Saat Mendengar Khutbah Jumat Berbahasa Bugis


BARU saja saya menunaikan salat Jumat di satu desa di Kabupaten Bone, Sulsel. Tak seperti di daerah lain, di sini ceramah Jumat disampaikan dalam bahasa Bugis. Saya hanya paham dua kata yang diucapkan yakni Allah Ta'ala dan Munammad. Di luar itu, saya blank. Saya serupa menyaksikan film berbahasa Inggris yang tidak ber-subtitle. Makanya, saya hanya bisa bengong saat mendengar khutbah tersebut.

Saya menganggap tradisi khutbah berbahasa lokal adalah tradisi yang sangat positif dalam konteks pelestarian kebudayaan. Melalui khutbah, bahasa lokal bisa dipertahankan, sekaligus membuat pesan lebih mudah tersampaikan. Bagi masyarakat Bugis yang setiap harinya berbahasa Bugis, penyampaian pesan dalam bahasa steempat justru lebih mudah diterima. Pesan agama jadi lebih membumi sebab mengalami asimilasi dengan kebudayaan setempat, namun maknanya yang universal bisa tetap terjaga.

Apakah orang Bugis primordial? Saya kira tidak. Orang Bugis punya orientasi mengenalkan kebudayaannya pada level yang lebih tinggi, akan tetapi mereka tetap menjaga kebudayaan itu di manapun konteks mereka berada. Mereka tersebar ke mana-mana, berdiaspora hingga negeri-negeri yang jauh, namun tetap memelihara warisan kebudayaannya. Mereka universalis tapi primordialis pada saat bersamaan.

Mungkin pernyataan ini agak aneh. Tapi, khutbah berbahasa bugis juga menunjukkan dialog yang sangat kental antara primordialitas dan universalitas. Pesan spiritual di situ adalah sesuatu yang universal, namun konteks penyampaian pesan adalah hal yang primordialitas. Bukankah ini suatu sinergi yang sangat menakjubkan?


2 komentar:

Anonim mengatakan...

Eee...istrinya orang bugis ya?

ningsyafitri mengatakan...

coba ya kalau di Buton juga diterapkan sebagian mesjid...
Pasti bagus...
:)

Posting Komentar