Suka Duka di Apartemen Amerika


suasana apartemen Commons

SEMBILAN bulan silam, ketika pertama menginjakkan kaki di Athens, Ohio, Amerika Serikat (AS), saya memilih tinggal di apartemen yang tak jauh dari kampus. Namanya adalah University Commons. Di sini, saya tinggal seapartemen dengan seorang sahabat asal Indonesia, seorang mahasiswa Amerika, dan satu lagi adalah perempuan manis asal Macedonia. Bagaimanakah rasanya tinggal di apartemen bersama warga yang bukan senegara? Apakah selalu nyaman, ataukah sering terjadi konflik?

Saat tiba di Athens, prioritas utama adalah menemukan apartemen. Maklumlah, saya tak mungkin selamanya menumpang pada sahabat asal Indonesia. Lagian, kuliah juga akan segera dimulai. Saya mesti menemukan tempat baru, sekedar untuk menyimpan buku-buku, menyimpan pakaian (termasuk pakaian kotor), serta tempat untuk memulai hari. Apalagi, saya adalah tipe rumahan, yang suka menghabiskan banyak waktu di rumah untuk melakukan banyak hal.

Setelah mengunjungi banyak apartemen, saya dan Iqra, sahabat Indonesia yang juga sama-sama mencari apartemen, akhirnya memutuskan untuk tinggal di Commons. Kelebihan tinggal di Commons adalah harga sewa yang relatif murah, tersedianya bis kampus yang setiap jam akan mengantar para mahasiswa ke kampus, serta kamar yang nyaman. Pemandangannya juga indah. Saat pertama melihatnya, saya langsung kepincut.

Problemnya adalah pihak leasing office atau yang berkepentingan atas Commons hanya bersedia menyewakan kamar ketika ada empat orang yang bersedia tinggal bersama. Artinya, saya dan Iqra mesti menemukan dua roomate (istilah untuk teman seapartemen) yang bersedia tinggal bersama kami. Di apartemen itu, terdapat empat kamar, satu ruang tengah dengan sofa-sofa untuk duduk, serta dapur.Di situ juga terdapat dua kamar mandi. Pihak Commons meminta kami untuk menulis nama di daftar mereka, dan selanjutnya akan dihubungi kalau ada dua orang lain yang bersedia serumah.

pemandangan di musim semi

Saat itu, saya tak mau lama menunggu. Setelah gerilya sana-sini, sahabat Elizarni (sahabat asal Aceh yang sering membantu saya dan Iqra selama di Athens), mendapat informasi tentang sublease atau seseorang yang bersedia menyewakan kamarnya, tanpa harus melewati leasing office. Kami lalu mengontak Mouffet, perempuan asal Jamaika, yang menangani kamar tersebut. Dengan senang hati, Mouffet bersedia menyewakan dua kamar untuk saya dan Iqra. Mouffet menjadi landlord atau tuan tanah buat kami. Saat itu, ia memperkenalkan saya dengan calon roommate yakni Elena, seorang mahasiswa asal Macedonia.

Elena adalah mahasiswa program S1 pada bidang akuntansi. Wajahnya sangat khas Eropa Timur dengan rambut pirang, serta kulit putih. Saat bertemu, Elena memakai baju yang seksi. Mungkin ia sadar akan kemolekan wajahnya. Tadinya, saya sangat risih jika harus seapartemen dengan perempuan bule seperti Elena. Namun, saat itu, saya tak punya banyak pilihan. Saya tak mau repot mencari apartemen murah. Maka, saya menganggap opsi tinggal bersama Elena adalah opsi terbaik. Lagian, kami beda kamar kok.

Tiga hari berikutnya, datang penghuni kamar lainnya yakni Anthony. Ia berasal dari Chicago. Ia adalah mahasiswa pascasarjana bidang playwriting. Katanya, kampus Ohio termasuk salah satu kampus terbaik untuk bidang seni. Makanya, ia tidak ingin melanjutkan studi di University of Chicago, tempatnya menyelesaikan undergraduate. Ia memilih untuk datang ke Athens untuk belajar di program graduate untuk bidang arts and performance.

Minggu pertama, semuanya baik-baik saja. Kami sama-sama butuh ruang untuk adaptasi. Saya dan para roommate lebih banyak di kampus. Kami hanya bertemu saat malam hari. Itupun, interaksi kami sangat terbatas. Saya juga tidak berani memulai pembicaraan. Bahasa Inggris mereka (khususnya Anthony) agak sukar saya pahami. Maklumlah, saya berangkat ke amerika dengan abahsa Inggris aps-pasan, malah tidak layak untuk hidup di negeri paman sam.

pemandangan di musim dingin

Setelah seminggu, saya mulai memberanikan diri untuk ngobrol-ngobrol di ruang tengah. Elena suka dengan topik tentang negaranya. Ia menjelaskan pada saya hubungan antara Macedonia dan Yunani. Secara kultur, kedua negara itu sama, namun pada tataran politik, konflik senantiasa terjadi. Elena juga bercerita kalau dirinya sangat beruntung bisa tiba di Amerika. Ia lolos program beasiswa yang seleksinya amat ketat. Setelah lulus, ia berencana untuk mengambil program singkat ke New York, setelah itu tinggal di Barcelona selama beberapa tahun, sebelum akhirnya kembali ke negaranya. Sementara Anthony, saya jarang ngobrol akrab.

