suasana Bandara Changi di Singapura |
HARI itu, di bulan September 2011, dengan semangat
45, saya lalu memasuki Bandara International Soekarno Hatta. Hari itu, untuk
pertama kalinya saya akan menjalani penerbangan internasional. Ada rasa
khawatir yang berdesir dalam diri. Saya membayangkan sesuatu yang serba
berubah. Dahulu, saya hanya menjalani penerbangan dari Makassar ke Baubau
dengan menggunakan pesawat kecil berbaling-baling, kini saya akan menumpang
pesawat jet dengan jarak tempuh hingga berjam-jam.
Bagi yang sering menggunakan jasa penerbangan
internasional, tentunya akan sangat menikmati perjalanan udara yang ditempuh
hingga berjam-jam. Buat saya yang seumur-umur belum pernah naik pesawat ke luar
negeri, penerbangan itu bisa menjadi sesuatu yang sangat mendebarkan. Belum
lagi rasa kaget melihat kultur di bandara yang serba berubah.
Ketika memasuki bandara internasional,
atmosfernya berubah. Di Bandara Soekarno-Hatta, atmosfer ruang tunggu di
maskapai asing nampak lebih bersih dan terawat. Suasananya beda. Mungkin karena
bandara ini menjadi gerbang bagi turis asing sehingga fisiknya harus dibenahi.
Idealnya, penerbangan domestik pun harus memiliki ruang tunggu yang nyaman.
Sebab yang dilayani di penerbangan itu adalah ana bangsa yang hendak berpindah
tempat. Mereka layak menjadi tuan. Bukannya mereka yang hendak ke luar negeri.
Saya menumpang pesawat Lufthansa. Maskapai
ini adalah maskapai Jerman. Ketika masuk pesawat, saya tercengang melihat kursi
penumpang yang apik, serta pelayanan yang sangat baik. Namun lebih tercengang
lagi saat melihat pramugarinya. Di maskapai penerbangan Indonesia, pramugari
rata-rata gadis muda, seksi, dan cantik. Senyum mereka seolah menjadi
representasi dari pelayanan maskapai penerbangan.
Di maskapai Lufthansa, pamugarinya adalah
perempuan berusia sekitar 50-an tahun. Mereka terbilang sepuh. Saya bisa
melihat kerut-kerut di kulitnya. Di situ, ada pula seorang pria yang berprofesi
sebagai pramugara. Rambutnya memutih. Langkahnya masih tegap. Ia tersenyum pada
semua penumpang. Saat melihat mereka, saya bertanya dalam hati, mengapa
maskapai ini justru mempekerjakan orang-orang yang berusia sepuh? Apakah yang
sesungguhnya hendak dicapai?
Saya menyimpan pertanyaan itu. Ketika
semua penumpang duduk di kursinya, para pramugari dan pramugara itu lalu
bergerak cepat. Mereka memastikan semua penumpang baik-baik saja. Di belakang
saya, ada seorang anak kecil yang menangis. Bapak pramugara tua itu lalu datang
dengan membawa sebuah mainan. Ia lalu menyapa anak itu dengan bahasa Inggris
yang fasih. Ia juga memberikan permen hingga anak itu berhenti menangis.
Tak lama kemudian, saya melihat seorang
nenek tua yang berjalan tertatih-tatih dengan dibantu tongkat. Kembali, saya
meliat kesabaran dari para pramugari itu untuk membantu sang nenek hingga
akhirnya duduk dengan nyaman.
Dalam hal pelayanan, mereka adalah yang
terbaik. Sejak masuk pesawat, mereka mengembangkan senyum tulus, lalu bertanya
apakah gerangan yang bisa dibantunya. Mereka tak hanya ramah, namun juga ringan
tangan untuk membantu orang lain. Mereka bisa memosisikan dirinya sebagai
seseorang yang peduli dan hadir untuk membantu semua keperluan penumpang.
Mereka memang tidak cantik. Namun dengan penampilan yang bersahaja dan jauh
dari kesan glamour itu, semua penumpang merasa membutuhkan mereka. Dan mereka
membuktikan bahwa mereka bisa memberikan pelayanan terbaik.
Setiba di Bandara Changi, Singapura, saya
lalu bergegas menuju counter maskapai Delta Air. Saya berdecak kagum melihat
betapa luas serta rapinya bandara ini. Di mana-mana saya menyaksikan komputer
dengan fasilitas internet, sofa-sofa untuk beristirahat, serta tempat untuk
makan.
