PADA tahun 1980-an, saya dan (mungkin) anda pernah menjadi penggemar berat dari kisah-kisah silat karangan Asmaraman S Khoo Ping Hoo, yang ditulis dalam lembaran stensilan. Saat itu, saya hanyalah siswa sekolah dasar (SD) yang baru mulai lancar membaca. Namun kisah-kisah itu telah membius dan memesonakan saya tentang negeri-negeri yang jauh, tentang para pendekar yang hidup dengan laku moral tertentu.
Kisah yang ditulis Khoo Ping Hoo bukan cuma tentang pendekar dari negeri Tiongkok, namun juga tentang para pendekar dari Jawa, maupun tempat lain di Nusantara. Ia menulis tentang para pendekar yang tidak sekadar pandai bersilat atau berkelebat mengendarai angin, namun juga para pendekar yang berfilsafat dan berusaha memaknai hidup di sepanjang jejak perjalanannya. Dalam semua bukunya, selalu bisa ditemukan ceceran kearifan-kearifan atau hikmah para pendekar yang menceburkan diri dalam telaga persilatan, menemukan kesempurnaannya dalam perkelahian, berkelana dan mengadu ilmu kesaktian, hingga memilih menjadi warga biasa tatkala tiba pada satu titik perenungan: bahwa di atas langit, masih ada langit.
Sedemikian dahsyatnya kisah-kisah silat tersebut, hingga beberapa di antaranya masih tertoreh di ingatan masa kecil saya. Bagi saya, Khoo Ping Hoo adalah master cerita silat yang tak ada duanya. Karyanya bukan sekadar silat, namun tentang filsafat dari para petarung yang menemukan dunianya dalam pengembaraan dan perkelahian. Ia jarang menulis tentang para kaisar atau para bangsawan. Tokoh yang ditulisnya selalu warga biasa yang menempa diri dalam latihan keras, atau secara tak sengaja diwarisi kesaktian maha dahsyat lalu berkelana di negeri-negeri yang dilukiskan Khoo Ping Hoo dengan amat indah, seolah lukisan seseorang yang paham etnografi dengan baik.
Lebih dari itu, ia mewariskan satu genre bercerita yang kemudian banyak ditiru oleh para pengarang sesudahnya. Memang, era 1980-an adalah eranya kisah-kisah silat yang bertebaran di rak-rak toko buku, maupun di lapak penjual koran. Selain Kho Ping Hoo, hadir pula banyak kisah silat dari pengarang Cina yang beberapa di antaranya adalah To Liong To (Golok Naga dan Pedang Langit) hingga Sin Thiau Tay Hiap (Pendekar Pemanah Rajawali). Malah, beberapa kisah silat dari Jepang juga ikut meramaikan pustaka yakni karangan Eiji Yoshikawa yang berjudul Musashi dan Taiko.
Sementara di tanah air, beberapa beberapa orang mencoba mengikuti jejak Khoo Ping Hoo. Sebut saja, misalnya, Bastian Tito dengan kisah silatnya Wiro Sableng, yang dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Saya juga penggemar berat Wiro Sableng yang berkelana di seantero Jawa, hingga negeri-negeri lain seperti Cina dan Jepang. Malah, saya masih ingat di luar kepala beberapa episode penting Wiro Sableng. Mulai dari buku-buku awal yakni Empat Brewok dari Goa Sanggreng, kemudian Maut Bernyanyi di Padjajaran, hingga buku-buku yang terbit belakangan yakni petualangan Wiro Sableng di negeri Latanahsilam.
Sayangnya, sejak memasuki era 1990-an dan 2000-an, kisah-kisah silat seperti itu tiba-tiba lenyap tak berbekas. Saya jarang menemukan satu kisah silat sedahsyat yang ditulis oleh para pengarang pada tahun 1980-an. Sepanjang tahun 2000, imajinasi saya pun kian jauh dari hingar-bingar pertarungan, denting pedang beradu yang memercikkan bunga api, atau pukulan maut yang diawali dengan rapalan mantra tertentu dan tiba-tiba seberkas sinar memancar diiringi jerit kematian. Ingatan tentang cerita silat itu menjadi kenangan yang nyaris terkubur.
Nagabumi: Jurus Tanpa Bentuk
Minggu lalu, saya membeli novel tebal berjudul Nagabumi: Jurus Tanpa Bentuk yang ditulis Seno Gumira Adjidarma, terbitan Gramedia (2009). Saya memang menyenangi semua tulisan Seno dan selalu menggenapi koleksi karya Seno. Dulunya, saya menganggap Seno hanyalah spesialis tulisan sastra yang kadang-kadang saya pusing menemukan di mana letak keindahan tulisan tersebut. Tetapi belakangan ini, saya harus mengubah pandangan tersebut. Seno adalah penulis serba bisa, yang tidak cuma menulis sastra, tapi juga reportase jurnalistik tentang para wali atau penyebar Islam (padahal ia sendiri seorang Kristen), tulisan feature tentang komik atau kartun, atau jenis tulisan-tulisan yang ilmiah tapi tetap renyah tentang kartun Indonesia dan Malaysia.
Buku ini cukup tebal yaitu 815 halaman, dengan sampul hard cover. Kira-kira sama tebalnya dengan buku Musashi karya Yoshikawa. Baru membaca bagian belakangnya saja, saya sudah terpesona. Ternyata, Seno menulis tentang kisah Pendekar Tanpa Nama yang berkelana di banyak tempat di Nusantara. Sebagaimana dikatakannya di bahagian belakang buku, ia menulis cerita tempat orang-orang awam menghayati dunia persilatan sebagai dunia dongeng, tentang para pendekar yang telah menjadi terasing dari kehidupan sehari-hari karena tujuan hidupnya adalah menggapai wibawa naga.
