Telaga Jernih di Masjid Athens




JUMAT (15/10), saya menunaikan salat Jumat di Islamic Center, Athens. Di lihat dari kejauhan, saya tak menemukan jejak masjid. Di tanah air, masjid adalah bangunan yang mudah ditemukan sebab arsitekturnya selalu khas berupa kubah yang serupa payung seakan menutupi bangunan masjid. Biasanya, ada pula menara besar yang di atasnya terdapat pengeras suara demi memanggil umat di kejauhan.

Tapi di Athens, Ohio, bangunan masjid seperti layaknya bangunan rumah biasa. Satu-satunya penanda adalah tulisan Islamic Center di pintu masuk. Andaikan saya tidak bersama seorang kawan, mungkin saya tak mengenali bahwa bangunan putih serupa rumah itu adalah masjid, yang juga berfungsi sebagai Islamic Center.

Saya ke Islamic Center bersama seorang kawan beragama Katolik. Ia ikut masuk ke dalam masjid. Teman saya tersebut cukup fleksibel, sebab saat bertemu orang Arab, ia lalu mengucapkan kalimat Assalamu Alaikum. Selanjutnya, ia duduk di tempat paling belakang (dekat tembok) lalu mulai memejamkan mata dan berdoa dengan cara Katolik. Sementara saya langsung bergabung dengan shaf lalu salat sunat.


Pengunjung masjid ini tidak seberapa banyak. Saya bisa memetakan dalam beberapa kategori. Pengunjung terbanyak adalah mahasiswa asal Timur Tengah. Kebetulan, saya banyak mengenal mereka. Selanjutnya adalah warga Afrika. Lalu, warga Asia Tenggara (Indonesia dan Malaysia), dan yang tersedikit adalah warga Amerika Serikat sendiri.

Dekorasi dalam masjid juga sangat sederhana. Hanya ada karpet serta beberapa dekorasi kaligrafi. Saya melihat jadwal shalat tulisan berbahasa Arab, entah apa maknanya. Semuanya serba standar.

Saya dan jamaah menunggu datangnya khatib. Ketika datang, saya agak terkejut karena khatibnya bukanlah sesepuh yang datang dengan pakaian ala timur tengah. Sang khatib adalah anak muda yang memakai baju kaos. celana mirip jeans, yang sering dipakai untuk mendaki gunung. Dari wajahnya, saya bisa menebak kalau sang khatib berasal dari Timur Tengah. Sang khatib berprofesi sebagai mahasiswa.


Ia lalu membuka khutbah dengan bahasa Arab yang fasih, bukan sengaja difasih-fasihkan. Setelah itu, ia mulai khutbah dengan bahasa Inggris. Isi khutbahnya cukup menarik yakni tentang Islam yang mengajarkan cinta kasih serta perdamaian.

Bagian yang paling mengena adalah ketika ia memaparkan bahwa peperangan diawali dendam yang kemudian beranak-pinak. Semuanya diawali dari satu kejadian, lalu dendam membara, selanjutnya muncullah lingkaran dendam yang tak berkesudahan. Saya rasa bagian ini sangat relevan dan kontekstual untuk menggambarkan realita zaman ini.

Selama sang khatib berkhutbah, saya merefleksi pengalaman mendengar khutbah di banyak tempat. Saya besar di Baubau, Buton, yang para penceramahnya berbahasa Indonesia. Saya pernah salat di masjid Bone, Sulsel, yang khutbahnya disampaikan dalam bahasa Bugis. Sering pula saya mendengar khutbah dalam bahasa Makassar. Pernah pula salat di Yogya, yang khutbahnya dalam bahasa Jawa. Kali ini, saya salat di Amerika, yang khutbahnya berbahasa Inggris.

bahan bacaan di masjid

Mungkin ada satu pesan laksana embun di tengah kegersangan spiritual. Bahwa manusia bisa terpencar dalam bangsa dan kaum berbeda. Tapi mereka sesungguhnya sama-sama diikat oleh kesatuan tema yang menyentuh hati. Mereka sama-sama berhadapan dengan persoalan yang sama yakni bagaimana memetamorfosiskan agama sebagai ruh yang menggerakkan kehidupan, bagaimana menjadikan agama sebagai mata air kecemerlangan yang mengalirkan nilai-nilai dan menyingkiran debu-debu keangkuhan atas pengetahuan yang bersemayam di diri masing-masing. Manusia sama mempunyai sisi-sisi lain dari hati yang sesungguhnya merindukan sentuhan spiritualitas, demi menjelmakannya sebagai cahaya yang menerangi segenap jalan.

Memang, khutbah disampaikan dalam bahasa berbeda. Namun saya menemukan kesatuan tema yang amat menyentuh hati. Bahwa pada dasarnya bahasa hanyalah satu pintu untuk memasuki relung-relung hati manusia. Manusia bisa berbeda bahasa, akan tetapi memiliki satu jiwa yang memijar terang hingga tak tersesat di rimba kehidupan, menjadi telaga jernih yang mengatasi dahaga spiritualitas di tengah kegersangan kehidupan dan mejadi cahaya yang memancar di sekeliling. Bukankah pesan ini amat indah?


Athens, Ohio, 15 Oktober 2011

3 komentar:

Dya Ry mengatakan...

Subhanallah..jum'atan di Amrik...
Khatibnya bener-bener tidak tampak seperti khatib di Indonesia ya kak?..
Eksistensi khatib di Indonesia, mayoritas tampilan fisiknya berusaha menunjukkan identitas ke-khatib-annya.
Klo yg ini beda..

Unknown mengatakan...

Cerita menarik yang disajikan dengan bahasa yang apik. Indahnya petualangan...





Yusran Darmawan mengatakan...

makasih atas komentarnya

Posting Komentar