Bandara ini adalah bandara terbaik yang
pernah saya saksikan. Saya menikmati fasilitas sky train yang memungkinkan penumpang untuk berpindah-pindah
terminal dalam waktu cepat. Saya juga menyenangi fasilitas information center yang ada di banyak tempat. Di mana-mana, saya
melihat ada papan informasi yang menunjukkan arah hingga membuat pengujung
tidak tersesat. Tak pelak jika mengatakan bahwa Changi adalah bandara yang
memanjakan semua pengunjungnya.
Saya mengambil boarding pass untuk keberangkatan dari Singapura ke Jepang dan
penerbangan dari Jepang ke Detroit (Amerika Serikat). Saat itu pukul tujuh
malam. Pesawat saya akan berangkat pada pukul empat subuh. Saya takut tak bisa
bangun pada jam segitu. Demi menghindari kemungkinan itu, saya memutuskan untuk
duduk di depan gate (pintu) keberangkatan.
Kalaupun tertidur, maka saya pasti akan dibangunkan oleh penumpang yang hendak
menggunakan gate itu.
Tepat jam tiga, seseorang membangunkan
saya. Saya lalu ke kamar mandi untuk cuci muka, lalu masuk ke dalam antrian.
Seorang pria tinggi besar dan berkulit hitam lalu memeriksa paspor, visa, lalu
bertanya dalam bahasa Inggris tentang tujuan saya. Ketika hendak menjawab, pria
itu lalu mengulangi pertanyaannya. Kali ini dalam bahasa Melayu. Saya lalu
menjawab pertanyaan itu seperlunya. Kemudian masuk pesawat, lalu mendengarkan
pramugari berbahasa Jepang yang menginformasikan tentang keberangkatan ke
Jepang yang akan ditempuh selama delapan jam.
Untuk pertama kalinya saya menumpangi
pesawat berbadan lebar. Biasanya, saya menumpang pesawat berbaling-baling yang
terbang dari Makassar ke Baubau, kampung halaman saya di Pulau Buton. Pelayanan
di pesawat ini juga sangat baik. Sayang, mata saya cukup lelah untuk melihat
sekitar. Saya nyaris tidur hingga akhirnya seorang pramugari datang membawakan
makanan. Nah, kembali saya harus beradaptasi dengan makanan yang berbeda dengan
yang biasa saya makan di kampung halaman. Saya mesti membiasakan diri untuk
memakan sesuatu yang aneh bagi perut saya. Saya belajar untuk menikmatinya.
Pesawat tiba di Jepang. Saya lalu turun
dan pindah pesawat. Satu kelebihan di bandara internasional adalah banyaknya
layar yang menampilkan informasi tentang lokasi terminal, pintu keberangkatan
(gate), penerbangan, serta jadwal keberangkatan. Saya merasa sangat dimudahkan
untuk menemukan pesawat yang akan membawa saya ke tempat tujuan.
Perjalanan ke negeri orang mengajarkan
saya untuk selalu adaptif dan belajar banyak hal-hal baru. Saya juga mesti
berani meninggalkan zona nyaman dan menghadapi segala kebingungan atas situasi
yang baru. Saya juga harus menghilangkan rasa minder serta kikuk ketika bertemu
orang-orang baru. Saya harus menjadi fugur berbeda yang bisa menyesuaikan diri,
namun tetap tidak kehilangan identitas dan karakter.
Saya mencatat banyak pelajaran berharga di
perjalanan. Pertama, usahakan kenali dan pahami situasi. Jangan ragu untuk
bertanya dalam situasi apapun. Bertanya adalah hal sederhana. Akan tetapi,
banyak di antara kita yang tak terbiasa untuk berdiskusi dan menyampaikan pokok
pikiran. Ketika di tempat baru, maka rasa segan untuk bertanya itu mesti
dibuang jauh-jauh. Tanpa bertanya, kita bisa tersesat dan tidak tahu arah hendak
ke mana. Kedua, usahakan untuk selalu membuka pikiran (open mind) atas hal-hal
baru. Ketika menyaksikan hal baru, bukalah pikiran demi menyerap hal-hal baru lalu
melihatnya secara positif.
Pada akhirnya, saya mengamini pesan
seorang arif bahwa hikmah dan pengetahuan bisa ditemukan di mana-mana. Bahkan
di bandara sekalipun.(*)
0 komentar:
Posting Komentar