Jeruji Kenangan di Saat Wisuda


jajaran petiggi universitas

DI gedung Convocation Center di kampus Ohio University, saya menyaksikan mahasiswa Amerika serta mahasiswa berbagai negara yang sedang bergembira. Wajah mereka berseri-seri. Mereka saling memberi selamat. Tawa riang memenuhi udara. Entah kenapa, di ruangan besar itu, saya hanya bisa terdiam. Saya seolah sedang bermimpi. Saya tak pernah menyangka bisa berada di titik ini.

***

SUATU hari di tahun 1989. Bapak saya meminta saya untuk memakai baju terbaik. Di ibukota Kabupaten Buton itu, bapak sedang memanen bahagianya. Ia akan diwisuda di sebuah universitas lokal yang didirikan lima tahun sebelumnya. Bapak adalah angkatan pertama di kampus itu.

Di kampung kami, universitas itu menjadi satu-satunya harapan bagi banyak orang seperti bapak. Dahulu, kampus itu memelihara idealisme bahwa semua warga kampung berhak untuk mendapatkan pendidikan di level sarjana. Bahwa warga kampung tak perlu jauh-jauh ke kota demi untuk mendapatkan pendidikan.

Jangan pikir universitas itu sebesar kampus-kampus di negeri Jawa. Kampus itu  adalah gedung sekolah tua yang lama tak digunakan. Di situlah, bapak belajar demi mendapatkan sesuatu, yang di masa itu tak jelas buat saya untuk apa.

Di masa itu, bapak sudah tak muda. Ia sudah memiliki istri dan empat anak sebagai tanggungan. Tapi niatnya untuk sekolah dan belajar amat menggebu-gebu. Dalam banyak kesempatan, ia selalu bercerita tentang dirinya. Dulu, ia ingin sekali menjadi hakim atau jaksa. Cita-cita itu tak kesampaian. Mengapa? Apakah bapak kurang cerdas? “Tali pendek Nak. Bapak tak punya cukup uang untuk menggapai semua cita-cita itu,” katanya suatu ketika.

Ia memang tak punya banyak uang. Ia hanya seorang guru sekolah menengah dengan penghasilan amat terbatas. Orangtuanya hanyalah nelayan kecil yang hasilnya hanya untuk makan sehari-hari. Tak ada satupun keluarganya yang bersekolah. Ia membanting tulang dengan berperahu ke pulau seberang di setiap hari pasar demi menjual hasil bumi. Ketika hari pasar usai, ia akan kembali berperahu ke kampung kami.

Pendidikan sekolah menengah telah mengantarkannya menjadi seorang guru. Masa depannya terukir sebagai seorang pendidik yang baik. Namun, hasrat belajarnya tetap menggebu. Barangkali, ia adalah satu dari banyak guru yang mengasah dirinya dengan bacaan-bacaan berkelas. Rumah kami di kampung penuh dengan berbagai buku yang dahulu sering saya jadikan mainan.

Di masa itu, akses pengetahuan sangatlah terbatas. Tapi bapak tak pernah kekurangan akal. Ia menyurati penerbit-penerbit demi mendapatkan katalog buku lokal. Kemudian ia mengirim uang dengan wesel pos, yang beberapa hari berkutnya, akan datanglah kiriman buku di rumah kami. Bapak memenuhi rak-rak buku di rumah kami yang kecil. Di rumah kami, tak ada harta yang dipamerkan di ruang tamu. Kami hanya punya buku-buku yang secara regular dibeli bapak dengan cara memesan lewat pos.

Ketika di kampung kami sebuah universitas dibuka, bapak lalu menjadi pendaftar pertama. Ia menyisihkan gajinya sebagai guru demi mendapatkan gelar sarjana. Satu kali, ibu pernah bertanya, apakah gelar sarjana itu penting buat bapak yang sudah sepuh? “Penting sekali. Gelar itu penting untuk menunjukkan kepada anak-anak bahwa sebagai anak seorang nelayan miskin, saya bisa menjadi sarjana,” katanya dengan mata bersinar-sinar.

Yup. Hari itu, bapak akhirnya diwisuda. Ia memakai pakaian jubah serta toga. Dikarenakan bapak adalah angkatan pertama di kampus itu, para wisudawan lalu diperkenalkan dengan penuh bangga di kota kecil kami. Mereka diarak dan berjalan sepanjang satu kilometer dengan menggunakan pakaian wisuda. Mereka jadi kebanggaan warga bahwa telah lahir sejumlah sarjana baru yang kelak akan mewarnai kota kecil kami.

Berlipat-lipat kebahagiaan bapak saat itu. Sepulang dari wisuda, ia singgah bersama ibu ke satu-satunya studio foto di kampung kami. Mereka lalu berfoto dengan pakaian wisuda yang kemudian dicetak dalam ukuran besar serta dipajang di ruang tamu rumah kami. Tak cukup dengan itu, bapak meminta seluruh penghuni rumah untuk sama-sama berfoto.

Saat itu, saya agak malu. Saya tak menemukan letak keistimewaan menjadi seorang sarjana. Saat itu, saya berpikir bahwa lulus perguruan tinggi sama dengan lulus sekolah menengah. Sama saja khan? Saya juga malu untuk berfoto. Bapak sudah bukan anak muda yang lulus sarjana, kemudian merayakannya. Ia sudah berumur 50 tahun. Ketika saya bilang bahwa saya malu untuk berfoto, bapak berkata, “Kelak kamu akan tahu bagaimana mimpi-mimpi saya untuk tiba di titik ini.”

Tapi bapak akan wisuda di usia 50 tahun. Mengapa harus bangga dengan itu?


