diriku (paling kiri) bersama dr Yusuf (Walikota Tarakan), Prof Razak Thaha, Wagub Syahrul Yasin Limpo, dan Prof Achmad Amiruddin (mantan Rektor Unhas dan Gubernur Sulsel) |
SUATU hari di tahun 2005, aku diundang jadi pembicara diskusi yang isinya adalah refleksi dan mimpi di kampus Universitas Hasanuddin. Ternyata aku tak sendirian. Para pembicaranya adalah Wagub Sulsel Syahrul Yasin Limpo (kini beliau adalah gubernur), Walikota Tarakan Yusuf Kasim, serta satu lagi bapak berambut putih. Ketika bapak itu datang, semua orang mendekat dan mencium tangannya. Bahkan gubernur pun demikian. Siapakah dirinya? Sepenting apakah bapak itu?
Seorang teman lalu berbisik kalau bapak
itu adalah Prof Achmad Amiruddin. Ia adalah mantan rektor Unhas, yang kemudian
menjadi Gubernur Sulsel selama dua periode. Ia juga pernah jadi Wakil Ketua MPR
RI di Jakarta. Tak cukup dengan itu, sang teman lalu menjelaskan kalau
sebelumnya Prof Amir adalah guru besar ITB, yang kemudian dipercaya untuk ikut
membangun Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM).
Sosok itu memang kharismatis. Saat itu,
aku melihat Prof Razak Thaha (kerap disapa Prof Acca), mantan bosku di Pusat
Studi Gizi dan Pelayanan Kesehatan (PSGPK) mendatanginya, kemudian mencium
tangannya. Tapi Prof Amir justru menolak saat tangannya hendak dicium. Ia
memeluk Prof Acca sebagaimana seorang ayah yang memeluk anaknya. Ia juga
memeluk Wagub Syahrul lalu berbincang-bincang.
Satu hal yang kusukai di Makassar adalah
adanya penghargaan pada seseorang yang sudah sepuh. Orang-orang di Makassar
paling mudah mengabaikan segala perbedaan kepentingan, faksi politik, ataupun haluan
ketika bertemu seseorang yang lebih tua. Mereka yang muda langsung memosisikan
dirinya sebagai seorang anak ketika berhadapan dengan yang lebih tua. Yang muda
lebih banyak menunduk.
Tapi barangkali sikap menunduk itu jelas
dipengaruhi oleh siapa sosok yang dituakan itu. Prof Amir adalah nama yang
sangat populer dan melegenda. Di kampus Unhas dan di Gubernuran Sulsel, ia
adalah nama besar yang meninggalkan banyak karya. Semua warga Unhas mengetahui
namanya. Ia adalah sosok yang memindahkan kampus Unhas ke wilayah seluas 220
hektar di Tamalanrea. Ia pula yang membangun kantor Gubernur Sulsel di areal
bekas kuburan Cina.
Namanya kian melegenda ketika memopulerkan
konsep ‘petik-olah-jual’ yang kemudian sukses mendongkrak penghasilan para
petani di Sulsel. Sebagai rektor dan gubernur, ia menghasilkan banyak karya
yang dengan mudah bisa diamati. Pesonanya teramat kuat sehingga banyak orang
yang dengan ikhlas datang menciumi tangannya. Itulah yang kusaksikan.
Kemarin, aku mendengar berita tentang
kepulangannya. Kembali aku mengingat kenangan ketika duduk dan menjadi
pembicara bersamanya. Dan setiap kali orang baik menghadap Tuhan, maka selalu
saja ada kenangan yang diungkap, kemudian diserap hikmahnya. Selama beberapa
tahun ini, Prof Amiruddin seakan lenyap. Beritanya tak kedengaran, hingga
akhirnya ia meninggal dunia.
Pertanyaan yang mencuat di pikiranku
adalah mengapa kenangan itu diungkap hanya ketika seseorang berpulang? Mengapa
tak ada yang menyerap kenangan ketika orang tersebut masih hidup?
Entahlah. Aku hanya bertanya dalam hati.
0 komentar:
Posting Komentar