Tradisi sebagai Mata Air Kisah


sampul buku The Lost Heroes

BEBERAPA tahun silam, saya membaca publikasi tentang kelangkaan ide cerita yang dihasilkan oleh para penulis kita. Di layar televisi, kita menyaksikan situasi ‘miskin ide’, ketika para sineas hanya bisa mendaur-ulang semua ide cerita dari film asing. Bahkan daam banyak publikasi, kita sering mendengar istilah copy-paste atau mengkloning tulisan secara semena-mena. Apakah kita sedang mengalami gejala krisis ide?

Kali ini saya ingin bercerita tentang banyaknya ide-ide yang berserakan di sekitar kita. Ide-ide memenuhi semesta laksana udara yang melingkupi bumi. Masalahnya adalah tak semua orang bisa mengolah segaa sesuatu di sekitarnya menjadi ide-ide yang menarik untuk dikemas menjadi bahan cerita.

Sebelumnya saya ingin berkisah tentang bacaan selama dua hari ini. Saya membaca serial The Heroes of Olympus, yang merupakan kelanjutan dari serial Percy Jackson.  Saya baru membaca tiga buku serial ini yang sudah diterbitkan yakni The Lost Heroes, The Son of Neptune, dan The Mark of Athena.

Buku-buku yang ditulis oleh Rick Riordan ini dinobatkan sebagai buku terlaris sebagaimana versi New York Times. Buku-buku ini diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa di dunia. Koleksi buku ini sukses untuk memesona anak-anak dan pembaca di seluruh dunia.

Apakah gerangan isinya?

Isinya adalah cerita tentang demigod atau anak titisan dewa-dewa Yunani dan Romawi. Tokoh utamanya adalah Percy Jackson, sang putra Poseidon, yang dalam versi Romawi, kerap disebut Neptunus. Selain Percy, muncul pula satu sosok remaja yang sakti yakni Jason, putra Zeus, yang dalam versi Romawi disebut Jupiter. Tokoh-tokoh lain adalah putra-putri dewa yang diyakini tetap eksis sebab mengikuti gerak peradaban.


Nah, saya tak ingin berpanjang-panjang atau meresensi buku-buku ini. Saya ingin mengajukan pertanyaan, apakah kisah ini orisinil? Bagi saya tidak. Kisah itu ibarat sebuah bangunan yang fundasinya adalah semua dongeng Yunani dan Romawi. Sang pengarang yang jenius tidak meng-copy-paste, melainkan mengolah semua bahan kisah itu menjadi adonan kisah yang menarik. Ia mengambil inspirasi dari semua dongeng, lalu mengemas menjadi cerita yang lalu laris di seluruh dunia. Orang-orang menyukainya. Bukunya jadi best seller.

Beberapa tahun silam, saya pernah membaca kiat sukses penulis JK Rowling, sang ibu atas serial Harry Potter. Dalam satu wawancara dengan Newsweek, ia mengakui bahwa kisah Harry Potter terinspirasi dari semua cerita-cerita rakyat ataupun legenda yang hidup di masyarakat Inggris yang kemudian diramu dengan kisah dari tempat lain. Kisah-kisah itu lalu saling jalin-menjalin dengan cerita tentang seorang remaja penyihir yang kemudian menjadi pahlawan besar.

Pelajaran berharga dari serial Percy Jackson dan Harry Potter adalah segala dongeng dan cerita di sekitar kita bisa menjadi bahan mentah untuk dikembangkan menjadi cerita yang menarik. Pada dasarnya, ide-ide berseliweran di sekitar kita, yang sejatinya membutuhkan satu kejelian untuk ditangkap, lalu dijejalkan dalam naskah cerita.

Saya merindukan kisah semacam Harry Potter atau Percy Jackson yang bahan bakunya adalah semua dongeng-dongeng Nusantara. Dengan begitu banyaknya suku bangsa di tanah air, maka mestinya para penulis atau sineas kita tak akan pernah kehabisan ide sebab kebudayaan bisa menjadi mata air yang mengalirkan gagasan-gagasan.

Mungkin kita tak begitu percaya diri dengan kekuatan gagasan yang muncul dari khasanah budaya kita. Kita lebih sering berkiblat ke barat atau negara-negara Asia Timur sebagaimana Jepang dan Korea. Kisah-kisah dari banyak negara itu yang kemudian dikloning, dengan risiko besar akan gagal serta dicap tidak orisinil. Padahal, dengan kembali pada khasanah tradisi, maka kita akan menemukan sungai kisah-kisah yang tak pernah berkesudahan.

Nah, apakah anda juga mengalami krisis ide?



Baubau, 22 Juli 2013
Saat menunggu waktu sahur

1 komentar:

a mengatakan...

Di beberapa stasiun TV, akhir-akhir ini banyak yang bikin drama kolosal dengan setting dan tokoh-tokoh sejarah masa kerajaan lampau di nusantara lhoo Om.. Tapi bumbu fantasi dan modifikasi ceritanya terlalu banyak dan berlebihan. Jadinya malah ngerusak sejarah. jadi, mungkin bukan cuma miskin ide, tapi kadang overdosis. saking banyaknya ide jadi campur aduk dan gak jelas konsepnya. hehe

Posting Komentar