Saya tercengang karena Seno seolah memadamkan rasa dahaga saya akan kisah-kisah silat sejenis. Selama dua hari, saya habiskan waktu untuk membaca novel tersebut sampai tuntas, sampai-sampai saya harus menunda waktu tidur. Isinya sungguh menarik. Saya bisa membayangkan dahsyatnya pertarungan yang sukar diikuti pandangan mata, pertarungan para pendekar yang berkelebat hingga nampak sebagai bayang-bayang. Mereka tidak sekedar adu kesaktian. Pertarungan hanya titik akhir dari satu dialog filosofis yang menunjukkan cara masing-masing pendekar memaknai dunia dan mengisi petualangannya dengan pemaknaan tersebut. Saya menemukan filsafat di balik setiap jurus dan sekelebatan tubuh yang mengincar titik kelemahan.
Selain filsafat di balik setiap pertarungan tersebut, saya menemukan beberapa kelebihan novel ini. Pertama, data-data yang disajikan dalam novel ini sedemikian rinci dan kaya. Ini pertama kalinya saya menemukan ada novel yang ditulis dalam bahasa Indonesia, yang lengkap dengan catatan kaki yang banyak, serta daftar pustaka. Setting Jawa pada abad ke-7 dan ke-8 sangat detail sehingga sosok pendekar di sini bukanlah sosok yang berada di ruang hampa sejarah. Dalam novel ini, tersaji banyak kutipan dari naskah-naskah kuno –yang digeluti para filolog--, kemudian data-data arkeologis dan sejarah baik menyangkut prasasti, candi sejarah pendirian candi, hingga kuasa yang mengendalikan Jawa maupun daerah lainnya di Nusantara. Pada bebeapa bagian, saya menemukan gaya novel ini seperti penulisan etnografi atau pelukisan yang mendalam atas satu kenyataan. Semua data baik arkeologi, antropologi, dan sejarah tersebut disajikan dalam kisah-kisah sehingga ketika membacanya kita tidak merasa terasing. Kita mengenal fakta-fakta itu dalam kisah, dalam setiap jengkal perjalanan sang pendekar. Inilah kelebihan novel ini. Dalam satu wawancara dengan media, Seno mengakui bahwa ia mengumpulkan semua bahan tersebut sejak tahun 1989 dan mulai dituliskan secara bersambung sejak tahun 2007. Ia mengoleksi semua disertasi, tesis, ataupun karya-karya ilmiah yang menggambarkan dinamika pada masa tersebut. Pantas saja, novel ini menjadi demikian kaya dengan data-data.
Kedua, nampak benar bahwa gaya penulisan sastra sangat kuat di novel ini. Ini wajar saja sebab penulisnya adalah seorang sastrawan. Namun, jangan lantas berpikir bahwa sastra itu wilayah yang memusingkan. Tidak sama sekali. Tulisan yang tersaji dalam ratusan lembar novel ini adalah tulisan yang mengalir deras bagai bendungan yang jebol. Gayanya realis dan di beberapa bagian, kita terhanyut sebab seolah merasakan pergolakan batin sang pendekar. Sepanjang membaca novel ini, saya berpikir bahwa dunia kependekaran atau dunia persilatan ibarat satu telaga di mana seseorang menceburkan diri. Sekali mencebur, maka sang pendekar tidak semudah itu menghilangkan jejak. Ia memasuki dunia baru yang di dalamnya ada intrik, kekerasan, dan situasi sewaktu-waktu di serang oleh yang lain. Tiba-tiba saja saya berempati pada sang tokoh, kemudian mempersonifikasikan diri saya sebagai sang pendekar tanpa tanding tersebut. Dan betapa tak mudahnya menjadi pendekar.
Ketiga, novel ini bisa menjadi bentuk lain penulisan sejarah. Satu hal yang membuat sejarah demikian memusingkan dan tidak menarik adalah kita berhadapan dengan fakta-fakta berupa kronologis yang kadang tidak menjelaskan apa-apa. Melalui novel, kita bisa paham kalau pada suatu masa pernah hidup manusia-manusia yang saling berdinamika sebagaimana manusia di masa kini. Ada kisah asmara, serta kisah bagaimana pergulatan di panggung politik. Sejarah adalah telaga yang menampung aneka kisah manusia, tidak Cuma kisah para bangsawan atau kaisar saja. Dan sejarah tak sempat mencatat kisah tentang manusia sakti yang memilih menjadi orang biasa, tanpa harus memilih jalan kemahsyuran atau kekayaan. Pada akhirnya, kependekaran adalah laku moral. Semakin tinggi kesaktian, maka semakin besar pula tanggung jawab yang harus diemban. Kesaktian adalah kekuasaan. Tak heran jika banyak pendekar yang tersesat menjadi golongan hitam, karena tak punya falsafah yang kokoh atas kesaktiannya. Kesaktian lalu menjadi angkara yang membinasakan.
Kalaupun ada kelemahan dalam novel ini, maka itu terletak pada editing yang kurang sistematis. Saya banyak menemukan salah ketik yang cukup mengganggu. Mulanya saya berpikir, jangan-jangan demikianlah cara bertutur manusia di masa silam. Tapi setelah membaca dengan teliti, ternyata itu adalah salah ketik.
Secara keseluruhan, novel ini sangat menghibur dan memperkaya wawasan saya. Ciaaattt!!!!! Awas Kakang!!!
2 komentar:
sabar menunggu buku ketiganya
Salam dari sesama penggemar Kho Ping Ho. Trims atas resensi Nagabumi. Kita sepaham dalam banyak hal.
Btw, silakan mampir ke http://ceritera.net/stories/11-legenda-lamafa jika tertarik dengan ceritera silat fantasi bernuansa indonesia.
Posting Komentar