Buku, Kafe, dan Sepotong Brownies Cinta


NAMANYA Amel. Ia bekerja sebagai Art Director yang cemerlang dan sukses. Wajah cantik dan rajin merawat diri. Kecantikannya digambarkan bak pualam yang disentuh langsung oleh Yang Maha Memahat. Wanita kosmopolitan yang merupakan bagian dari selebrita ibukota. Ia sering tampil di majalah wanita sebagai ikon wanita muda yang sukses. Cantik, sukses, rapi, serta high class. 

Sayang, kehidupan cintanya tidak secemerlang kariernya. Ia terjebak dalam permainan cinta dengan seorang playboy yang kemudian menjebaknya dalam isakan duka lara. Dalam keadaan pedih, ia selalu melarikannya dnegan menyibukkan diri membuat kue brownies. Ia mencoba segala resep namun gagal. Ia tak paham filosofi bahwa brownies senantiasa jujur untuk mengungkapkan rasa. Ia tak tahu bahwa emosi bisa menjadi bumbu rahasia yang menentukan rasa brownies. Ia mesti menemukan cinta. Akankah ia menemukannya? 


**** 


NAMANYA Are. Seorang pemuda urakan, jarang mandi, berantakan, serta drop out dari kampus Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia cerdas, menguasai banyak buku. Ia bisa melayani siapapun untuk diskusi selama berjam-jam demi membahas buku, serta pemikiran terbaru. Penggemar berat sastrawan Pramoedya Ananta Toer dan Arswendo Atmowiloto. Dengan entengnya, ia bisa membahas Karl Marx dan Friedrich Nietzsche sambil menyeruput es doger. Ia pembaca novel, serta punya kisah hidup yang juga serupa novel. Pernah menggelandang kemudian mengamen di Jalan Malioboro Yogyakarta, yang disebutnya sebagai bagian dari proses penemuan diri. 

Ia mewujudkan mimpi-mimpi kecilnya secara perlahan. Ia membangun kafe kecil di dekat Taman Ismail Marzuki (TIM) yang dipenuhi buku-buku berkelas. Ia membangun komunitas. Pengamen jalanan yang sering diundang bernanyi, penjual es doger yang dimintanya bermitra di kafe itu. Ia seorang pembuat brownies yang ulung. Saat membuat brownies, ia akan membayangkan almarhum ibunya, seorang wanita perkasa, yang kemudian membesarkannya seorang diri. Ia berharap bisa memiliki cinta sedahsyat ibunya. Akankah ia menemukannya? 


*** 


Saya terlambat membaca novel Brownies karya Fira Basuki ini. Untunglah, saya menemukan novel ini di Alden Library. Saya membaca tuntas hanya dalam dua jam. Saya hanyut dalam tuturan yang mengalir bak anak sungai. Saya menikmati dialog dua dunia antara Amel dan Are. Keduanya bagai bumi dan langit, tetapi selalu saja ada semacam medan magnet yang kemudian menautkan mereka. Saya serasa menemukan mimpi-mimpi saya pada sosok Are. Seperti Are, saya tak pernah bermimpi untuk kaya. Saya hanya ingin memiliki perpustakaan kecil dan kelak di situ ada kafe yang kemudian menjadi tempat pertemuan banyak orang. 

Saya menyukai dialog lintas kelas ini. Are, seorang filosof yang belajar dari setiap keping kehidupan. Sementara Amel adalah seorang pekerja keras di rimba raya perkotaan, yang sering lupa untuk berkontemplasi. Keduanya punya kelebihan masing-masing. Keduanya dari dunia yang amat jauh berbeda. Keduanya berdialektika, dan mencari titik-titik yang bisa mempertemukan mereka. Brownis menjadi benang merah yang kuat sekaligus menjadi medium yang melepaskan rasa. Brownies menampakkan perbedaan mereka, yang kekuatannya  serupa pelangi telah mewarnai hari-hari dan menjelma sebagai pohon kukuh bernama cinta, yang fundasinya menghujam bumi, dan ranting-rantingnya menggapai mega-mega.

Dan biarkanlah brownies yang mengungkapkan rasanya.