Kungfu Cina Versus Tinju Eropa

DI atas meja bundar yang berdiameter satu setengah meter itu, Ip Man berdiri kokoh sambil mengedarkan pandang ke sekeliling. Di ruangan kecil itu, ia menyaksikan para master dunia kungfu dan beladiri tradisional Hongkong tengah menatapnya dengan tanpa berkedip. Ia lalu memberi penghormatan. Kedua tangannya ditangkupkan di depan dada. Pada saat bersamaan, sebuah dupa lalu dibakar. Dan dimulailah duel yang sesungguhnya.

Seorang guru kungfu lalu mencelat naik ke atas meja kecil itu. Keduanya saling memberi penghormatan, lalu mulai mengatur jurus. Keduanya saling intip, kemudian saling serang dengan berbagai jurus. Meja kecil itu menjadi saksi atas siapa yang digdaya. Saya tiba-tiba teringat kisah dua lelaki Bugis yang saling tikam dengan badik terhunus dalam satu sarung. Mundur bukanlah kata yang tepat dalam kamus seorang lelaki. Sekali anda masuk arena, maka siap-siaplah dnegan darah yang menetes-netes.

Tapi, Ip Man dan lawannya tak hendak saling bunuh. Keduanya berjumpalitan dan saling serang demi menemukan siapa yang terbaik di antara mereka. Bukannya siapa yang paling perkasa, namun siapa yang paling menghayati keindahan gerak kungfu dan mematrikannya dalam sikap dan karakter.

“Dupa adalah symbol kerendahhatian kami orang Cina,” kata Ip Man. Dupa itu menjadi semacam pertanda bahwa pertarungan di arena laga bukanlah untuk mencari siapa yang paling sakti. Bukan pula mencari siapa yang layak menjadi pesilat terbaik. Dupa adalah petunjuk waktu yang wajib ditaati bahwa sedahsyat apapun sebuah pertarungan, tetap saja harus berakhir pada waktunya. Ini bukan soal menang kalah, namun soal mencari kesempurnaan dalam setiap pertarungan, mengenali jurus, bertukar pengetahuan, dan sama-sama saling mengasah kemampuan masing-masing. Inilah yang saya temukan dalam film Ip Man 2.

Film yang saya tonton kemarin adalah salah satu film yang terbaik dalam hal adegan laga. Aktor Donnie Yen sungguh tepat memerankan si jago kungfu legendaris, pendiri aliran Wing Chun, bernama Yip Man, yang kesohor di Cina pada tahun 1940-an. Sejak film IP Man di rilis, saya sudah menikmati setiap kelihaian dan gerak yang dipancarkan Donnie Yen. Saya yakin sungguh tidak mudah memerankan kisah seorang legenda kungfu semacam Ip Man. Tapi bagi Donnie Yen semuanya menjadi begitu mudah. Sebab seperti halnya Ip Man, Donnie adalah tipikal actor yang juga menjadikan kungfu sebagai udara yang mengaliri segenap napas dan menelusuri semua nadi dan pembuluh darah.



Kisah dalam film ini bersetting tahun 1949. Setelah dalam film pertama Ip Man diceritakan lolos dari hukuman serdadu Jepang di Fu Shan, Ip Man menuju ke Hongkong. Di sini, Ip Man mendirikan perguruan Kungfu bernama Wing Chun. Dalam usahanya ini, Ip Man diharuskan berhadapan dengan Hung Jan-nam (Sammo Hung) yang merupakan jago kungfu dan orang ternama di Hongkong saat itu. Perseteruan semakin sengit ketika Inggris yang menguasai Hongkong saat itu ikut memperkeruh suasana. Duel Ip Man dan Hung tak dapat terelakkan, meski pada akhirnya mereka bersatu untuk melawan pendudukan Inggris.

Salah satu adegan yang saya sukai dalam film ini adalah ketika Ip Man harus ditantang semua guru kungfu. Ini adalah bagian dari ritual bagi seorang guru yang hendak membuka perguruan. Ia harus rendah hati dan mempersilakan yang lain untuk menguji sejauh mana kecakapannya di dunia bela diri. Dan adegan pertarungan yang serba cepat –sembari memperhatikan dupa—adalah salah satu adegan terbaik dalam film yang sukar dilepaskan dalam benak.

Penata kelahi Sammo Hung menyuguhkan orkestra duel yang tertata apik. Perkelahian antara dua tokoh ditata dengan indah sebagaimana dua penari balet memperlihatkan kelenturan tubuhnya, kadang meliuk, berkelit hingga melompat tinggi seakan nyaris terbang dan jatuh mendarat di atas kelopak bunga lotus. Diiringi musik yang berdentam, kita seakan tidak menyaksikan duel yang mempertaruhkan nyawa, kita serasa menyaksikan opera klasik yang penuh dengan aksi akrobatik dan kelenturan dan daya tahan tubuh yang luar biasa.

