Pesta Seks di Tahun Baru





MUNGKIN kebanyakan dari kita selalu membutuhkan momentum tertentu untuk berhura-hura. Mungkin karena itu pula Tahun Baru tiba-tiba jadi amat penting. Sebuah malam yang sebenarnya sama saja dengan malam-malam lain, tiba-tiba menjadi begitu spesial. 

Banyak orang --mungkin termasuk anda-- yang menyambutnya dengan gegap gempita. Merayakannya di satu hotel berbintang, ada pesta meriah, ada kembang api, bunyi terompet, serta paket nginap di kamar mewah sembari ditemani seorang gadis manis bertelanjang bulat dan siap ditiduri.

Ini bukan isapan jempol. Saya mengenal seorang kawan yang berprofesi sebagai pengusaha di Jakarta. Setiap malam Tahun Baru, ia akan memanfaatkan jatah menginap di satu hotel mewah di Jakarta. Perusahaannya sering menggelar kerjasama dengan sejumlah hotel berbintang, sehingga ia selalu menerima voucher nginap yang akan dimanfaatkannya setiap Tahun Baru. 

Pada malam itu, pihak hotel akan memberikan service kamar yang terbaik, serta memberikan "bonus" berupa gadis manis untuk menemani kawan tersebut. Dan kawan itu akan melewatkan pergantian tahun dalam keadaan telanjang. Spermanya berhamburan. Dalam keadaan setengah mabuk, ia masih sempat menelepon saya dan berbisik, "Gila Yus.... Saya dikasih cewek umur 17 tahun. Asyik banget..!! Happy New Year..."

Saya tak pernah iri dengan yang dialami teman tersebut. Apa yang dialami teman tersebut hanya puncak gunung es dari apa yang terjadi di kota seperti Jakarta. Mungkin, Jakarta sudah seperti kota Seoul di Korea Selatan, yang pada pergantian tahun, warganya selalu melewatinya di hotel berbintang sambil menyewa pelacur papan atas. 

Di beberapa kota besar dunia, Tahun Baru memang identik dengan pesta miras dan seks. Mungkin, atas alasan kemodernan itu, warga Jakarta ikut-ikutan latah merayakannya dengan cara demikian. Seolah itu adalah salah satu pertanda pergaulan global. Jika tidak mau pesta seks, akan keluar ucapan sinis ”Ah, kampungan kamu. Ndeso!”

Bagi saya sendiri, malam Tahun Baru tidak punya nilai istimewa sebagaimana malam-malam yang lain. Saya selalu melewatkannya dengan tidur pulas, seperti malam ini. Sayangnya, pada jam 12 malam ini, saya sontak terbangun karena bunyi petasan yang disulut anak-anak remaja di sekitar tempat kos. 

Sialnya, saya hanya bisa menggerutu diam-diam, tanpa melampiaskan kekesalan tersebut. Saya seolah tidur dalam sebuah kota yang tiba-tiba dijatuhi bom atom. Saya panik dan terbangun. Dua detik berikutnya, saya hanya bisa menggerutu saat menyadari situasi. Jangkrik!

Dalam keadaan kesal seperti ini, saya mulai tidak bisa tidur. Di sebelah rumah kos ini, para gadis masih belum tidur. Mereka masih cekikikan bersama para pemuda. Tampaknya, mereka baru saja ikut merayakan Tahun Baru sebab terlihat beberapa di antaranya masih mengenakan topi kerucut. 

Kembali saya gelisah dengan pertanyaan mengapa Tahun Baru tiba-tiba istimewa? Lama merenung, saya mulai menduga-duga. Mungkin, kebanyakan dari kita hanya butuh satu pemantik saja untuk bersenang-senang. 

Kita hanya butuh alasan sepele atas kebiasaan kita berkumpul bersama, atas hobi kita yang suka beramai-ramai dengan handai-taulan, tanpa harus mengetahui apa maknanya.

Saya kadang ragu dengan pembenaran itu. Kalaupun kita tetap ngotot merayakan Tahun Baru, mungkin sebaiknya dirayakan dengan senyap. Kita sendirian di satu tempat, sambil merenungi apa yang sudah dicapai, lalu kita lepaskan merpati pengharapan untuk setahun berikutnya. 

Kita menerbangkan harapan untuk sesuatu yang lebih baik ketimbang sebelumnya. Mungkin, pada titik ini Tahun Baru bisa menjadi medium yang reflektif dan membuat kita kembali menemukan mata hati kita. 

Tidak sekedar pesta seks setelah menenggak bir.


3 komentar:

Unknown mengatakan...

That's Good!!! Setuju..
Sekarang, Pergantian Tahun identik dgn "dunia Hitam" & udh jadi Tradisi...

Yusran Darmawan mengatakan...

u right..

Herman Degei mengatakan...

Setuju. Semua mulai bergeser. Esensial dari setiap momen semakin hilang.

Posting Komentar