Melihat Kuasa di White House

White House atau Gedung Putih, kediaman para presiden amerika serikat (AS)

PARA pemimpin adalah serupa seorang peragawati. Hampir setiap saat menjadi perhatian banyak orang. Apapun yang dilakukan, apapun yang dipikirkan, bahkan kediaman sekalipun bisa menjadi tontonan banyak orang. Sering saya tidak memahami mengapa kediaman seorng kepala negaran seperti Gedung Putih (white house) justru menjadi tujuan para wisatawan. 

Mungkin, orang-orang hendak meresapi sejarah di negeri yang menjadi super power ini. Ataukah orang-orang datang untuk bertanya inikah negeri yang menancapkan kuku kuasa dan menyebarkan tentakel bisnis ke seluruh belahan dunia? 

Saya berkunjung ke Gedung Putih dengan membawa pertanyaan-pertanyaan itu. Penjagaannya cukup ketat. Di mana-mana saya melihat polisi berseragam yang mengamati pengunjung dengan seksama. Bahkan di atap gedung, saya bisa melihat para penjaga berseragam. Pada jam tertentu, mereka sangat tegas meminta semua orang untuk segera meninggalkan tempat itu. Mungkin tempat ini adalah simbol Amerika Serikat (AS), makanya dijaga dengan ketat. Saya membayangkan, apapun kejadian di tempat ini, maka akan membawa dampak bagi dunia. 

depan White House

Di sinikah semua keputusan penting menyangut dunia dibahas? Mungkin. Di luar aspek politik, gedung ini menyimpan catatan sejarah. Berlokasi di 1600 Pennsylvania Avenue NW di Washington DC, gedung yang didesain arsitek kelahiran Irlandia bernama James Hoban ini dibangun pada tahun 1792 dan 1800. Konon, bangunan ini dicat putih dengan gaya neo-klasik. Konon pula, beberapa Presiden Amerika Serikat (AS) telah melakukan penambahan interior di gedung bersejarah ini. Sayang sekali, karena saya hanya sampai di pagar depan, tanpa berkesempatan melongok langsung ke dalam bangunan ini. 

Saat berkunjung ke situ, saya melihat sebuah tenda dari seorang demonstran yang berdiri tepat di depan pagar Gedung Putih. Seseorang memasang poster anti-nuklir serta desakan agar Amerika melarang semua praktik senjata nuklir di banyak negara. Demonstran itu menulis, "Ban all nuclear weapons or have a nice doomsday." Ia juga menulis, “Live by the bomb, die by the bomb.” 

demonstrasi anti-nuklir 
tenda demonstran
saah satu poster

Pengalaman di tanah air mengajarkan bahwa setiap kali ada demonstrasi, maka selalu saja ada diskursus atau wacana yang sedang bekerja di situ. Saya sempat berbincang dengan sang demonstran. Ia melihat negerinya sebagai penyelamat nuklir. Ia tidak tahu apa yang dilakukan negerinya sendiri ketika membom banyak tempat di belahan dunia lain. Tapi inilah kekuatan diskursus atau wacana. Rakyat Amerika tidak banyak tahu apa yang sedang terjadi di negeri lain. Mereka hanya tahu tentang negerinya yang perkasa dan sesekali menjadi ‘polisi dunia.’ 

Saya tak begitu paham tentang politik. Tujuan saya ke tempat itu adalah untuk berkunjung sebagaimana turis lainnya, lalu berpose, kemudian meninggalkan tempat tersebut. Sempat singgah diskusi dengan turis Jepang, setelah itu saya lalu beranjak. Bersama para sahabat, saya lalu singgah menyaksikan sakura yang bersemi di Washington Monument. Kelak, saya akan menceritakannya pada kesempatan lain.(*)
turis Jepang



0 komentar:

Posting Komentar