MINGGU
lalu, saya dan teman-teman mahasiswa internasional di Athens, menyaksikan sebuah
film dokumenter yang mengangkat tragedi 1965. Film yang berjudul “40 Years of
Silence” karya Robert Lemelson ini memukau semua hadirin sehingga beberapa di
antaranya terharu saat mengetahui penderitaan korban tragedi 1965 yang mendapat
stigma sebagai kaum komunis.
Saya
dan teman-teman adalah generasi yang tumbuh pada masa Ode Baru, yang sukses
melakukan ‘cuci otak’ pada segala hal menyangkut komunis. Kami tahu tahu apa
realitas yang sedang terjadi. Maka film ini membuka mata dan pikiran kami,
bahwa peristiwa di tahun 1965 tersebut telah menimbulkan luka-luka sejarah yang
cukup besar, menimbulkan duka berupa tewasnya jutaan orang, serta para keluarga
yang kemudian menderita trauma berkepanjangan.
Tiba-tiba,
saya jadi memikirkan ulang apa yang disebut sejarah. Tenyata sejarah tidak
selalu berkaitan dengan sesuatu yang objektif dan ‘benar-benar terjadi.’ Sejarah
juga berkaitan dengan segala sesuatu yang bisa direkayasa demi kepentingan
pihak pemerintah. Lewat sejarah, pemerintah mereproduksi apa yang disebut
kebenaran, menistakan satu kelompok tertentu, dan menempatkannya sebagai pihak
yang bersalah dan menanggung luka-luka sosial.
suasana pemutaran film |
suasana diskusi |
Film
ini disutradarai Robert Lemelson, seorang professor bidang antropologi di
University of California at Los Angeles (UCLA), film ini juga diedit oleh Pietro Scalia, pemenang dua penghargaan editing terbaik
Academy Award. Ia tahu betul bagaimana memasukkan adegan-adegan yang bernas dan
merampas perhatian. Menurut informasi, dari 400 jam lebih materi yang terekam, berhasil
diperas dalam video berdurasi yang ”hanya” 86 menit.
Usai
pemutaran film, kami menggelar diskusi yang menghadirkan sejarawan Sonny
Karsono, sutradara asal Kolombia Camilo Perez, dan mahasiswa asal India, Pronoy
Rai. Diskusi dipandu pengamat politik Iqra Anugrah. Masing-masing bisa
memaparkan sisi-sisi lain dari film ini yang sempat terabaikan.
Saya
menikmati pemutaran film dan diskusi. Meskipun, saya merasa sedih saat
memikirkan nasib para korban yang masih harus menanggung beban atas apa yang
pernah terjadi di masa silam. Seusai diskusi, saya memelihara pertanyaan dalam
diri, bisakah kita mengadili seseorang atas perkara masa silam, sementara di
saat bersamaan kita mengabaikan masa depan orang tersebut? Di akhir film, diperlihatkan lapangan yang menampilkan kuburan massal di Bali. Ada adegan ketika sejumlah burung putih memenuhi pepohonan di dekat kuburan tersebut. Warga Bali percaya kalau burung-burung itu adalah reinkarnasi dari para arwah yang datang ke situ demi melihat kuburannya sendiri. Sungguh satu ending yang amat kuat!
Athens, 28 April 2012
1 komentar:
“Sejarah adalah milik pemenang.” ahh saya lupa siapa yang mengatakannya.
Posting Komentar