Mengapa PNS Wajib Ikut Prajabatan?




SEBUT saja namanya La Mane. Ia bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan tiga yang ditempatkan sebagai guru di satu sudut Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara (Sultra). Selama dua minggu lalu, La Mane sibuk menjalani satu ritual wajib bagi seorang PNS sepertinya yakni Diklat Prajabatan.

Sebelum diklat, ia mencukur rambut bak tentara dan menyiapkan perlengkapan. Ke manakah? La Mane hendak memasuki karantina selama dua minggu di Wisma badan Diklat di Puwatu, Kendari.

Seluruh PNS wajib mengikuti diklat sebagaimana yang diikuti La Mane. Jika tidak mengikuti diklat prajabatan, maka status sebagai CPNS bisa gugur. Diklat ini sifatnya wajib dan tidak bisa ditawar-tawar. Mane tak punya banyak pilihan.

Ia mesti ikhlas menjalani karantina selama dua minggu, mengikuti materi dari awal hingga akhir, serta menjalani kegiatan perpoloncoan ala mahasiswa baru. Perpoloncoan? Yup. Dalam dunia PNS, ia sering ditakut-takuti dengan ancaman tidak lulus prajab. Jika itu terjadi, SK gaji 100 persen tidak akan keluar, malah statusnya bisa digugurkan. Terpaksa, Mane menjalani hidup bak seorang pesakitan.

Dua kali dalam sehari ia menjalani apel. Ia mesti mengikuti upacara dan latihan baris-berbaris hingga kulitnya selegam pantat kuali. Jam makan ditentukan. Itupun saat mengambil makan, semuanya harus berbaris rapi ala militer dan makan setelah dipersilakan oleh para instruktur.

Hari-harinya adalah mengikuti materi, meskipun dengan kepala berat dan sesekali tertidur di ruangan. Inilah rutinitas wajib yang konon katanya akan menggembleng para PNS agar menjadi lebih professional dan bertanggungjawab.

Sebagai sahabatnya, saya termenung saat mendengar kisahnya yang runtut. Mengapa pula harus ada Diklat Prajabatan? Yakinkah pemerintah jika diklat ini bisa menjadi kawah candradimuka yang tepat untuk menggojlok para PNS menjadi abdi negara dan abdi masyarakat?

Bagi saya, terobosan pada bidang pelatihan sangatlah besar. Namun anehnya, model Diklat Prajabatan sejak dahulu tak pernah berubah. Masih semi militer, disiplin yang dipaksakan dari atas. Serta peserta yang diperlakukan sebagai objek, tanpa sedikitpun otoritas untuk mempertanyakan apakah makna atau substansi dari suatu kebijakan.

“Kata bosku, ini masih jauh lebih baik. Dulu, di zaman Orde Baru, Diklat Prajab dilakukan di barak-barak militer. Para PNS wajib menjalanik disiplin ala militer dan dipantau setiap saat. Mereka juga harus melalui latihan perang-perangan. Kalau sekarang sih, kita cuma dilatih sama Pamong Praja,” katanya.

Tapi tetap saja saya merasa ada sesuatu yang janggal dari penuturan tersebut. Saya sendiri pernah menjalani prajabatan dengan ritual yang tak jauh berbeda. Sehingga saya bisa mencatat beberapa fenomena dalam Diklat Prajabatan bagi PNS.

Pertama, model pelatihan masih menempatkan peserta sebagai obyek. Para PNS baru masih dilihat seperti botol kosong yang wajib diisi dengan materi. Mereka tak punya suara. Bahkan untuk menyampaikan gagasanpun, mereka tidak sebebas sebagaimana di luaran sana.

Mungkin inilah yang disebut kultur birokrasi di mana anda mesti manut atau patuh-patuh saja pada petunjuk seorang pimpinan, tanpa kreativitas untuk melakukan hal lain. Ini juga diperparah dengan banyaknya para widyaiswara yang tidak memahami materi yang hendak dibawakannya. Banyak yang tidak memahami apa yang hendak dibawakannya. Jangan heran kalau materi itu jadi amat membosankan. Tanpa pengayaan. Bosen!