Saya memang tak paham. Saya tak tahu tentang begitu kuatnya keinginannya untuk bersekolah. Buat saya yang terlahir sebagai anak seorang guru, pendidikan adalah hal penting yang ditanamkan sejak dini. Sementara bagi dirinya yang terlahir sebagai anak nelayan, pendidikan adalah hal yang amat mahal dan diperjuangkan dengan segala daya dan upaya.

Saat itu, saya masih terlalu muda untuk paham tentang makna sebuah perjuangan dan dedikasi. Bahwa menjadi seorang sarjana di kampung bukanlah sesuatu yang sepele bagi seorang bapak. Hasratnya hanya satu yakni menunjukkan kepada anak-anaknya bahwa ia sanggup untuk menerobos satu halangan yakni rasa tak percaya dri sebagai seorang tak berpunya. Dengan menggapai sarjana, ia juga membangun harapan bahwa kelak anak-anaknya akan melampaui jejak yang pernah ditorehkannya.

Pengetahuan adalah jalan pembebasan. Dengan segala keterbatasannya, bapak melatih anak-anaknya sebagai prajurit yang tahan dengan segala ketidaknyamanan. Ketika kakak saya merantau, ia meminjam uang di bank, kemudian disimpan di tabungan demi untuk berjaga-jaga ketika kakak saya membutuhkan uang.

Ia tak memikirkan dirinya. Ia tak memikirkan bagaimana mempercantik rumah kami untuk serupa istana. Ia tak memikirkan bagaimana mewariskan bisnis bagi keturunannya, sebagaimana dilakukan para pejabat di kampung kami. Ia hanya ingin anak-anaknya mendapatkan kesempatan yang lebih baik dari dirinya. Ia hanya ingin saya bisa belajar, tanpa harus putus sekolah karena ketiadaan biaya.

Barulah saya paham bahwa menjadi seorang bapak adalah menjadi seseorang yang akan melakukan apapun demi kebahagiaan anaknya. Menjadi seorang bapak adalah pilihan memasuki medan laga demi melapangkan semua jalan agar kelak sang anak bisa meniti di tengah jalan tenang di tengah hingar-bingar pertempuran. Saya telah mengalami segala keterbatasannya, namun ia telah mengajarkan saya untuk  tahan banting dan mengubah segala keterbatasan menjadi sebuah kekuatan. Dan lewat itu, saya perkasa menghadapi berbagai masalah.

Sayang sekali, bapak telah meninggal ketika saya belajar di sebuah universitas di Makassar. Delapan tahun setelah menjadi sarjana, ia meninggal dunia tanpa pernah melihat langsung satu pun buah yang ditanamnya.

***


bersama anak istri

HARI ini, saya sedang menjalani wisuda di kampus Ohio University di kota Athens, Ohio, Amerika Serikat (AS). Saya menyaksikan mahasiswa berbagai bangsa di ruangan ini. Jiwa saya dipenuhi rasa bahagia ketika musik mengalun dari orkestra di dekat para petinggi kampus. Saya bahagia saat membayangkan betapa susahnya belajar di negeri yang berbahasa asing ini. Saya sangat senang ketika tahu bahwa saya akan pulang dan membawa cerita tentang segala kesulitan yang diubah menjadi kesenangan karena berhasil melaluinya.

Tiba-tiba batin saya dibasahi rasa haru saat mengingat sosok bapak, sosok biasa yang telah mengubah dirinya sebagai matahari dan menerangi segala tapak-tapak langkah kaki ini. Jika saja dirinya di negeri superpower ini lalu menyaksikan anaknya yang dahulu amat nakal ini sedang wisuda, apakah ia akan bahagia? Apakah ia akan menyapukan sapu tangan ke matanya yang basah karena sedang terharu?


Athens, 4 Mei 2013


8 komentar:

Idham Malik mengatakan...

selamat atas wisudanya kak,, Tauladan Bapak ta' begitu menginspirasi kami yang juga dari keturunan guru.

selamat..

Nana mengatakan...

Selamat pak Yusran... :)

aslan mengatakan...

Subhanallah.... Maha Suci Allah,

Unknown mengatakan...

Selamat berbahagia Bang..

Unknown mengatakan...

Selamat berbahagia Bang...

aph.4nc mengatakan...

Bang Yusran,
Terima kasih sekali atas tulisan yang sangat bagus dan menyentuh. Terutama cerita mengenai semangat dan komitmen dari Bapak yang menurut saya wujud seorang pejuang sekaligus pahlawan dalam arti yang sesungguhnya. Saya yakin walaupun Bapak telah berbeda dimensi tapi beliau selalu hadir dan menyaksikan 'buah-buah' yang lahir dari perjuangannya selama hidup.
Saya sangat menikmati tulisan-tulisan anda. Kalau boleh memberikan saran, ada baiknya anda menuangkan tulisan-tulisan tersebut ke dalam sebuah buku. Saya yakin banyak saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air yang membutuhkan cerita ataupun tulisan yang mampu memberikan inspirasi positif ditengah deraan berita yang sangat menyesakkan hati.
Saya sendiri sedang kuliah di Australia, sedang mencari pencerahan seperti bang Yusran bilang. Saya turut mengucapkan selamat atas kelulusannya.
Cheers

aph.4nc mengatakan...

Bang Yusran,
Terima kasih sekali atas tulisan yang sangat bagus dan menyentuh. Saya minta ijin untuk share link tulisan ini di FB saya yah?
Cheers

anugerah (ugha) mengatakan...

Telat mengucap, tapi tak apalah. Selamat atas wisudanya kak.

Posting Komentar