Saat Rasul Memilih Bumi

Di malam sunyi itu, Muhammad melesat laksana kilat dari Masjidil Aqsa (Mekah) ke menuju Masjidil Aqsa di Palestina. Setelah itu, pria yang menyandang tugas suci sebagai Rasulullah itu melesat menuju langit, menembus segala batas kosmos dan sentrum semesta. Ia meleburkan dirinya dalam bahtera kecintaan dengan Sang Pencipta. Ia menerima perintah salat, lalu kembali ke bumi membawa amanah itu kepada umat manusia. Ilmuwan asal Pakistan Dr Sir Muh Iqbal berujar lirih. "Andaikan aku yang bertemu Allah, aku tak akan kembali ke muka bumi. Bukankah itulah tujuan hidup manusia selama ini? Bisa bertemu dengan Sang Pencipta." 

Senada dengan Iqbal, andaikan diriku adalah Rasul, barangkali akupun memilih untuk tetap bersama-Nya. Bukankah seluruh ibadah, kebajikan, dan segala keikhlasan semata-mata ditujukan kepada-Nya? Lantas, mengapa pula Rasul memilih untuk bersama umatnya, yang diselubungi kedunguan di era jahiliyah? Aku bukan seorang ulama yang pandai menafsir. Kisah yang paling menggetarkan diriku dari kisah Isra dan Mi’raj ini bukanlah episode ketika Rasul bertemu Allah. Bukan pula episode ketika Rasul melesat bagai kilat. Kisah yang menakjubkan adalah saat bertemu dengan Tuhan, Muhammad memilih untuk kembali ke bumi demi memberikan pencerahan kepada umatnya. 

Kembalinya Muhammad ke muka bumi usai bertemu Allah menyimpan makna tersendiri. Sebagai seorang messenger atau pembawa pesan, ia jauh dari sifat egois. Ia masih meletakkan basis sosial dan aktivisme kemasyarakatan sebagai salah satu elemen dasar ajaran Islam. Ia meletakkan fundasi atas ketaatan spiritual lewat bangunan kecintaan kepada masyarakat. 

Inilah tujuan hidup sebagai seorang manusia, yang tidak melulu dipenuhi nuansa ketaatan pada ritual. Spiritualitas adalah kualitas kecintaan pada sesama manusia, terletak pada ikhtiar untuk menjadi api kecil yang menerangi pekatnya kegelapan. Spiritualitas adalah kecintaan atas sesame manusia yang dimanifestasikan dalam upaya melebur segala egoism demi menjadi bagian masyarakat banyak.

Melalui proses kembali itu, Rasul bergerak melampaui sesuatu. Ia memilih bumi, ketimbang semesta langit. Ia mampu mengatasi situasi-situasi material dalam kehidupan duniawi, lalu "naik" untuk "manunggal" dengan Kenyataan yang Benar (al haqq). Kata pemikir Iran, Ali Syari'ati, tidaklah sempurna keimanan seseorang jika hanya berhenti menjadi manusia sebagai jasad material. Manusia harus bergerak menjadi "insan" atau manusia sebagai "roh" yang sadar dan bergerak ke arah kemungkinan-kemungkinan yang baik. Peristiwa kembali ke bumi itu menandai keadaan di mana Rasul menjadi "insan" sepenuh-penuhnya, yang kembali setelah bertemu sumber kebenaran. 

Maafkan. Diriku bukanlah seorang ulama yang bisa menafsir sebuah kisah sejarah. Diriku hanya seorang pendosa yang belajar memahami jantung sebuah kejadian masa silam, demi memperkaya masa kini melalui hikmah-hikmah yang bertaburan di sekujur kisah itu.(*)


3 komentar:

benietzsche mengatakan...

Seorang sufi besar pernah berkata, "Andai kiranya aku yang diterbangkan kesana, Demi Allah, aku tak akan pernah ingin kembali."

Anonim mengatakan...

Subhanallah, sebuah perjalanan dimensional, dari dimensi 3 di langit pertama menuju dimensi 9 di langit ke tujuh ("Terpesona di Sidratul Muntaha", oleh: Agus Mustofa, penerbit: Padma Press)

Almin Jawad Moerteza mengatakan...

Mungkin maksud kak Yus dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsa di Palestina.

Walau ulasannya singkat tapi isinya menggambarkan bahwa kak Yus mengerti benar pemikiran para sufi yang selalu menerima bisikan dari langit. Saya suka sekali, makasih kak Yus atas ilmunya.

Posting Komentar