Ghost Writer: Kisah Para Penulis Pesanan


DEMI mencari tambahan penghasilan, saya diajak teman untuk menjadi seorang Ghost Writer (GW) alias penulis hantu atau penulis bayangan. Tentu maksudnya bukanlah menjadi hantu yang menulis sesuatu. Maksudnya adalah menjadi seorang penulis yang tidak disebutkan namanya, melainkan memakai nama orang lain. Di luar negeri, GW adalah hal yang kerap terjadi. Kita bisa menemukan itu dalam film Ghost Writer yang diperankan Pierce Brosnan.

Bahkan para peneliti hebatpun juga sering menjadikan para asistennya sebagai penulis bayangan. Seorang kawan menjelaskan bahwa antropolog kondang seperti Marvin Harris sering meminta asistennya untuk menuliskan pemikirannya. Ia tinggal mendiktekan sesuatu, dan asistennya inilah yang akan menerjemahkan gagasan abstrak tersebut ke dalam kalimat yang terukur sebagaimana lazimnya sebuah karya ilmiah. Di luar negeri ini, praktik ini adalah hal yang dianggap beradab. Sebab sang asisten tak lebih sebagai "tukang pemindah kata" yang tugasnya merekam pemikiran dan menuliskan gagasan.

Namun di Indonesia, GW sangat berbeda dengan apa yang ada di luar negeri. Di sini, GW adalah seseorang yang ditugasi menulis sesuatu, sebagus mungkin, demi meningkatkan citra seseorang. Bahasa kasarnya, GW adalah penulis pesanan yang bekerja dengan imbalan serta targetnya adalah meningkatkan pencitraan. Pantas saja jika di negeri ini, banyak politisi yang tiba-tiba menjadi penulis buku. Aneh saja melihat tokoh sekelas Taufiq Kiemas yang untuk ngomong saja sering salah, tiba-tiba saja menulis buku hebat tentang nasionalisme dan demokrasi.

Pertanyaannya mengapa jumlah GW kian menjamur? Jawabannya karena di negeri ini, seorang penulis belum bisa hidup secara profesional dari apa yang dituliskannya. Inilah sebab mengapa untuk menulis sesuatu, ia mesti memakai nama orang lain. Seorang penulis di negeri ini adalah penyusun aksara sekaligus penjaja gagasan. Ia akan menjual keahliannya demi menulis sesuatu bagi orang lain. Dan ia hidup lewat gagasan kretif yang dijualnya atas nama orang lain. Memang ironis sebab di negeri ini, tidak semua penulis bisa menampilkan namanya. 

Faktor lain yang juga mempengaruhi adalah karena di negeri ini, menulis masih dianggap sebagai sesuatu yang sukar dilakukan. memang, kita mendapatkan pelajaran mengarang di sekolah dasar hingga perguruan tinggi, namun pelajaran itu tidak membuat kita menjadi seseorang yang pandai mengarang. Memang, di perguruan tinggi ada kewajiban untuk menulis skripsi bagi jenjang S1, dan tesis bagi mahasiswa di jenjang S2. Tapi tetap saja tidak membuat para calon intelektual itu pandai menulis.  Malah, faktanya justru banyak yang copy-paste atau plagiat sana-sini. Bagi yang lama di Jakarta, tentu saja tahu di mana saja bisa mendapatkan jaringan untuk mengerjakan tesis atau skripsi plagiat. Yah, negeri ini sudah lama menjadi negeri yang calon intelektualnya adalah plagiat.

Faktor lain yang juga patut diperhatikan adalah faktor penerbit dan jaringan distribusi. Kedua unsur ini bisa berperan sebagai malaikat maut bagi seorang penulis. terkadang, sebuah naskah yang hebat bisa terancam tidak dicetak ketika penerbit tidak tertarik. JK Rowling, penulis Harry Potter, harus mendatangi delapan penerbit untuk bersedia menerbitkan Harry Potter, sebuah buku yang kemudian dicatat sejarah sebagai buku terlaris di dunia. Di negeri ini, kondisinya jauh lebih parah. Penerbit kadang bersikap seenaknya menolak naskah, tanpa mempelajari naskah itu secara baik. Ia sering hanya membuka ruang bagi penulis yang sudah punya nama. Sementara penulis pemula harus mengais-ngais rezeki. Syukur-syukur bisa seberuntung Rowling.

Selanjutnya adalah faktor jaringan distribusi. Tahukah Anda, matinya industri buku di negeri ini justru disumbang oleh para agen distributor. HBetapa tidak, toko buku sekelas Gramedia mengambil keuntungan hingga 40 persen dari harga jual. Bukankah jumlah ini amat keterlaluan sebab membuat harga buku melambung dan keuntungan terbesar diambil toko buku. bagaimana keuntungan buat penerbit dan penulis? malah penulis hanya mendapat 10 persen dari karya yang disiapkannya selama berbulan-bulan. 

Yup, tulisan ini hanya sebuah pemetaan sederhana. Jika kondisi perbukuan kita tidak segera dibenahi, maka jumlah Ghost Writer akan terus menjamur.(*)


Jakarta, 13 Februari 2010

5 komentar:

Meike Lusye Karolus mengatakan...

setujuuuu kak....

padahal saya juga mau bikin buku...hiksss

btw, nama kakak disebut-sebut loh saat sy ikut diklat jurnalistik wakili Baruga di ekonomi...

Yusran Darmawan mengatakan...

thanks meike yaaa

mila mengatakan...

sudah deal proyeknya ya? kata orang, jabang bayi itu membawa rejekinya masing-masing...

shadow mengatakan...

pekerjaan yang menyangkut kreativitas masih menjadi hal yang tabu di negri ini...ironis sekali..hehe

dhaharlemper mengatakan...

Saya mau jadi ghostwriter...

Posting Komentar