Sebait Puisi di Hari Perempuan

poster di luar ruangan

SEORANG sahabat asal India ke panggung di tengah ruangan itu. Ia lalu membacakan puisi tentang penderitaan seorang gadis di India yang menjadi korban perkosaan. Kalimatnya bertenaga. Saya tiba-tiba saja terbawa suasana. Saya bisa merasakan ulang bagaimana penderitaan sang gadis yang diperkosa, kemudian disiksa hingga nyaris tewas.

Para perempuan di Athens, Ohio, sedang merayakan hari perempuan internasional. Selain perempuan India itu, saya juga menyaksikan sahabat asal Afrika yang juga mempresentasikan pengalamannya melihat kekerasan. Di ruangan itu, saya melihat  kesedihan yang dipancarkan ke udara. Tapi, ada juga pengharapan bahwa dengan membangun kerjasama serta jejaring yang kuat, maka perempuan bisa saling menguatkan. Luka seorang perempuan adalah luka bagi semua perempuan lainnya.

Di kampus Ohio University ini, acara International Women’s Day dirayakan dengan meriah. Ada panggung untuk berekspresi. Ada pameran, serta diskusi tentang advokasi. Ada pula beberapa atraksi tari yang diiringi sebait puisi yang menikam-nikam hati.

Sebagai lelaki, saya tiba-tiba saja membayangkan para perempuan hebat yang menjadi matahari atas perjalanan saya menelusuri rimba raya kehidupan. Saya membayangkan ibu, dua saudara perempuan, istri, serta anak kecil berjenis kelamin perempuan yang memanggil “ayah” kepada saya. Para perempuan ini memiliki satu kekuatan yang sering sukar saya definisikan. Mereka memiliki dilema masing-masing, namun sama-sama memiliki semangat hebat untuk menyelesaikan segala hal secara mandiri.
parade busana
perempuan Jepang

Dalam konsepsi saya yang sederhana, para perempuan dilahirkan untuk hebat. Tanpa mereka, peradaban ini sudah lama punah, sebab mereka sekaligus menjadi guru, ibu, bulan, serta matahari yang menyirami peradaban dengan kearifan dan kebijaksanaannya. Namun, mengapa ada saja yang melakukan kekerasan pada perempuan?

Para perempuan di Athens, Ohio, ini sedang menyamakan visi. Lewat gerak tari dan peragaan busana, mereka hendak berkata bahwa segenap erbedaan hanyalah napak di permukaan. Di balik lapis perbedaan itu, mereka memiliki dagng, darah, serta otot penderitaan yang sama. Lewat kesesamaan itulah mereka hendak menegaskan posisinya ke hadapan dunia.

Para perempuan itu seakan memberikan pernyataan bahwa penindasan pada perempuan bisa terjadi di mana-mana. Bahwa sebagai perempuan, mereka inginkan kedamaian serta kebebasan untuk melukis dunia dengan caranya masing-masing. Mereka ingin sebebas burung merpati yang bisa melesat ke mana saja dan menyaksikan keindahan sebagaimana burung lainnya.

tarian
di luar ruangan

Di ruangan itu, saya mengeja aksara perempuan. Sungguhpun penindasan pada perempuan terjadi di luar sana, namun semangat kuat yang beterbangan di ruangan itu menjadi pertanda tentang adanya harapan. Saya membayangkan sebuah kesadaran yang tumbuh di hati masing-masing, lalu tumbuh menjadi pohon rindang yang kokoh, dengan daun-daun lebat yang kemudian memayungi dunia. Saya membayangkan dunia yang berkeadilan, ketika semua orang dihargai, dengan tidak memandang ras dan jenis kelamin.

Di ruangan itu, saya memandang putri saya Ara. Saya membayangkan dunia yang didiaminya kelak adalah sebuah dunia yang indah, dunia yang dipenuhi perempuan yang membaca bait puisi tentang kasih sayang, dan para lelaki akan berdendang tentang kebenaran dan keadilan.


Athens, 21 Maret 2013


0 komentar:

Posting Komentar