Suka Duka Kelas Internasional

depan kampus

DI kota Athens, saya mulai menata hari. Jika sebelumnya hari-hari diisi dengan bekerja, kini tak ada yang berubah. Saya masih tetap bekerja keras untuk memahami teks-teks bacaan berbahasa Inggris, membaca hingga larut malam, serta mulai beradaptasi dengan iklim pendidikan.

Dua minggu awal adalah masa bulan madu. Saya menikmati hari dan berjalan-jalan hingga menjangkau sudut-sudut kota. Kota kecil ini memang didesain sebagai tempat pendidikan. Nama Athens mengacu pada nama Athens di Yunani yang merupakan tempat lahirnya filsafat sebagai akar dari ilmu pengetahuan. Barangkali, separuh dari penduduk kota ini adalah mahasiswa. Makanya, saat liburan musim panas, kota ini akan menjadi kota mati. Semua meninggalkan kota.

Saya ingin bercerita tentang dua hal yang dialami ketika mulai berinteraksi di kampus. Pertama, saya ingin berkisah tentang suka duka di kelas iternasional, dalam kondisi keterbatasan bahasa Inggris. Kedua, saya ingin berkisah tentang nama saya yang berubah saat tiba di Amerika.

Bagi saya, kuliah ini tidaklah senikmat yang disangkakan banyak orang. Masa perkuliahan adalah masa-masa penuh tekanan. Betapa tidak, semua dosen mensyaratkan kita untuk membaca banyak bahan, dan kemudian mesti siap-siap untuk dipresentasikan di depan kelas. Bagi yang terbiasa berbahasa Inggris, presentasi adalah hal yang amat mudah. Tapi bagi mereka yang bahasa Inggrisnya masih payah seperti saya, presentasi itu jadi sangat menakutkan.

Tampaknya, saya memang harus kerja keras. Dari penjelasan dosen atas materi kuliah, mungkin saya hanya paham sekitar 20 persen. Sisanya, saya tak paham. Saya sering terbengong-bengong saat beberapa teman diskusi dan berdebat dengan dosen. Gimana gak bengong, saya tidak paham apa yang sedang mereka diskusikan. Saya hanya memperhatikan kata demi kata sambil mencari tahu kira-kira apa maknanya.

Dari sekitar 13 orang peserta, hanya ada satu mahasiswa Indonesia. Sisanya adalah warga Amerika Serikat (AS), Jerman, Kolombia, Jepang, Cina, dan Afrika. Masing-masing berbicara dengan aksen berbeda. Saya sering tak paham apa yang dikatakan teman dari Afrika sebab bercampur dengan aksesn lokal. Tapi saya sangat senang berbicara dengan mereka karena mereka sangat hangat dan bersahabat. Teman akrab saya berasal dari Kolombia. Entah kenapa, saya cocok membahas banyak hal. Kami bisa diskusi berjam-jam tentang politik dan riset-riset partisipatoris.

Meski kemampuan bahasa masih rendah, saya berusaha untuk tetap masuk kelas. Sering saya merasa kecele. Saat tiba di kelas, ternyata tiba-tiba saja ada PR. Saat bertanya pada beberapa teman, ternyata PR diumumkan sejak minggu lalu. Artinya, saat itu saya di kelas, tapi saya tidak tahu kalau dosen mengumumkan PR. Bukan berarti lengah. Tapi saya tidak tahu apa perkataan dosen, di mana salah satu kalimatnya adalah instruksi tentang PR. Duh!

Demi melatih bahasa Inggris, saya meminta seorang teman untuk menjadi partner berbicara (istilah kerennya conversation partner). Kebetulan, di Ohio, banyak warga asli Amerika yang lagi beajar bahasa Indonesia. Makanya, saya bisa menemukan seseorang untuk menjadi partner. Namanya Erick. Dia warga asli Ohio. Setiap ketemu, dia mengajak saya berbicara dalam bahasa Indonesia, dan saya kemudian mengajaknya bicara bahasa Inggris. Dia membantu saya untuk memeriksa ulang semua tugas dalam bahasa Inggris, memberikan koreksi atas tugas, serta memberi masukan. Setiap hari, saya selalu menyempatkan waktu sejam atau dua jam untuk berbicara dengannya

Yang menyenangkan adalah Erick sangat baik. Dia sering mengajak saya jalan-jalan ke sekitar kampus, sambil menjelaskan sejarah dan bagaimana kehidupan masyarakat sekitar. Kami juga sering berbincang di restoran. Ia memperkenalkan beberapa makanan Amerika serta cara memakannya. Kemarin, ia mengajarkan cara makan dan memesan salad serta cara menyiapkannya. Yang luar biasa, ia selalu membayar setiap makanan yang kami pesan. Ia menolak untuk dibayarkan. Makanya, saya cukup berutang budi kepadanya. Karena ia menolak dibayarkan, maka sayapun memberikan bingkisan yang dibawa dari Tanah Air. Ia merasa surprised dan sangat berterimakasih.

