Muhammad: Lelaki Pengeja Hujan

NOVEL kedua dari seri Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan karya Tasaro telah terbit. Kali ini berjudul Muhammad: Para Pengeja Hujan. Sampulnya nyaris mirip. Sama-sama gambar abstrak, namun maknanya sangat dalam. Novel kedua ini hampir sama tebalnya dengan novel pertama. Saat melihatnya, saya membayangkan betapa lelahnya menghabiskan novel setebal itu. Jika novel pertama bisa saya tuntaskan dalam seminggu (karena membacanya cuma beberapa jam dalam sehari), maka novel kedua ini akan menelan waktu yang sama. Tapi saya juga membayangkan sungai kata-kata yang jernih serta kerinduan atas sosok Muhammad. Di tengah gersangnya tokoh yang penuh dedikasi pada sesama, Muhammad menjadi oasis dan mata air yang tak henti mengalirkan kejernihan dan kerinduan.


Mengingat kesibukan selama dua minggu ini, saya urungkan dulu untuk membelinya. Saya akan membacanya pada waktu yang tepat, pada saat pikiran bisa lebih fokus, di sela-sela kerinduan atas sosok Muhammad, sosok yang disebut penulis Michael Hart sebagai manusia paling luar biasa yang terlahir di jagad ini, manusia yang dengan segala kesederhanannya telah mewarnai peradaban, tidak hanya saat hidupnya, namun ratusan tahun setelah kematiannya. Muhammad seorang lelaki masa silam yang melukis masa depan, melalui dedikasi, ketulusan, serta pengetahuan yang serupa api telah membakar kegelapan manusia.

Saya selalu menikmati kisah Muhammad yang disajikan seindah puisi dengan kata-kata yang mengalir bagai anak sungai. Dalam buku pertama, Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan, Tasaro sukses menjinakkan lempung kata menjadi keramik yang amat indah. Ia sukses mencairkan segala kebekuan kata demi mengngkapkan kembang kecintaannya pada Muhammad. Saya menikmati segala keindahan yang dipersembahkan kepada sang rasul. Saya tahu bahwa kata-kata pun bisa demikian miskin untuk menggambarkan kedahsyatan serta keikhlasan manusia luar biasa ini. Tapi setidaknya upaya Tasaro adalah upaya untuk memuliakannya, seacam shalawat yang diucapkan dengan lirih dan menggetarkan pada suatu malam senyap.

Di sampul novel kedua ini, terdapat kutipan yang berbunyi, “Diakah Atsvat Ereta? Lelaki yang kelahirannya telah lama diramalkan dalam gulungan-gulungan perkamen kuno? Sosok Maitreya yang memiliki tubuh semurni emas, terang-benderang dan suci?” Bagi yang tidak membaca novel pertama mungkin akan kebingungan. Untungnya, saya sudah membaca tuntas novel pertama. Di situ digambarkan tentang berbagai nujuman tentang sosok Muhammad sebagaimana bisa ditemukan dalam perkamen-perkamen kuno. 

Para penganut Zoroaster menyebutnya Astvat Ereta, seorang nabi yang dijanjikan. Seorang Pendeta Kristen bernama Bahira malah menujum Muhammad sebagai Himada, sosok yang akan membawa keagungan di rumah Tuhan. Kemudian kitab kuno umat Hindu, Kuntap Sukt, meramalkan hadirnya sosok yang menghadirkan hujan wahyu, seorang lelaki pengenggam hujan yang kelak memberikan kesegarannya kepada seluruh umat manusia. Lelaki itu adalah manusia yang lahir di tengah bangsa yang jahiliyah. Ia membawa hujan dan pencerahan sebagai jalan terang bagi siapapun untuk meniti kehidupan dunia dan akhirat. Ia menampilkan kebajikan dan ahlak, dan menjadikan dirinya sebagai prasasti hidup atas kebijaksanaan dan prototipe ideal serang Muslim yang menjadi rahmat bagi semesta. Sementara penganut Buddha juga menujum lahirnya sosok Maitreya yang membawa pencerahan di tengah masyarakat jahiliyah.

buku pertama
Sayang sekali, saya belum membaca novel kedua ini. Saya menunggu momentum yang tepat untuk mengungkapkan kerinduan tentangnya. Hingga kini, saya masih terpesona dengan penuturan salah satu intelektual Muslim asal Pakistan, Sir Muh Iqbal, dalam karyanya The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Kata Iqbal, “Tuhan dapat kau ingkari, namun Rasul tidak.” Anda bisa mengabaikan keberadaan Tuhan, namun tidak dengan Rasulullah. Iqbal hendak menegaskan bahwa Rasul adalah prasasti hidup yang telah membumikan semua pesan Allah di muka bumi. Rasul Muhammad adalah segi aktivitas Allah yang dapat dilihat. Muhammad adalah potensi ketuhanan yang mengaktual, seorang manusia sempurna, yang seumpama cahaya bersinar terang benderang dan memberi suluh bagi seluruh umatnya. Dalam syairnya, Iqbal mengatakan, ”Duhai Rasul Allah, dengan Allah aku berbicara melalui tabir-tabir, denganmu tidak. Dia yang tersembunyiku, dikau yang nyataku.”

Saya paham bahwa ribuan lembar buah tangan manusia modern, tetap saja akan teramat miskin untuk menggambarkan lelaki yang kasih sayangnya telah menginspirasi manusia bahkan ratusan tahun setelah ia berpulang ke pangkuan Ilahi. Benarkah ia berpulang? Maaf, saya tidak yakin. Saya selalu percaya bahwa dirinya tidak benar-benar berpulang. Jazad materialnya mungkin telah terurai. Tapi segala kisah dan kasih sayangnya ibarat pelita yang terus bersinar di kalbu mereka yang selalu membasahi lidahnya dengan menyebut nama Muhammad, lelaki penggenggam hujan.(*)

6 komentar:

Dwi Ananta mengatakan...

Ternyata ada kelanjutannya ._. pantesan dibuku pertama ada yang menggantung.

Anonim mengatakan...

sy juga sdh baca yg pertama; muhammad penggenggam hujan. endingnya bikin pnasaran, sy sempat bpikr2x kok critanya tak selesai. rupanya trilogi ya... Makasih infonya..

Anonim mengatakan...

ijin share mas...sy penggemar berayt novel ini..sy sekarang sdg membaca novel keduanya...diawali kisah kelahiran rasullullah saw..sungguh membuat hati ini kagum kepada beliau dan malu kepada diri sendiri...yg jelas tdk kalah seru dgn yg pertama...wassalam

uLaTbUKu.cOm mengatakan...

gimana mau mendapatkan novel2 iniya? aku di Malaysia tidak bisa mendapatkan novel2 seperti ini....sayang

Artineke A. Muhir mengatakan...

Saya malah belum punya buku pertamanya :)

Membaca buku kedua sungguh mebuat saya semakin mencintai Sang Pengeja Hujan :)

Yusran Darmawan mengatakan...

sayang sekali krn sampai sekarang, sy belum baca yang kedua.

Posting Komentar