Bukan Penerus Shahrukh Khan


saat Camilo mengambil gambar di kamar saya

TULISAN ini mestinya saya buat seminggu silam. Apa daya, saya didera kemalasan untuk menuliskannya. Dua minggu lalu, saya menuntaskan pengambilan gambar terakhir untuk proyek dokumenter tentang perjalanan saya sejak dari Buton hingga Athens. Saya sangat lega dengan selesainya proyek ini.

Enam bulan silam, sahabat Camilo Perez, sutradara asal Kolombia yang juga mahasiswa Ohio University, meminta kesediaan saya untuk berbagi cerita dalam film dokumenter. Mulanya, Camilo meniatkan film ini sebagai bagian dari syarat kelulusan untuk kuliah Dokumenter. Tapi, Camilo ingin menseriusinya. Ia ingin membuat semacam etnografi refleksif yang kemudian bisa dituliskan sebagai bahan presentasi di banyak seminar atau konferensi. Malah ia ingin menyusun buku.

Posisi saya bukan sebagai obyek yang kisahnya di-eksplor, melainkan sebagai subyek yang bisa diajak berdiskusi dan sama-sama berbagi pengetahuan tentang film. Makanya, film ini merupakan ajang dialog antara saya dan Camilo untuk sama-sama menentukan ide cerita, kemudian menarasikannya dalam bahasa visual.

saat sesi wawancara 

Camilo bekerja secara tim dengan seorang wartawan televisi asal Afganistan Zulfia Zaher, dan seorang mahasiswa Amerika, Kayle. Mereka bertiga menjadi sahabat saya selama enam bulan ini. Kami sering janjian untuk ketemu dan diskusi. Mereka mewawancarai saya tentang banyak topik. Melalui wawancara itu, saya bisa belajar banyak dan menimba pengalaman dari mereka.

Saya seakan menjadi artis yang diikuti kemanapun bergerak. Saat latihan menari untuk Indonesian Night, mereka rajin datang latihan dan mengambil gambar. Demikian pula saat pementasan Indonesia Night, mereka mengikuti kemanapun saya pergi, mewawancarai tentang banyak hal, lalu memasang kamera depan panggung. Saya seolah menjadi aktor. Saat mengambil gambar, Zulfia sering meledek, “Sekarang kamu tahu bagaimana perasaan Shahrukh Khan. Tapi kamu bukan dirinya. Kamu adalah Yusran Khan.”

Saya memang bukan seorang yang terbiasa di depan kamera. Pada mulanya, saya amat ketakutan depan kamera. Secara jujur, saya menampilkan ekspresi yang tidak terbiasa untuk diambil gambar dalam wawancara resmi. Apalagi, Camilo dkk bekerja dengan peralatan kampus yang canggih. Mereka menyorotkan lampu ke wajah saya serta memasang banyak peralatan di sekitarnya. Saya langsung grogi. Tapi saya berusaha untuk mengatasi grogi ini. Saya menghormati para sahabat ini dan berusaha untuk mengatasi segala hambatan psikologis.

Saya sangat salut dengan kesabaran mereka. Dalam keadaan apapun, mereka selalu memahami semua ekspresi yang saya tampilkan. Dalam setiap janjian dan pengambilan gambar, saya berusaha untuk selalu menepatinya. Saya berusaha untuk menjawab semua pertanyaan yang mereka ajukan sebisa mungkin.

kamera di kamar saya
suasana syuting di kamar saya

Lebih saya saluti adalah vitalitas yang mereka tunjukkan. Camilo adalah tipikal sutradara yang tahan banting. Ia pernah datang bermalam ke apartemen saya demi untuk mengambil gambar di subuh hari ketika saya salat subuh. Ia juga rajin ikut ke semua pertemuan mahasiswa Indonesia demi mendapatkan sense atau kepekaan atas segala yang saya alami selama di Athens. 

Ia juga berusaha mengenal semua sahabat saya di Athens, termasuk mengambil mata kuliah yang sama dengan saya. Ia tipe seorang peneliti dan sutradara hebat yang membangun relasi atau networking yang kuat dengan subyek penelitiannya.

Dari sekian banyak wawancara, saya memilah ada beberapa topic yang paling sering dibahas. Pertama adalah aspek human interest menyangkut kerinduan atas keluarga. Kedua adalah soal identitas saya sebagai pendatang di Amerika yang berada dalam dilemma antara identitas keindonesiaan dan keharusan menyesuaikan diri di tempat ini. Ketiga adalah soal hambatan dalam bahasa serta strategi-strategi untuk mengatasi segala hambatan itu. Keempat adalah soal nasionaisme keindonesiaan sebagai api yang mesti dijaga dan dikuatkan di negeri asing. Kelima adalah pengalaman masa lalu dan target-target masa depan setelah lulus kuliah.


Zulfia sedang megambil gambar di kamar saya
Zulfia Zaher

Setiap kali usai mengambil gambar, saya akan memberikan pertanyaan, “Apakah menurut kalian kisah saya menarik untuk dilanjutkan sebagai documenter?” Saya memang memberikan pilihan dan kebebasan jika mereka hendak membatalkan documenter ini. Saya beranggapan bahwa kisah ini biasa saja dan dialami semua mahasiswa internasional. Tapi entah kenapa, mereka tetap menganggapnya sebagai kisah yang unik dan sangat layak untuk diteruskan. 

Saya menjalani banyak pengalaman hebat bersama mereka. Mungkin, saya mesti menuliskan satu per satu pengalaman tersebut sehingga kelak bisa didokumentasikan. Di akhir pembuatan dokumenter, saya tidak lagi menganggap mereka sebagai orang lain. Mereka adalah saudara dekat yang belajar memahami persoalan dengan cara pandang saya sendiri. Untuk itu, saya sangat salut dengan mereka.

pengambilan gambar terakhir bersama Abdul Hakim Alle

Kapan film dokumenter itu kelar? Nampaknya dalam beberapa minggu ini. Saya sudah menyaksikan sebagian, dan cukup untuk membuat saya malu saat menyaksikan wajah sendiri di layar, dengan bahasa Inggris pas-pasan. Hmm.. Pada akhirnya saya sadar bahwa saya bukanlah penerus Shahrukh Khan yang amat cakap di hadapan kamera. Saya hanyalah seorang biasa yang menjalani hidup dengan cara-cara yang biasa. Tak istimewa.



Athens, 28 Mei 2012


2 komentar:

Yusran Darmawan mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
anugerah (ugha) mengatakan...

Hehehe...selalu ada cara untuk membungkuk di atas bukit ya kak?.

Semoga Sharukh Khan tidak merasa terintimidasi dengan adanya yusran khan :D.

Posting Komentar