Saya menyenangi pertarungan Ip Man dengan Hung. Secara fisik, sosok Sammo Hung kurang ideal sebagai seorang petarung. Namun soal kegesitan, ia masih tetap di atas rata-rata. Ia tetaplah Sammo hung yang gemuk, namun amat lincah dalam pertarungan. Adegan perkelahian di atas meja kecil itu seakan menjadi ajang pentahbisan kemampuan Sammo Hung memerankan adegan laga, setelah beberapa tahun lalu ia banyak terlibat dalam film yang dibintangi Jackie Chan.

Film IP Man 2 yang saya tonton kemarin seakan menegaskan bahwa kesempurnaan bela diri seperti kungfu bukanlah terletak pada sikap saling mengalahkan. Di balik setiap kelebatan gerak dan kelincahan mengincar titik-titik kelemahan lawan itu, terselip sebuah filsafat bahwa manusia tidak patut sesumbar setinggi langit. Manusia harus merendahkan dirinya seperti dasar lautan dan mengakui kalau ada manusia lain yang melebihi dirinya. Ia harus berjiwa besar mengakui kalau-kalau ada energy lain yang lebih dahsyat pada diri orang lain, ketimbang dirinya.

Barangkali, inilah intisari kungfu. Dalam tuturan Jackie Chan, kungfu adalah sesuatu yang tak berbentuk, namun hidup. Sebuah energi yang mendesak keluar dari tubuh kemudian mengaum lepas ketika disalurkan dalam pukulan atau gerak tubuh. Seorang pelukis juga pemain kungfu sebab melepaskan energinya pada kanvas. Bahkan penyair sekalipun adalah pemain kungfu sebab menjelmakan kata menjadi gemuruh yang menggelegar dan menyentak kesadaran kita. Kungfu adalah seni yang lahir dari proses mengolah dan “memasak” energi dalam tubuh manusia. Pandangan ini jelas berasal dari ajaran Buddha dan Tao yang sangat kuat menekankan pada peran manusia dalam upaya menggapai kesempurnaan. Suatu cahaya pencerahan yang kemudian menjadi pemandu atas nilai dan dan ziarah melayari dunia.

Barangkali, filosofi kungfu tidak terletak pada sejauh mana pelepasan energy dalam pertarungan, melainkan bagaimana mengendalikan semua aliran energy itu dalam diri, dan hanya dilepaskan pada momentum tertentu. Bukan soal memukul dengan sekeras-kerasnya, namun bagaimana mengendalikan energy dalam pukulan itu secara tepat. Ip Man adalah jagoan yang luar biasa dalam hal pengendalian. Ias memukul keras dan kapan harus memukul seperlunya. Kecepatan dan kelincahan tangannya adalah energy yang bisa dikendalikan sampai batas-batas tertentu.

Nasionalisme Cina

Selain dari filosofi sebuah pertarungan, film ini juga hendak mengisahkan nasionalisme bangsa Cina. Ip Man dan Hung, yang mulanya hendak saling mengalahkan, tiba-tiba saling bahu-membahu demi mengalahkan petinju Inggris yang sesumbar. Katanya, kungfu adalah beladiri picisan yang tidak layak dibandingkan tinju ala Eropa yang dikuasainya. Demi mempertahankan harga diri sebagai penggiat seni beladiri Cina, Hung terbunuh di atas ring, sesuatu yang kemudian memaksa Ip Man untuk ikut menantang sang juara tinju demi menentukan siapa pemilik supremasi sesungguhnya di atas arena. Ini jelas sebuah tema tentang nasionalisme Cina. Jika dalam Ip Man 1, nasionalisme itu nampak ketika berhadapan dengan gaya karate Jepang, maka dalam Ip Man 2, nasionalisme itu mencuat saat berhadapan dengan tinju ala Eropa.

Saya melihat nasionalisme ini sebagai sikap yang positif. Melalui tema-tema nasionalisme itu, bangsa Cina hendak menyatakan dirinya yang berbeda dengan barat dan Jepang. Mereka membangkitkan semangat kecintaan kepada tanah air, yang kemudian diejawantahkan dalam sebuah etos untuk melakukan sesuatu secara lebih baik. Mereka membangkitkan hasrat bangsa untuk unggul di atas bangsa yang lain. Dan melalui film seperti Ip man 2 ini, kita bisa merasakan gelora semangat bangsa Cina untuk menggapai asa sebagai yang terbaik itu. Mungkin, ini pulalah intisari kungfu yakni membela kehormatan bangsa serta menjadi yang terbaik dengan penuh kerendahhatian.(*)

0 komentar:

Posting Komentar