saat bertualang bersama seorang teman di Pulau Buton |
TAK lama lagi saya akan kembali ke kampung
halaman. Tak terkira rasa senang serta bahagia memenuhi relung-relung hati ini.
Dua tahun adalah waktu yang cukup lama untuk membayangkan sebuah negeri yang
seluruh udara, air, dan tanahnya menjadi saksi dari setiap jejak kaki serta
tarikan napas.
Saya cukup bahagia karena memiliki
kesempatan untuk melihat tanah air dari pinggiran, dari satu titik yang jauh,
namun tetap tidak kehilangan tebalnya rasa cinta pada negeri. Pada akhirnya saya
berpikir bahwa kosa kata tanah air bukan sekadar kata yang menggambarkan materi
berupa tanah dan air, namun sebuah genangan perasaan yang memenuhi benak kita
kala membayangkan tempat diri kita dilahirkan dan dibesarkan.
Di tanah Amerika, saya telah berkelana ke
banyak tempat. Saya tak hanya menelusuri rimba raya gedung-gedung tinggi kota
New York atau bangunan bersejarah di Washington DC. Saya juga pernah menelusuri
pedesaan suku Indian, lalu menyapa masyarakat Amish yang memelihara pola hidup
tradisional. Di seua tempat itu, saya merasakan bau petualangan, sesuatu yang
membangkitkan hasrat saya untuk mengenali banyak manusia di berbagai situasi.
Dari sedikit penjelajahan itu, saya selalu
merindukan tanah air yang jauh di sana. Ada sebuah rasa, mungkin kita bisa
menyebutnya suasana hati, ketika membayangkan tanah air, dengan segala
dinamikanya. Ibarat benih, rasa itu lalu menumbuhkan hasrat untuk berbuat
sesuatu, meskipun sederhana. Saya paham bahwa banyak ketidakberesan di tanah
air, apalagi jika hendak dibandingkan dengan negeri lain.
Namun, pengalaman di sini mengajarkan saya
untuk membenarkan kalimat Bunda Theresa, bahwa ketimbang mengutuk kegelapan,
jauh lebih baik jika menyalakan lilin. Ketimbang memaki keadaan, jauh lebih
baik jika melakukan sesuatu, walaupun sederhana. Meskipun hingga detik ini, saya masih menerka-nerka, apakah gerangan
sesuatu yang kelak akan saya lakukan?
Yang pasti, selama dua tahun ini, saya
menjadi seorang pengelana yang belajar untuk menyerap kearifan dari banyak
sisi. Pelajaran besar yang saya terima di negeri ini adalah keikhlasan untuk
mengapresiasi yang lain. Ini adalah negeri yang dihuni banyak orang yang selalu
berpikir positif terhadap sesamanya. Dengan segala kesulitan yang saya hadapi,
negeri ini menjadi tempat untuk menata serta mengembangkan diri.
saat di Ternate |
Saya amat sadar. Bahwa kebijaksaan yang
saya lihat pada banyak orang tidak lantas membuat saya ikut bijaksana. Di
sana-sini, saya masih melihat diri saya sebagaimana apa yang saya saksikan dua
tahun silam. Namun, bukankah jauh lebih baik jika kita memiliki kesadaran bahwa
kita sedang berpijak di titik yang sama, ketimbang dibutakan perasaan bahwa
kita telah berubah?
Beberapa teman menyarankan untuk bertahan
demi mencari kerja atau melanjutkan studi. Tapi hasrat kepulangan terlalu kuat
memenuhi dada ini. Biarlah nasib yang akan menentukan jalan takdir selanjutnya.
Hingga detik ini, saya masih berpikir bahwa kehidupan seringkali serupa
permainan lotere yang lebih banyak kalahnya, akan tetapi ada peluang untuk
mendapatkan skenario yang tak terduga. Kamu tak akan tahu kapan bisa menang.
Namun sekali menang, hidupmu akan berubah. Biarlah takdir yang memberikan
kejutan, atau malah tidak sama sekali.
Yang pasti, ada banyak hal yang saya
rindukan dan ingin saya lakukan di tanah air. Obsesi saya selanjutnya adalah
melakukan perjalanan yang sejauh-jauhnya, dan menelusuri pelosok-pelosok tanah
air. Saya ingin melihat langsung betapa luasnya Indonesia dengan segala
kekayaan alam dan ragam budayanya.
saat di Pulau Bali |
Saya tak ingin menjadi katak dalam
tempurung yang hanya mengenali wilayah sekitar rumah. Saya ingin berkelana,
melanjutkan petualangan untuk menelusuri setiap sudut-sudut Indonesia, mereguk
air di sungai-sungai yang terpencil, lalu merasakan hawa gunung yang segar di
pagi hari. Saya juga ingin menyelam di lautan dalam yang selama ini hanya bisa
dibayangkan. Saya ingin mengunjungi pantai-pantai perawan yang belum banyak
dijamah para turis bodoh, yang hanya berbekal brosur pariwisata.
Kelak, saya ingin mengisahkannya pada si
kecil Ara, yang mungkin akan terkesima mendengar sejauh mana perjalanan ayahnya
demi menemukan diri. Entah, apakah saat kepulangan nanti saya akan terjebak
dengan rutinitas, yang pasti, inilah keinginan saya. Semoga alam semesta akan
memeluk semua keinginan itu.
Athens, 20 Maret 2013
saat mandi di pantai |
0 komentar:
Posting Komentar