Mestinya, dalam pelatihan seperti ini, semua peserta memiliki hak yang sama untuk menyampaikan sesuatu. Bahkan, model yang sifatnya doktriner harus ditinggalkan. Peserta mesti diperkenalkan dnegan model doktrin yang sifatnya dari bawah (bottom up). Peserta diajak membangun kesepakatan-kesepakatan sehingga mereka bisa belajar konsekuen dengan kesepakatan tersebut. Mereka mesti belajar bertanggungjawab dengan apa yang sudah disepakati.

Kedua, materi yang diajarkan kepada siswa adalah materi yang mengingatkan pada pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) sewaktu bersekolah di tingkat SD dan SMP. Perilaku hanya dimaknai sebagai kategori baik buruk yang terlalu mudah dipetakan. Padahal dunia sosial memiliki tabiat yang berbeda-beda sehingga mempengaruhi watak seseorang.

Ia belajar materi seperti Manajemen Kepegawaian Negara, Pelayanan Prima, Sistem Penyelenggaraan Negara, Wawasan Kebangsaan. Materi itu diperkenalkan dnegan pendekatan yang seolah-olah jatuh dari langit. Semuanya demikian ideal-normatif, sementara para PNS ini sudah tahu bahwa realitas sosial tidaklah sesederhana apa yang diajarkan. Banyak materi yang sudah ketinggalan zaman. Sudah tidak lagi menjadi kebutuhan berharga untuk memasuki dunia birokrasi.

Idealnya, para peserta atau siswa prajab diajak berdiskusi untuk mengangkat semua fenomena yang ada di sekitarnya. Mereka diajak berempati sehingga bisa mengambil bagian dari upaya penyelesaian masalah pada level yang terkecil. Bukannya mendoktrin mereka agar anti-korupsi, namun dalam praktiknya justru korupsi menjadi sesuatu yang mudah disaksikan.

Ketiga, model pelatihan yang padat dan tanpa istirahat seyogyanya ditinjau ulang. Bayangkan, soerang siswa wajib bangun subuh hari, kemudian olahraga bersama. Setelah itu makan pagi, dan lanjut materi. Dalam keadaan ngantuk dan lelah, peserta wajib mengikuti materi sampai malam.

Pertanyaannya, ngapain memaksakan pelatihan berjalan padat, sementara para siswanya dalam keadaan ngantuk dan pura-pura tidur? Mengapa tidak merancang Diklat Prajab itu seperti pelatihan motivasi sehingga para siswa memiliki kemampuan dan motivasi yang tinggi untuk memecahkan semua masalah yang dihadapinya?

Mungkin inilah dinamika sebuah Diklat Prajab. La Mane tak berdaya, selain mengikuti petunjuk dan instruksi dari para pengajar. Setidaknya, dengan berkeluh kesah, ia mengajukan catatan kritis bahwa sudah saatnya pendekatan, materi, dan kompetensi seorang widyaiswara harus terus ditingkatkan demi mendapatkan standar pelatihan yang baik.

Dengan demikian, kualitas dari peserta prajab itu bisa lebih mumpuni dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Bukankah demikian?

2 komentar:

G mengatakan...

ada temanku juga yang nanti ikut prajabatan. bagaimana tong seng ceritanya? semoga temanku itu ingin membagi cerita prajabatannya, tak hanya pengalaman la mane. semoga temanku yang mungkin nanti ikut prajabatan berkenan.

Rudolf mengatakan...

yang aku ingat dari diklat adalah kepala botak, ini yg paling menyebalkan...sisanya ak ndak ingat soalnya waktu itu aku deman dan cm ikut pas bagian di kelas sj yg jg lupa apa sj yg diajarkan :-)

Posting Komentar