Kasihan Satpol Pamong Praja!!

KASIHAN para anggota Satpol Pamong Praja (PP). Mereka hanya warga biasa yang juga hidup dalam kemiskinan. Mereka hanya orang-orang kecil yang juga tak berdaya. Tapi mereka didoktrin sebagai prajurit yang setiap saat harus siaga di medan laga. Mereka harus siap menjalankan perintah apapun, bahkan menyerang tetangganya sendiri. Mereka dididik ala militer dan didoktrin untuk melihat warga kecil sebagai musuh yang harus dilenyapkan. Mereka diajari untuk menggusur, menyiksa, dan memukuli sesamanya.

seorang anggota satpol PP saat rusuh Priok (foto: kompas.com)

Di Priok, anggota Satpol PP itu menjadi bidak catur yang diperhadap-hadapkan dengan warga. Hingga tulisan ini dibuat, sudah dua anggota PP yang tewas akibat bentrok. Saya sedih membayangkan bagaimana anggota keluarganya menghadapi hari-hari yang berat setelah sang bapak –yang anggota PP itu- berpulang. Para anggota PP itu bukanlah para jenderal yang hidup bergelimang harta. Mereka hanya warga biasa yang setiap saat harus rela antri minyak tanah, setiap saat harus mengetatkan ikat pinggang karena tidak makan. Ketika dua orang anggota PP tewas, maka dua keluarga telah kehilangan penopang ekonominya. Inilah ironi menjadi warga kecil.

Di Priok, mereka harus menjadi perpanjangan tangan dari seorang bos besar yang memberi kata perintah untuk menggusur makam Mbah Priok. Mereka menjadi kaki tangan untuk mengamankan sebuah permintaan seorang bos, tanpa ada kesempatan untuk menolak. Saya yakin, banyak di antara anggota PP itu yang enggan menggusur. Namun, apalah daya ketika sebuah titah telah dijatuhkan, maka mereka harus siap menyabung nyawa untuk mewujudkan titah tersebut. Mereka menjadi prajurit bodoh yang siap menyapu semua ranjau, bahkan mempertaruhkan nyawanya sendiri.

Kemarin, Priok membara. Saya menyaksikan melalui tayangan televisi tentang konflik yang memecah antara warga biasa dengan anggota PP. Saya sedih menyaksikan anak bangsa diadudomba atas perintah seorang bos besar. Saya sedih melihat sesama warga sendiri diperlakukan bagai ayam aduan di satu medan laga. Sementara para pengambil kebijakan justru hanya memberi perintah, menyaksikan lewat televisi. Dan ketika bentrok itu kian memanas, para bos besar itu datang bagai pahlawan kesiangan, menghimbau agar konflik dihentikan, menegakkan aturan dan hokum. Padahal, merekalah yang memantik semua kejadian ini.

Konflik Priok menjadi alarm yang mengajarkan kita banyak hal. Pertama, konflik sesama warga ibarat bara api yang mudah dipantik dengan cara menjadikan para anggota PP sebagai barisan terdepan. Meskipun para anggota PP adalah warga biasa, namun mereka dididik bak militer yang setiap saat harus mematuhi perintah ke medan laga. Mereka adalah sipil yang berwatak militer. Atas nama ketertiban, mereka dengan mudahnya diperintahkan untuk menghardik warga, meskipun para anggota satpol PP itu adalah bagian dari warga biasa yang juga sama susahnya. Anggota Satpol PP didoktrin sebagai bagian dari perangkat pemerintahan daerah. Mereka direkrut dari para pemuda pengangguran demi mengamankan kebijakan-kebijakan pemerintah daerah. Masyarakat mengenal PP hanya sebagai penggusur yang katanya menegakkan ketertiban. Padahal, fungsi PP sesungguhnya adalah memelihara keamanan dan ketertiban serta menegakkan peraturan daerah (Perda). Satpol berkedudukan di provinsi, maupun kabupaten/ kota. Konflik di Priok menunjukkan bahwa anggota PP paling empuk menjadi sasaran yang berhadapan dengan warga dan memicu konflik.

Kedua, Tanjung Priok menjadi arena yang memperlihatkan kita wajah penguasa yang sesungguhnya. Para penguasa adalah mereka yang bersembunyi lalu memberi perintah agar warga memukuli sesamanya. Ketika konflik memanas, mereka lalu datang sebagai pahlawan yang membawa kesejukan. Para penguasa kita bukanlah sosok yang genteleman mengakui semua kesalahan, mengakui semua perintah dan kebijakan yang keliru. Penguasa kita hanyalah sosok yang melemparkan kesalahan pada para warga kecil, dan dengan entengnya menyebut para anggota PP itu bodoh, lalu bertingkah seolah pahlawan yang menegakkan aturan, menghukum yang salah.

Namun, bisakah kita dengan seenaknya mengkambinghitamkan para anggota PP itu? Jika anggota PP itu hanya kaki tangan saja, tentulah ada otak yang harus dimintai pertanggungjawaban atas nyawa yang melayang tersebut. Bukankah harus ada sosok jantan yang mengakui semua kesalahan dan tidak dengan seenaknya menyalahkan para kaki tangannya. Mungkin inilah ironi bangsa ini. Entah kenapa, kita mudah menyalahkan mereka yang hanya kaki tangan. Sementara banyak di antara kita yang mengipas-ngipas dan menjadi pahlawan.(*)

2 komentar:

darmawati alimuddin mengatakan...

wihhh..kak yus merindingka baca ini tulisanta'..masalahnya adikku yang perempuan baru saja daftar sebagai anggota pamong praja... :(

Anonim mengatakan...

KASIAN JUGA RAKYAT KECIL DAN JELATA... YANG BELUM KERJA...
... JANGAN KASIAN DONG ITU KAN TUGAS...
KALAU KASIAN KASIH DUWIT DONG...

Posting Komentar