Bali, Keheningan, dan Kesunyian


senja di Pantai Kuta, Bali

ENTAH, apa yang terjadi belakangan ini, Bali nampak lebih sepi. Tak banyak yang lalu lalang di pagi dan sore hari. Namun justru di tengah suasana sepi itu, nuansa spiritual lebih kental. Melihat seorang gadis manis berambut panjang yang meletakkan sesajen di dekat pantai, semesta seolah berbisik, bahwa di tengah keheningan itu, Bali lebih bergema, lebih sakral, lebih mistis.

Sejak kemarin, aku berkunjung ke Bali. Ini bukan yang pertama. Beberapa tahun lalu, aku datang ke Bali dan terharu ketika melihat potret beberapa gadis manis di Legian, di monumen untuk mengenang tragedi bom. Kali ini tak ada kunjungan monumen. Aku hanya menikmati sunset di Pantai Kuta, sembari menuntaskan pekerjaan di satu hotel.

Bali kian sepi. Turis yang datang tak sebanyak beberapa tahun lalu. Jika dibandingkan dengan pantai-pantai di Thailand yang suasananya serupa pasar, Bali terlihat seperti perkampungan hotel yang sunyi. Data dari Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Bali, lama kunjungan para turis kian berkurang jika dibandingkan 10 tahun silam. Dahulu, turis bisa menjelajah pulau itu hingga 14 hari. Kini, mereka hanya tinggal selama tiga hari. Mereka hanya bisa menjelajah ke tempat-tempat yang dahulu lebih dahulu populer.

Bagiku, Bali selalu berbeda. Semakin sunyi, semakin memikat dirinya. Pulau ini menyimpan denyut nadi yang memantek kaki untuk selalu memijak kembali. Pulau ini punya embun-embun spiritual bagi para pejalan di keheningan yang hendak menemukan harmoni dengan semesta. Para antropolog dan spiritualis telah lama berkisah tentang Bali dan semestanya. Terakhir, penulis Elizabeth Gilbert juga menuliskan kesan ajaibnya tentang Bali.

suatu senja di Bali

Bahkan ketika bom pernah meluluhlantakkan tempat ini, denyut Bali tak lantas sirna. Di tengah puing-puing itu, tunas-tunas Bali tetap tumbuh dan bermekaran. Inilah daya-daya hidup d tengah puing. Inilah spiritualitas Bali.

Sayang, ada banyak kisah-kisah kekerasan dan banjir darah di tanah ini. Sejarawan Robert Cribb pernah mencatat ada banyak kejadian di mana orang Bali bertarung nyawa. Mereka beramai-ramai melawan hingga titik darah penghabisan.

Dua sisi yakni keheningan dan kekerasan adalah sisi terdalam Bali. Dua sisi inilah yang sesungguhnya dicari para wisatawan. Sayangnya, kebanyakan wisatawan hanya fokus pada tempat, tanpa mau menelusuri relung-relung jiwa. Mungkin ini pula jawaban dari seorang arif bahwa mereka yang mencari kedirian adalah mereka yang berteman dengan sepi, berkarib dengan senyap, namun bisa menyaksikan sisi Bali yang paling indah dan menawan. Bahkan lebih indah dari yang dsaksikan Elizabeth Gilbert dalam kisah Eat, Love, and Pray.


Bali, 23 Oktober 2014

2 komentar:

Yusran Darmawan mengatakan...

Hallo mb Juning Tyas. makasih atas komennya.

nisya aja mengatakan...

Blognya membuka wawasan.....dan inspiratif.......:)

Posting Komentar