Kebahagiaan adalah Udara yang Melingkupi


HARI ini ada lagi orang bunuh diri dengan cara melompat dari gedung tinggi. Seorang perempuan bernama Linda Sari (34) ditemukan tewas karena melompat dari lantai 27 dari Apartemen Harmoni, Jalan Suryopranoto, Jakarta Pusat.

Linda bukanlah pembantu. Malah, ia adalah pemilik tunggal apartemen pribadinya di lantai 27 tersebut. Dari segi finansial, ia jelas sangat jauh dari cukup. Bagi warga masyarakat yang hidup di pinggiran kali Ciliwung, Linda menjalani hidup ala Cinderella. Hartanya berlimpah sampai-sampai sanggup membeli sebuah apartemen, yang di Jakarta brata-rata harganya dia atas Rp 1 miliar. Lantas, mengapa ia memilih bunuh diri?

Banyak yang berspekulasi bahwa ia depresi karena pada usia 34 tahun masih lajang. Dunia sekitarnya menuntut ia segera menikah, namun ia tak punya pilihan. Mungkin pula ia depresi karena putus hubungan dengan seseorang. Kata seorang psikolog, seorang perempuan lebih emosional dalam menghadapi suatu masalah. Mereka mudah panik dan menyelesaikan masalah dengan jalan pintas. Ini berbeda dengan pria yang lebih rasional dan bisa menyelesaikan masalah dengan lebih tenang.

Tapi apakah sesimpel itu hingga harus mengorbankan nyawa? Kadang saya agak ragu dengan analisis para psikolog itu. Bagi saya, fenomena ini hanyalah puncak gunung es dari permasalahan sosial yang sesungguhnya mendera bangsa ini. Bagi saya, ada soal besar yang dirasakan perempuan seperti Linda, dan soal itu --tanpa sadar-- juga sedang mengepung kita. Masyarakat kita terlampau sibuk dan bergulat dalam dilema pencarian kebahagiaan, sebuah titik yang membuat kita nyaman sebenar-benarnya, selalu merasa cukup, tanpa diganggu rasa depresi.

Kita kerap alpa dalam mendefinisikan bahagia. Kita selalu hanya melihatnya dengan capaian-capaian ekonomi dan simbol-simbol material. Untuk itu, kemudi hidup kita digerakkan dalam orbit material. Kita mencari ilmu setinggi-tingginya, lalu harta sebanyak-banyaknya. Kelak kita akan tiba pada satu titik bahwa semua itu tidak selalu memberikan rasa nyaman bagi kita. Harta yang menimbun itu tidak bisa memberikan rasa damai. Setiap saat kita was-was dan ketakutan. Sementara mereka yang berumah di pinggir kali justru menemukan kenyamanan tersebut, sesuatu yang kita cari hingga mengorbankan banyak waktu kita dalam hidup.

Fenomena Linda bukanlah fenomena tunggal. Banyaknya warga yang bunuh diri mestinya menjadi perhatian serius bahwa ada masalah serius yang sedang melanda bangsa ini. Pemerintah sibuk berretorika tentang pertumbuhan ekonomi yang harus tinggi agar meninggikan derajat hidup warganya. Tapi fenomena Linda yang berasal dari latar sosial yang makmur menjadi alarm bagi kita bahwa materi bukanlah satu-satunya hal yang dicari manusia. Kita memang mencari bahagia dan demi kebahagiaan itu kita siap melakukan apapun.

Tapi, apakah bahagia memang sampai sejauh itu? Kata Jalaluddin Rumi, manusia yang mencari kebahagiaan ibarat ikan laut yang sibuk mencari air. Bahagia ibarat udara yang senantiasa melingkupi kita. Bahagia adalah sesuatu yang amat dekat dengan diri kita. Dia adalah sesuatu yang tak berjarak, mengisi sesuatu tanpa menuang. Bahagia melingkupi segala sesuatu. Bahagia mengikuti kemanapun kita pergi, namun sayangnya, tak banyak dari kita yang menemukan bahagia tersebut.

Banyak orang arif yang menyarankan untuk bahagia kita tak perlu gelisah dengan apa yang belum kita miliki. Keinginan seperti itu adalah penjara yang membatasi semua gerak kita, memaksa kita untuk mengejar sesuatu, hingga membuat hidup seperti upaya mengejar deadline tertentu. Kita tak menikmati hari sebab setiap saat kita harus mengejar target-target tertentu. Setiap saat kita bergegas, dan waktu menjelma jadi menit-menit yang tanpa makna. Kita tenggelam dalam aktivitas demi mengejar sesuatu yang menjadi ambisi kita.

Ketimbang memikirkan apa yang belum kita miliki, jauh lebih baik jika kita fokus pada apa yang kita miliki. Kita renungi apa yang kita miliki dan melihat mereka yang lebih kekurangan dari kita. Perenungan itu akan membawa kita pada sebersit bahagia bahwa betapa beruntungnya itu. Ternyata, kita punya sesuatu yang tidak dimiliki orang lain, dan semestinya itu harus disyukuri. Ayah saya sering bilang, “Jangan terlampau sering menoleh ke atas. Banyak-banyaklah menoleh ke bawah.” Petuah ini sangat sederhana. Namun betapa pentingnya ketika meresapi makna yang terkandung di baliknya.

Mungkin, sebab-sebab depresi adalah karena kita terlalu sering melihat ke atas, hal-hal yang belum kita miliki dan dimiliki orang lain. Sementara ‘melihat ke bawah’ mengadung implikasi makna agar kita selalu bersyukur pada apa-apa yang kita capai dan –boleh jadi—belum dicapai orang lain. Tak selalu material. Boleh jadi apa yang saat ini kita punyai adalah fisik yang sehat dan rasa bahagia karena dilingkupi orang-orang yang kita cintai. Ini adalah asas yang hidup dan berdenyut dalam masyarakat kita sendiri. Agama dan moralitas tradisional dalam masyarakat kita sudah banyak mencatat kearifan-kearifan tersebut dan ajakan agar kita selalu bersyukur. Dan betapa bodohnya kita karena terlalu modern dan mengejar hal-hal yang jauh di luar jangkauan kita. Untuk bahagia, kita hanya perlu bersyukur dan ikhlas. Kita mencapai ketenangan sebagaimana yang dimiliki oleh mereka yang hidup tanpa rasa ambisi dan ketakutan.

Pada saat menulis ini, saya baru saja disapa tetangga sebelah rumah. Kakinya lumpuh sejak kecil sehingga kalau berjalan ia selalu menyeret tubuhnya. Tapi ia mandiri. Ia tidak larut dalam keberadannya sebagai orang cacat. Ia menjadi tukang kayu dan mengerjakan pekerjaan berat yang tidak sanggup dilakukan orang normal. Rumahnya sederhana, hanya berdinding bambu. Tapi jangan tanya seberapa banyak kebahagiaannya. Di rumah itu, ia punya seorang istri dan empat orang anak yang selalu gembira. Rumahnya riuh dengan gelak tawa. Dan setiap pagi, ia selalu menyapa saya dengan senyum lebar, sesuatu yang membuat saya iri.

Tiba-tiba saja saya tersentak. Dalam keterbatasan itu, ia lebih bahagia dari Linda Sari yang bunuh diri di apartemen mewah.....



0 komentar:

Posting Komentar