Hingga minggu ketiga, saya masih mengalami kendala bahasa. Tapi secara perlahan, saya mulai bisa menikmati ritme perkuliahan. Saya tak mau terlalu terbebani dengan tugas-tugas. Saya mencari sisi-sisi lain yang bisa membuat nyaman di sini. Saya tidak boleh tertekan. Saya harus belajar meninggalkan zona nyaman di tanah air. Saya mesti menghadapi semua masalah sebagai tantangan yang harus segera dipecahkan. Saya mesti berdamai dengan semua ketidaknyamanan.

Soal Nama

DI minggu keempat, saya merasakan keanehan mengenai nama. Tadinya, saya tak menyadarinya. Lama kelamaan, saya mulai menemukan bahwa nama dan penyebutannya senantiasa terkait dengan kultur di mana seseorang berada. Saya lahir di Indonesia dengan nama Muhammad Yusran Darmawan. Setiba di Amerika, saya harus merelakan nama tengah saya lenyap sehingga hanya tertulis Muhammad Darmawan.

Entah siapa yang memulainya, di tempat ini, seseorang selalu memiliki dua suku kata untuk nama. Kalaupun ada nama tengah, biasanya nama itu disingkat, atau malah dilenyapkan sama sekali. Awalnya saya heran saat menerima segepok surat grant dari IIE di New York dan di depannya tertera nama Muhammad Y Darmawan.

Orang Amerika Serikat tidak pernah berpikir bahwa nama Muhammad dipasang didepan nama dan lebih sering disingkat. Saya lebih sering menuliskan nama M Yusran Darmawan. Rata-rata orang Indonesia sudah tahu apa kepanjangannya. Mereka tidak mempertanyakannya lagi.

Lain tempat lain kulturnya. Di sini saya sering dipanggil Darmawan. Saya tidak pernah dipanggil dengan nama tengah. Suatu hari, saat perkuliahan dimulai, dosen memanggil Muhammad, maka yang menoleh ada dua orang yakni saya dan sahabat asal Afghanistan. Kami sama-sama protes sebab nama itu diletakkan di depan nama dan bukanlah nama panggilan.

Seorang teman juga memiliki keluhan yang sama soal nama. Nama lengkapnya hanya satu kata yakni Elizarni. Di Indonesia, banyak yang hanya memiliki nama satu suku kata. Saya mengenal Aslan, Kasman, Hamrin, atau malah Safaruddin. Saya bisa bayangkan saat pemilik nama satu kata ini ke Amerika, ia pasti akan kesulitan beradaptasi saat diminta menulis nama khususnya saat namanya ditulis komputer untuk absesnsi, atau saat buka rekening di bank. Dalam kasus teman saya, akhirnya namanya ditulis Elizarni No Name. Seorang dosen memanggilnya NO. Aneh khan?

Yah , apa boleh buat. Mungkin saatnya saya harus membiasakan diri dengan panggilan nama Muhammad Darmawan. Meskipun keduanya hampir tidak pernah digunakan di Indonesia. Saya lebih nyaman dipanggil Yusran atau Yus. Kadang Yos. Hari ini, di saat saya melamun tiba-tiba saja seorang sahabat asal Kolombia menyapa, "Hai Muhammad!" Wah, jadi gak enak nih!

Nampaknya, saya mesti terus belajar dan tak malu-mau untuk bertanya pada siapapun. Saya mesti menajamkan semua pikiran untuk menyerap segala pengetahuan yang berserakan di luar sana, di luar bangku akademis. Saya mesti belajar memahami pengetahuan yang tersebar di semesta raya.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Kak menyenangkan membaca tulisan ta....
serasa saya turut berada di Ohio n merasakan adaptasi yang berat namun menyenangkan...

Sukses yah kak, moga kelak saya pun bisa "benar2" merasakan pengalaman seperti itu.
Aamiin Ya Rab

Mahasiswa Baru mengatakan...

salam kenal
http://uii.ac.id

Posting Komentar