Syair Sedih Para Prajurit Beku

the frozen soldiers

SETIAP kali melihat jejak peperangan, setiap kali pula hati saya teriris-iris. Saya membayangkan jiwa-jiwa yang kemudian tewas di medan perang demi sesuatu yang bernama negara. Saya membayangkan para keluarga yang ditnggalkan. Saya membayangkan orangtua yang kehilangan anak, istri yang kehilangan suami, atau bayi-bayi yang kehilangan ayahnya yang gugur di medan laga. Mengapa harus ada perang? 

Kita bisa mengatakan itu sebagai panggilan negara. Seolah-olah, negara serupa Tuhan yang punya kuasa memanggil semua warganya. Satu hal yang lucu buat saya, seringkali negara disimbolkan sebagai orangtua, sementara warga negara sering disebut sebagai anak. Di Indonesia, saya sering mendengar kalimat, “Ibu pertiwi telah memanggil putra-putrinya.” 

Ternyata, di Amerika, negara juga seolah orangtua, dan warga negara adalah anaknya. Saya menyaksikan prasasti perang Korea di kompleks World War II Memorial di Washington DC. Di situ tertera tulisan: “Our nation honors her sons and daughters who answered the call to defend a country they never knew and a people they never met.” 

depan World War Memorial
prasasti seribu bintang
inikah harga kebebasan?
seribu bintang

Jika negara adalah ayah-ibu, mengapa harus ada warganya yang tewas demi membela ayah-ibunya? Kenapa bukan ayah-ibu yang berkorban demi anaknya menganyam masa depan, menata generasi mendatang, serta kelak akan meletakkan bunga saat mengenang ayah-ibunya? Kita memang tak melihat bentuk konkret dari negara. Tapi kita bisa merasakan nasionalisme yang menggelora dan menggemuruh dalam sanubari kita. Ketika melihat nama-nama yang tewas, apakah gerangan yang kita rasakan? Apakah kita melihatnya sebagai patriotik dan nama yang harum semerbak? Haruskah kita mengangkat topi kemudian memberikan salam penghormatan kepada para prajurit yang gugur di medan peperangan? 

Di kompleks itu, saya menyaksikan patung “The Frozen Soldier.” Mereka adalah sekumpulan patung prajurit yang seolah-olah tengah di medan tempur. Mereka memakai jas hujan demi menghindari basah. Saya membayangkan mereka adalah prajurit amphibi yang hendak mendarat di Pantai Normandia. Inilah penyerbuan yang terus dikenang dalam sejarah. Semua literatur sejarah militer memuji-muji operasi ini sebab diangap sebagai kunci kalahnya Hitler. 

ibu pertiwi memanggil
Tapi jiwa saya justru teriris-iris. Saya amat sedih membayangkan peperangan dan dampak sosial kutlural dari peperangan itu. Semua monumen di sini hanya menggambarkan kemenangan. Tanpa mau menggambarkan bagaimana kesedihan ditata sebagaimana opera musik klasik yang kadang menikam-nikam lara. Kesedihan adalah sisi lain dari koin peperangan yang melulu didominasi kisah kemenangan. Kita sering mengejar kejayaan yang gilang-gemilang, dan di saat bersamaaan mengabaikan fakta tentang mereka yang tewas. 

Di kompleks itu, saya banyak melihat prasasti yang berisi kalimat untuk mengenang mereka yang gugur. Malah, saya juga melihat prasasti berupa bintang-bintang yang sedianya disematkan di dada para prajurit yang gugur. Cukupkah itu? Bagi saya, semuanya nampak aneh. Negara sedang membodohi warganya, menjadikan mereka sebagai pion dmei ambisi politik dan kuasa. Ketika warganya tewas, didirikanlah monumen sebagai tanda penghormatan. Namun, apakah keluarga yang hidup itu butuh kata hormat itu? 

Mereka yang gugur itu hanya menjadi monumen untuk dikenang bagi generasi selanjutnya. Mereka hanya menjadi barisan nama-nama yang tertera di museum. Mereka ditenggelamkan sejarah, sebab sejarah hanya mau mencatat para pemimpin mereka. Mereka terlupakan, dan menjadi obyek turisme bagi mereka yang datang demi untuk berpose dengan prajurit beku dan memajangnya di facebook. Sementara pengorbanan dan keikhlasan mereka menjadi barang mahal yang susah ditemukan di museum manapun. 

prasati perang Korea

Di kompleks itu, saya tidak terbawa gelora nasionalisme Amerika yang terjebak euphoria atas kemanangan. Saya sedang merenungi tragedi kemanusiaan berupa peperangan yang silih berganti. Entah, apakah para prajurit beku itu tengah bergembira ataukah tengah berbisik tentang syair sedih. Entah apakah setelah melihat prasasti itu, kita akan mengalami pencerahan, kemudian tergerak untuk membangun peradaban yang lebih sederhana, lebih humble, dan lebih memanusiakan zaman yang kian renta dan lelah berpacu dengan waktu. Ataukah kita hanya berpose dan mencatatnya sebagai kemenangan besar. Ataukah kita mencatatnya sebagai tragedi?


Athens, Ohio, 14 Februari 2012

apakah kebebasan adalah ketidakbebasan?
(foto: Rashmi Sharma)