Perlahan, saya mulai akrab dengan para roommate ini. Kami juga sering berinteraksi di dapur. Elena sering memasak untuk seisi apartemen. Tapi, saya selalu tidak suka dengan makanan khas bule. Biasanya, saya terima saja dan ikut makan. Saya juga tak ingin menyentuh minuman beralkohol. Elena dan Anthony sangat memahami itu. Makanya, mereka tak pernah mengajak saya minum wine. Mereka juga tak mau menyimpan minuman alcohol di meja tengah. Mereka memahami saya dan Iqra.

Saat saya memasak dengan bumbu khas Indonesia, saya juga sering meminta maaf pada para roommate. Pernah sekali, saya ingin menumis ikan. Saya mulai dengan menggoreng terasi dengan bumbu-bumbu. Bau terasi memenuhi apartemen. Elena keluar kamar dan membuka pintu lebar-lebar agar udara masuk. Saya merasa tidak enak hati. Tapi si Anthony malah nyengir dan bilang, “Wow.. Saya bisa bayangkan betapa enaknya masakanmu. Apa saya bisa minta?”

bersama roommate Iqra Anugrah


Semuanya baik-baik saja. Setelah dua minggu, saya mulai merasakan ketidaknyamanan. Semuanya berpangkal ketika pacar Elena ikut tinggal di kamar Elena. Jadinya, ada lima orang yang tinggal di apartemen itu. Pacarnya adalah tipikal mahasiswa Amerika yang suka hura-hura serta pesta-pesta. Pacarnya seorang fotografer. Di hari Sabtu dan Minggu, ia sering membawa teman-teman bule, yang kebanyakan adalah model, untuk pesta di apartemen kami.

Suatu hari, sekitar pukul dua siang, saya pulang untuk istrahat di kamar. Selama tiga malam saya begadang di perpustakaan. Makanya, istrahat sangat penting buat saya. Baru tidur sejam, saya mendengar bunyi yang sangat bising. Saya terganggu. Saat itu juga, saya lalu keluar kamar dan melihat bahwa ruang tengah penuh dengan mahasiswi yang tengah menjalani pemotretan. Di tengah mereka, saya melihat pacar Elena. Dalam keadaan agak marah, saya lalu mengambil tas dan keluar apartemen. Setahu saya, mestinya ada notifikasi pada warga lainnya ketika hendak mengundang banyak orang dan pesta. Tanpa saya sadari, saya menutup pintu dengan sedikit membanting. Pacar Elena lalu mengejar saya, kemudian meminta maaf.

Malamnya, Elena meminta waktu saya dan Iqra. Ia lalu meminta maaf atas apa yang terjadi. Ia juga bilang kalau seorang roommate telah melapor kepada pemilik apartemen atas apa yang terjadi. Saya jelas tidak mengakuinya. Elena meminta maaf atas kelakuan pacarnya.

saat tanaman membeku
melihat dari sela tanaman

Selanjutnya, tak ada lagi konflik. Hubungan dengan Elena dan pacarnya juga membaik. Di musim ujian, Elena sering memasak untuk kami. Saya pun bertanggungjawab untuk membeli kebutuhan yang bisa dipake bersama, seperti tisu toilet, tisu dapur, serta sabun cuci piring. Suatu hari, Elena datang ke apartemen dengan wajah penuh kegembiraan. Saat bertemu, ia langsung memeluk saya. Ia lalu bercerita kalau dirinya diterima untuk program internship di satu bank paling besar di New York. Ia akan mendapat gaji tinggi sebagai karyawan magang. Malah, ia berpotensi untuk menjadi karyawan di situ.

Setelah enam bulan, ia akhirnya lulus. Ia lalu meninggalkan apartemen itu. Ruang tengah yang biasanya diisi dengan canda tawa Elena langsung sunyi. Di situ, saya lebih banyak melihat Anthony yang sibuk menulis naskah drama. Ia bisa tahan berjam-jam untuk menulis. Saat itulah, Anthony bercerita kalau ia yang melapor ke landlord tentang pacar Elena. Ternyata ia tak suka dengan kekasih Elena. Ia tak suka dengan tindakannya yang sering membuat gaduh atau bising. Kata Anthony, ia bukan tipe warga Amerika yang suka pesta. Ia suka dengan kesunyian sebab bisa menstimulasi kemampuannya menulis naskah.

Saya belajar banyak dari semua pengalaman ini. Pengalaman tinggal bersama teman yang bukan senegara kian mengasah kemampuan adaptasi dan komunikasi saya dengan mereka yang berbeda kultur. Saya dan Anthony punya banyak kesamaan. Banyak pula perbedaan. Lewat perbedaan itu, kami bisa saling memahami, saling menghargai, serta saling mengerti kebiasaan-kebiasaan masing-masing.

Sungguh beruntung bisa bertemu para roommate terbaik seperti Iqra, Elena, dan Anthony. Mudah-mudahan, saya bisa menulis tentang mereka satu per satu melalui ruang luas di blog ini. Semoga!


Athens, 18 Juni 2012

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Pengalaman yg menarik... gimana ya dengan pengalaman si iqra??

deniwk mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

Posting Komentar