SETENGAH jam yang lalu, saya singgah jalan-jalan ke Pantai Kamali, Bau-Bau. Saya menyaksikan kerumuman orang. Saya mendengar bunyi-bunyian berupa gamelan dan gong. Mungkin ada atraksi barongsay. Setelah saya mendekat, ternyata bukan. Orang-orang sedang berkerumun menyaksikan atraksi topeng monyet. Saya pun ikut menyaksikan.
Bagi warga kota Bau-Bau ini, atraksi topeng monyet adalah hal yang sangat baru. Berbeda dengan mayarakat Jakarta yang sudah bosan menyaksikan atraksi ini. Di Jakarta, tontonan topeng monyet adalah tontonan yang mulai membosankan. Atraksi ini dipentaskan secara keliling, bahkan di dalam kereta api Jakarta-Bogor, bisa pula disaksikan. Malah, keberadaan para pemain topeng monyet, sudah seperti pengemis yang datang dengan monyet, kemudian meminta uang.
Tapi di Bau-Bau, topeng monyet menjadi tontonan baru yang menyenangkan. Kota kecil ini memang masih sepi dengan hiburan. Monyet masih dilihat sebagai binatang liar. Dan betapa terkejutnya orang-orang melihat monyet yang bisa beratraksi seperti pemain acrobat. Semua orang tersenyum-senyum menyaksikan tingkah sang monyet yang mengendarai motor kecil yang terbuat dari kayu. Lalu, monyet itu merias diri, hingga memakai beragam topeng. Semua orang bertepuk tangan menyaksikan keajaiban yang diperlihatkan sang monyet.
Tapi, saya justru sedih menyaksikan atraksi itu. Saya membayangkan bagaimana perasaan sang monyet. Mestinya, monyet itu tinggal di habitat aslinya dan bersenang-senang dengan kawanannya. Dalam atraksi itu, leher monyet dirantai, dan diseret-seret sebagaimana layaknya piaraan. Ketika sang monyet mengendarai motor kayu, rantai di lehernya akan disentakkan sehingga berlari kencang. Setelah beberapa meter –sesuai panjang rantai—monyet itu akan terjengkang dan jatuh. Kasihan, monyet itu sampai meringis dan memegang rantai di lehernya. Andaikan ia bisa berbicara, mungkin ia sudah lama meraung-raung.
Saya geram luar biasa kepada pemilik atraksi topeng monyet ini. Saya memandang pria itu dengan kesal. Apakah ia tidak berpikir kalau apa yang sedang dilakukannya itu adalah bentuk penyiksaan kepada satu mahluk hidup? Apakah ia tidak punya rasa iba kepada monyet kecil itu hingga menyeret-nyeret dengan rantai? Ini adalah bentuk eksploitasi terhadap binatang. Ini adalah tindakan yang tidak memperdulikan harkat dan martabat seekor monyet sehingga terus menyiksanya setiap saat.
Sejuta protes saya gumamkan. Tapi saat saya memandang pemilik monyet itu, ada rasa iba yang menggelayut. Sang majikan monyet itu juga memakai pakaian yang lusuh dan kotor. Ia hanya mencari sesuap nasi demi melanjutkan kehidupan. Receh demi receh yang dikumpulkan melalui atraksi sang monyet, tidaklah seberapa besar di banding perjuangannya berjalan kaki setiap hari dan beratraksi. Mungkin, selesai atraksi, ia memperlakukan sang monyet seperti majikan yang menyelamatkan hidupnya. Monyet itu adalah bukan sekedar property, namun sosok pahlawan kehidupan yang membantu pria itu mencari nafkah.
Pernah saya baca di Kompas tentang kehidupan seorang pemaion topeng monyet. Mereka memperlakukan monyetnya dengan baik. Ketika sang monyet stress atau tertekan, maka ia bisa mogok dan menolak perintah. Mereka member makanan yang terbaik agar sang monyet siap sedia dan membantunya mencari nafkah.
Ia memang mengeksploitasi monyet itu saat atraksi. Namun, ia sedang berusaha survive dalam kehidupan. Bersama monyet itu, ia berkelana ke banyak tempat demi mengumpulkan receh. Bersama monyet itu, mereka menjadi satu kesatuan yang saling bahu-membahu untuk menaklukan kerasnya kehidupan. Mereka adalah pejuang kehidupan yang mengumpulkan uang dengan halal. Mereka hanyalah orang kecil yang tidak punya mimpi besar, namun memiliki langkah-langkah kecil untuk menata hidup, dan berupaya bertahan di tengah gempuran hedonisme yang menggerus. Mereka adalah para pahlawan kehidupan.
Tapi, saya tetap saja sedih melihat monyet yang dirantai dan disuruh-suruh.
0 komentar:
Posting Komentar