Sekuntum Sapa yang Mendebarkan


ilustrasi

SEBULAN sudah, saya bersama keluarga menempati rumah kecil di persimpangan antara Cikeas, Hambalang, dan Sentul. Namun jangan bayangkan saya tinggal di tiga kompleks itu. Saya tinggal di tengah-tengahnya, tepat pada perkampungan kecil warga desa yang secara perlahan kian terjepit oleh pemukiman mewah. 

Sungguh, saya cukup menikmati suasana perkampungan ini. Rumah-rumah berjajar tak rapi di kelilingi rerimbunan pohon yang daunnya menutupi pemukiman warga dari sengatan matahari. Di siang hari, pemukiman ini amat teduh, namun dingin mudah menyergap di malam hari. Saya menyukai sungai kecil yang airnya mengalir deras di dekat rumah. Hanya saja, ketika melintas di jalan kecil di atasnya, saya sering merasa khawatir kalau-kalau terpeleset ke sungai deras itu.

Orang-orang menyebut pemukiman ini sebagai Kampung Cijulang. Tapi, alamat rumah tertera Desa Cadasngampar. Kadang aneh saja sebab desa ini berhimpitan dengan kota Bogor. Untuk menuju pusat Kota Bogor, saya hanya menempuh perjalanan sekitar 30 menit dengan angkutan umum. Penduduknya saling mengenal. Saya mulai akrab dengan ibu-ibu penjaga warung, bapak pedagang asongan di samping rumah, serta keluarga yang bekerja sebagai peternak di ujung jalan sana. Semua saling mengenal.

Mulanya, saya kesulitan berkomunikasi. Semua orang berbahasa Sunda. Secara perlahan, saya belajar percakapan sederhana dalam bahasa Sunda. Saya bisa memahami beberapa kalimat. Tapi masih sulit melafalkannya. Lidah Sulawesi saya terlampau sulit untuk mengatur ritme pembicaraan menjadi lebih halus, sebagaimana warga Bogor. Saya terbiasa berbicara dengan gaya bicara seorang nelayan yang hendak mengalahkan bunyi ombak. Terdengar setengah berteriak. Yah, ini bawaan kultur yang membesarkan dan menyapih saya sebagai noktah kecil di tengah masyarakat.

Di sini memang perkampungan. Ketika berkendara dengan sepeda motor dan mengelilingi kampung, saya menemukan fakta mengejutkan. Ternyata, kampung kecil ini justru tengah terkepung oleh kompleks-kompleks mewah yang menjadi rumah peristirahatan lapis-lapis kaya di Jakarta sana. Saya melihat plang Cikeas, Hambalang, dan juga Sentul. Wajarlah, kampung ini tak jauh dari jalan tol, yang serupa portal untuk menembus Jakarta.

Saat melintas di jalanan dekat pemukiman mewah itu, saya merasakan dua sisi yang kontras. Jalan di perkampungan warga desa amat sempit, serta rusak parah. Jalan itu hanya bisa dilalui satu kendaraan. Itupun mesti hati-hati sebab kondisi jalan penuh dengan lubang-lubang. Sungguh amat beda dengan jalanan mulus di Sentul yang bisa dilalui delapan mobil yang bersisian. Padahal, tak banyak yang lalu lalang di jalanan itu. Palingan hanya mobil-mobil mewah.

Sementara jalan sempit di kampung ini justru dilalui berbagai moda transportasi serta manusia dari berbagai profesi. Mulai dari angkot, ojek, sepeda, pedagang asongan, petani yang membawa cangkul, peternak yang membawa rumput, hingga pengendara yang memenuhi motornya dengan kerupuk yang akan disimpan di banyak warung. Harusnya, jalan kampung ini yang dibenahi sebab dilalui banyak orang dari berbagai profesi. Mengapa jalan kami tak juga diperbaiki?

Saya menduga, jalanan di kampung kami sengaja tidak diperbaiki agar penghuninya tidak betah, lalu menjual tanahnya pada pengusaha kaya. Melihat fisik kampung yang kian mengecil, saya mengkhawatirkan punahnya perkampungan ini dalam waktu yang tak seberapa lama. Uang dan materi bisa menjadi nabi baru yang sanggup mengubah iman warga desa untuk segera menyingkir. Para pekebun yang lahannya kian menyempit itu kerap tergoda untuk menjual tanahnya demi mencapai standar hidup sebagaimana warga di rumah-rumah mewah itu.

Ketika desa perlahan menjadi kota, saya mulai khawatir pada banyak hal. Saya mulai takut akan hilangnya ikatan kekerabatan dan persaudaraan warga kampung. Saya ngeri membayangkan perkampungan ini menjadi jeruji yang membuat warganya tak saling kenal. Saya tak ingin melihat tembok-tembok besar dibangun di antara rumah tetangga, sebagaimana dengan mudahnya disaksikan di perumahan mewah sana.

Saya takut pada hilangnya rasa saling mengenal dengan tetangga. Yup, saya sungguh mengkhawatirkan itu. Saya tak ingin kehilangan senyum manis gadis-gadis molek sebelah rumah yang sapaannya bikin saya merinding. Para mojang Bogor ini memang jelita sebagaimana artis-artis sinetron. Sayang, kata seorang kawan, sapaan gadis-gadis itu terdengar agak genit. Tapi saya justru suka. Saya kerap berdebar-debar saat disapa, “Akang ganteng, singgah ke sini yuk. Minum teh dan ngobrol sama Eneng...”
 

Bogor, 7 Oktober 2014

1 komentar:

a.zulkarnain mengatakan...

Hehe.. Aparat desa harus bersiap.. Krn kedatangan warga baru yg memiliki jejak prmberontakan... Dan warga patut brsyukur krn d datangi nabi kcil yg akan mlindungi mreka..

Posting Komentar