My Journey with Camilo Perez



Episode 1: A Puzzle of Colombian Images


KENANGAN itu mesti diawetkan. Kenangan itu mesti diabadikan dalam ruang-ruang berpikir kita. Jika tidak, ia akan menguap sebagaimana air dan terbang ke langit dan selanjutnya akan hilang tak berbekas. Upaya mengawetkan kenangan adalah upaya untuk menyerap hikmah dan kearifan yang tersimpan di dalamnya, demi mengayakan hidup di masa kini dan masa depan.

Dalam serial Harry Potter, kenangan digambarkan serupa benang yang bisa ditampung dalam wadah bernama Pensieve. Professor Albus Dumbledore sering mengeluarkan benang-benang pikirannya dan dimasukkan ke dalam wadah tersebut. Kata Dumbledore, kenangan mesti disimpan rapi, dan kelak, ketika kita membutuhkannya, kita bisa me-refresh-nya dnegan cara melihat ulang wadah berisi kenangan itu. Inilah yang sedang saya lakukan; membekukan kenangan dan kelak mem[erbaruinya kembali. 

tiga commdever Ohio: Camilo, saya, dan Shafiq
Saya ingin mengurai kenangan saya tentang seorang sahabat asal Kolombia bernama Camilo Perez. Selama beberapa minggu ini, kami sering bersama-sama. Kami saling belajar, berinteraksi, dan sama-sama saling menumbuhkan tanaman pengetahuan di hati masing-masing. Ia mengajari saya banyak hal yang sebelumnya tidak saya bayangkan. 

Bersama Camilo, saya merubuhkan benteng kesunyian yang selama ini menjadi tempat ternyaman saya selama di Athens, Ohio. Bersama Camilo, saya mencairkan sedikit demi sedikit kebekuan interaksi social yang selama ini menjerat langkah-langkah kaki saya. Ia mengajari saya ketulusan dan kerendahan hati, pelajaran berharga yang tak bakal ditemukan di universitas manapun. 

Saya mengenalnya September silam, saat mengurus kedatangan di kantor International Student and Faculty Service (ISFS). Ia seorang yang tinggi besar dan agak tambun. Pertama melihatnya, ia langsung tersenyum. Namun saya tidak langsung akrab dengannya. Seringkali, saya butuh proses yang cukup panjang, sebelum akhirnya memutuskan seseorang tersebut menjadi sahabat. Saat pertama berkenalan, ia lalu menyebut negeri asalnya yakni Colombia. 

Bagi saya. Colombia adalah sebuah negeri yang amat jauh. Saya tak pernah membayangkan akan bertemu seseorang dari Colombia dan kemudian berbincang-bincang tentang banyak hal. Imajinasi saya tentang Colombia adalah Pegunungan Andes yang hijau, dan lembah-lembah serta danau yang jernih. Saya membayangkan musik sejenis suling yang mendayu-dayu dan menikam-nikam hati kala malam mulai memeluk. 

Negeri ini memang asing. Tapi, entah kenapa, negeri itu cukup familiar di pikiran saya karena beberapa hal. Antara saya dan Colombia terpaut oleh beberapa keping imajinasi yang kemudian membangun satu konstruksi pengetahuan tentang negeri itu. 

Pertama, saya masih ingat persis, saat masih belajar di bangku Sekolah Menengah Pertama, saya menyaksikan Piala Dunia tahun 1994 di Amerika Serikat (AS) melalui layar televisi. Saat itu, terdapat berita heboh ketika seorang pesepakbola asal Kolombia, Escobar, tertembak. Menurut beberapa sumber berita di Indonesia, penembakan itu disebabkan oleh tindakan Escobar yang memasukkan gol ke gawangnya sendiri di piala dunia. 

Escobar
Rene Higuita, the scorpion kick
Carlos Valderrama, the real Colombian captain

Kata sumber berita itu, di Kolombia terdapat banyak mafia, dan kartel judi yang seringkali menjadikan sepakbola sebagai arena taruhan dan bisnis. Saya mengenal Colombia karena sepakbola. Saya juga masih mengingat jelas kapten timnas Kolombia, Carlos Valderrama yang rambutnya eksentrik. Hanya dialah satu-satunya kapten timnas Kolombia yang kemudian sangat terkenal. Juga kiper hebat Rene Higuita yang terkenal dengan julukan The Scorpion Kick karena aksinya menendang bola dengan cara bersalto. Ia seorang pesepakbola hebat. 

Kedua, setiap mendengar kata Kolombia, saya langsung terbayang telenovela yang amat popular di Indonesia. Saat masih kecil, saya menonton telenovela berjudul Escrava Isaura, yang menceritakan sejumlah budak di Amerika Serikat (AS) yang ingin melarikan diri ke Colombia. Selanjutnya, saya menyaksikan telenovela yang menampilkan gadis-gadis cantik dan pria macho seperti Maria Mercedes, Marimar, Betty La Fea, dan Cinta yang Hilang (saya tidak tahu apa nama serial ini dalam bahasa Inggris). 

Telenovela ini menjadi medium penyebar kebudayaan yang efektif. Di usia belasan tahun, saya sudah mulai paham jalinan cinta kasih yang rumit di Kolombia sana. Saya mulai familiar dengan menyaksikan tayangan tentang gadis-gadis dalam telenovela yang seksi serta para pria yang macho. Saya sering bertanya, apakah semua orang di Kolombia sebagaimana yang direpresentasikan dalam telenovela itu? 

Marimar
Betty La Fea

Ketiga, saya mengenal Kolombia dan dunia Amerika Latin melalui wacana teologi pembebasan. Saya pernah membaca satu buku tentang Teologi Pembebasan yang ditulis Michael Lowy, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Buku ini mengisahkan perjuangan seorang pendeta Katolik bernama Oscar Romero di El Salvador. 

Saat membaca buku ini, saya tak paham bahwa Kolombia dan El Salvador adalah negara yang berbeda. Tapi saya paham bahwa dua negara ini punya nafas yang sama dalam hal keagamaan. Menurut buku ini, teologi pembebasan menyebar sebagaimana udara di Amerika Latin, memberikan tafsiran baru atas agama, menjadi semangat yang menggerakkan semua orang untuk menentang ketidakadilan. 


Keempat, saya mengenali Colombia melalui Paolo Freire. Meskipun Freire berasal dari Brazil, namun ia banyak menyebut-nyebut Amerika Lain, di mana Colombia menjadi bagian dari itu. Saat kuliah di satu kota di Indonesia, saya membaca buku Pendidikan Kaum Tertindas (terjemahan dari Pedagogy of the Oppressed) karya Paolo Freire. Saya tiba-tiba menyadari bahwa sebuah kalimat bisa menggerakkan, bisa menyalakan kesadaran, serta menumbuhkan benih-benih inspirasi yang universal bagi siapapun. 


*** 


Empat keping ingatan tentang Colombia adalah pintu masuk buat saya untuk mengenali Camilo. Jika saja pengetahuan adalah konstruksi, maka pengetahuan saya tentang Camilo dibangun oleh empat pilar imajinasi yakni sepakbola, telenovela, teologi pembebasan, dan Paolo Freire. Keempatnya menjadi pilar sekaligus penyangga pengetahuan, yang kemudian menjelma sebagai pohon yang kekar, dengan akar menghujam ke dalam hati, dan pucuknya hendak menjangkau mega-mega angkasa pengetahuan.(*) 

To Be Continued…


Cartagena, tempat wisata indah di Kolombia.
Semoga kelak saya bisa ke sana