Mencari Serpih Jejak Kesultanan Buton


Sultan Buton yang baru dilantik saat duduk di baruga (foto: La Yusri)

Setelah vakum selama lebih kurang 52 tahun, Jumat (25/5) hari ini, Kesultanan Buton dihidupkan kembali. Sultan baru akhirnya terpilih dan dilantik di depan Masjid Agung Keraton Buton. Suasananya meriah. Serasa kembali ke masa silam, ketika semua perangkat kesultanan masih berdiri.

Ada banyak perdebatan tentang eksistensi kesultanan hari ini. Kita sama tahu bahwa republik sedemikian kuatnya mengakar dan menguasai semua sumber daya. Sementara kesultanan mungkin hanya menjadi pajangan yang tidak dianggap penting. Kesultanan mungkin serupa museum. Lantas, mengapa pula harus ada sultan? Mengapa harus ada kesultanan?

Saya melihatnya secara positif. Saya yakin, generasi yang hendak menghidupkan kesultanan di Buton sana adalah generasi yang berprasangka positif. Saya yakin mereka bekerja dengan ikhlas serta dipandu keyakinan bahwa eksistensi kesultanan mesti dipertahankan agar tidak punah. Mereka pasti tahu bahwa masa silam tidak mungkin dikembalikan. Dahulu, seorang sultan menempati posisi penting yang menjadi symbol satu kawasan. Akankah sultan hari ini masih memiliki getar?

Saya yakin, orang-orang yang hendak menghidupkan kesultanan itu tahu persis kalau kesultanan sudah tidak berdaulat sebagaimana masa silam. Namun, kesultanan itu masih memiliki jejak yang tak bisa dihapuskan begitu saja oleh sejarah. Buat saya, sejarah tidak perlu mengalami pengkultusan. Pada akhirnya, keberadaan sultan di setiap zaman akan selalu ditentukan oleh dinamika warga di zaman itu. Jika hari ini sultan kehilangan getar, mungkin itu disebabkan masyarakat kita yang punya orientasi berbeda.

sultan terpilih (foto: Elwin)
dua kapitalao atau semacam pimpinan pasukan (foto: La Yusri)
perangkat kesultanan menanti depan masjid (foto: La Yusri)

Para perangkat kesultanan itu jauh lebih ikhlas daripada mereka yang sekarang duduk di pemerintahan. Buktinya, para perangkat itu tidak mendapatkan gaji apapun. Malah, uang pribadi mereka banyak keluar untuk proses tersebut. Mereka bekerja hanya dengan keyakinan bahwa masa silam selalu penting, dan mesti dipertahankan sebagai spirit zaman ini. Kisah-kisah kesultanan tidak harus dilihat sebagai sejarah yang berdebu, melainkan menyimpan inspirasi bagi masa kini.

Jika hari ini seorang sultan lahir kembali, mungkin bisa ditafsir dari banyak sisi. Bisa saja ada yang melihatnya sebagai pelebaran ruang sosial baru bagi para bangsawan masa silam yang kemudian berkarier lalu pensiun di masa kini. Mungkin saja mereka sedang dibius oleh romantisasi kesejarahan yang luar biasa sehingga merasa bangga ketika disapa sebagai sultan.

Tapi saya tidak ingin berpandangan demikian. Saya melihatnya sebagai satu ruang sosial di mana masyarakat sedang dibius oleh kerinduan akan sejarah masa silam. Enth apakah ada kejayaan di masa silam ataukah tidak. Tapi saya melihat ada harapan dan keinginan yang kemudian tidak terwadahi di zaman kini. 

Mungkin ini juga cerminan bahwa apa yang kita sebagai Repubik Indonesia adalah proyek sejarah yang hingga kini belum selesai. Keindonesiaan tidak menelma sebagai ingatan kolektif. Malah keindonesiaan bisa dilihat sebagai praktik pembonsaian kekuatan lokal yang pernah berdaya di masa silam. 

usai dilantik (foto: La Yusri)
menerima perwakilan warga (foto: La Yusri)
ikatan merah di leher, biasa disebut katambina ade,
sebagai simbol siap mati demi membela sultan (foto: La Yusri)
Sultan Buton yang dikawal dua orang dengan memakai kain merah di leher,
simbol berani mati demi menjaga sultan (foto: Petty Hatma)

Tak perlu jauh-jauh. Sebagaimana dicatat Anthony Reid, dahulu Makassar adalah salah satu kota dunia, yang penduduknya sama dengan kota London. Dahulu, ada delapan negara yang membuka perwakilan di Makassar. Setelah bergabung dengan Indonesia, malah Makassar hanya bisa mengenang sejarah. Posisinya menyempit. Posisinya jadi tidak penting. Maka jangan salahkan warga Makassar ketika mereka lebih suka nostalgia masa silam ketimbang nostalgia di masa kini.

Demikian pula yang saya saksikan di Buton, Ternate, Tidore, hingga Papua. Dahulu, daerah itu sedemikian berkuasa dan berdaulat. Mereka bisa menjalin kontak dagang dengan bangsa asing dalam relasi yang setara. Kini, daerah-daerah itu hanya jadi satelit dari kota semacam Jakarta. Mereka seolah tak punya sejarah. Tak punya andil pada republik ini. Haruskah kita berperang dulu agar eksistensi kita diakui?

Makanya, saya lebih suka melihat keberadaan sultan ini secara positif. Dalam pahaman saya, posisi sultan tidak sama dengan pemerintah. Sultan menyandang peran spiritual sebagai sosok yang menjadi jembatan masyarakat hari ini dengan langit. Mungkin saja, sultan bisa membawa suara moral masyarakat yang kemudian bisa menjadi pengimbang suara pemerintahan. 

Mungkin saja sultan bisa menjadi suara alternatif yang kemudian bisa meningkatkan kebanggaan selaku pewaris satu kebudayaan. Mungkin saja kelak sultan bisa lebih didengarkan dan lebih efektif dalam memadamkan konflik atau untuk mempererat solidaritas antar komunitas di masyarakat.

Saya melihatnya positif. Kalaupun ada ketidakcakapan seorang figur sultan, maka ini bukan berarti kelemahan terletak pada institusi. Ini yang harus dicamkan pada banyak orang yang menuntut lebih pada sultan di masa kini. 

Maka biarkanlah semuanya berjalan sesuai yang dikehendaki mereka yang menginginkan lembaga ini terbentuk. Kelak, sejarah yang akan memberikan jawaban pada generasi masa depan, apakah apa yang terjadi hari ini merupakan kemestian sejarah, ataukah hanya karena sejumlah figur haus kekuasaan.  


Athens, 25 Mei 2012


2 komentar:

Anonim mengatakan...

very good

Kupang mengatakan...

L.S.;

I am a researcher kerajaan2 Indonesia and I wonder,if La Ode Izat Manarfa is now the rival of the new sultan and how the new sultan is related to a former sultan.

Thank you.

Salam hormat:
Donald Tick (facebook) Holland

Posting Komentar