya menikmati tulisan dari social blog
ini. Saya juga senang bisa membaca buku berjudul Surat Terbuka Kepada Pemilih Jokowi Sedunia. Buku ini menyajikan
kumpulan artikel terpilih, yang pernah dibagikan ribuan orang di berbagai kanal
media sosial. Kumpulan artikel inilah yang sempat memenuhi benak orang yang
kerap wara-wiri dan membagikan
artikel di media sosial. Kumpulan tulisan ini adalah representasi dari alam
pikir manusia Indonesia yang suka berselancar di internet.
Beberapa nama penulis hebat (namun tak
pernah merasa hebat) di Mojok yang sering saya baca tulisannya adalah Arman Dhani, Iqbal Aji Daryono, Muhidin M
Dahlan, Rusdi Mathari, Eddward S Kennedy, AS Laksana, Wisnu Prasetya Utomo, hingga Windu Jusuf. Di mata saya, mereka
adalah para penyihir yang dalam waktu sekejap bisa membuat anda tersenyum,
mengangguk, jengkel, benci, kesal, terharu, lalu tak tahan untuk membagikan apa
yang mereka tulis. Tulisan-tulisan mereka bisa mempengaruhi suasana hati, lalu
secara perlahan menyelipkan satu opini dan pesan kuat tentang satu peristiwa
yang tengah hangat dibicarakan.
Yang saya sukai dari para penulis di Mojok.Co
adalah gaya menulis yang santai, jenaka, serupa obrolan di warung-warung kopi.
Tak jarang saya menemukan seloroh dan olok-olok pada temannya yang sejenak bisa
membuat tersenyum, sesuatu yang sebenarnya dilakukan oleh mayoritas orang
Indonesia saat nongkrong di warung-warung kopi. Tak jarang saya temukan gaya
bahasa satire yang kesannya nyindir-nyindir gaya berpikir kita yang mainstream
dalam memahami sesuatu.
Menurut saya, gaya menulis seperti ini terkesan
gampang, tapi susah untuk dilakukan. Kalau anda tak begitu pandai berseloroh,
jangan sekali-sekali memasukkan gaya seloroh dalam tulisan. Bisa-bisa tulisan
anda bakal kehilangan greget, dan terasa garing. Pembaca bisa bengong karena
diajak mengikuti gaya seloroh anda yang boleh jadi tak nyambung dengan
keseharian mereka. Kalau anda tak bisa mengendalikan satire, maka tulisan anda
bisa disalahpahami oleh pembaca sehingga terkesan anda seolah mengampanyekan
satu ide. Padahal, boleh jadi yang ingin anda lakukan adalah sebaliknya. Pada
titik ini, kemampuan berseloroh dan nyindir-nyindir anda harus paripurna agar
orang-orang paham maksud anda.
Para penulis Mojok.Co adalah mereka-mereka
yang wawasannya sekelas para doktor perguruan tinggi, namun menyajikan tulisan
dengan gaya kaki lima. Bukan berarti mereka tak bisa menulis dnegan gaya para
doktor, tapi mereka ingin menyajikan sesuatu yang dibaca banyak orang. Mereka
sangat paham apa yang hendak ditulis, sehingga bisa mengemas gagasan itu dengan
cara yang sangat sederhana.
Saya ingat Yudi Latif pernah menulis
tentang gaya menulis Kang Jalal (sapaan akrab Dr KH Jalaluddin Rakhmat) yang
sangat disukainya. Ia pernah bertanya, bagaimana rahasia menulis hingga begitu
renyah, yang berbeda dengan gaya seorang akademisi. Kang Jalal menjawab
singkat, “Ketika saya menulis dengan berat, penuh teori dan bahasa susah, maka
itu pertanda saya tidak begitu paham apa yang ditulis. Tapi ketika saya menulis
ringan dan renyah, maka itu pertanda kalau saya sangat memahami apa yang sedang
dituliskan.”
Nah, para penulis di Mojok.Co itu berada pada
koridor yang disebut Kang Jalal. Publik mendapatkan wawasan, dialog, serta
pencerahan dari tulisan ringan yang tersaji di social blog itu. Tak hanya itu,
publik juga mendapatkan keceriaan, serta senyum yang mekar dikarenakan tulisan
itu bisa jadi oase atas rutinitas harian yang boleh jadi cukup melelahkan.
Satu saja catatan saya untuk tulisan di Mojok.co. Banyak
gaya bercanda serta menulis idiom lokal yang hanya bisa dipahami seseorang yang
lahir dan besar di tanah Jawa. Sebagai orang luar Jawa, saya sering tak
memahami candaan serta seloroh di beberapa tulisan. Tapi saya menangkap spirit-nya yakni obrolan ringan khas
pinggir jalan atau warung kopi yang asyik, renyah, dan lebih mengasyikkan saat
menyeruput kopi di pagi hari.
Ah, saatnya untuk ngopi. Srrruupp!
Bogor, 27 September 2015
3 komentar:
Terima kasih ada "Kumpulan Emak Blogger" di sebut sebagai salah satunya :)
Sebagai salah satu pengurus ikut senang
Makasih atas komennya. Kumpulan Emak Blogger memang keren. sy punya banyak kawan di situ. salam.
Saya lebih suka baca Mojok.co daripada opini Kompas u/ saat ini. Lebih update di Mojok.co untuk permasalahan sosial sekarang.
Posting Komentar