BARUSAN saya nonton film 2012 tentang hari kiamat. Filmnya dahsyat. Visualisasi kiamat dan aneka bencana benar-benar memukau. Saya dicekam kengerian saat melihat air bah, gunung meletus, atau gempa bumi yang membelah tanah dan menelan semua yang di permukaan. Saya tercekat menyaksikan bumi yang membelah, air bah yang membanjiri daratan tinggi Himalaya hingga gempa yang membelah Amerika.
Usai nonton, saya speechless. Saya ngeri membayangkan bagaimana kiamat nanti. Entah, apakah kelak saya menyaksikannya langsung, ataukah anak cucu kelak. Tapi, gambaran kiamat itu sudah bikin saya merinding. Meski saya bukan seorang penganut agama yang taat, hingga kini saya masih meyakini bahwa kiamat pasti akan datang. Setidaknya, saya melihat alam semesta sebagai mesin yang kelak akan aus. Setiap tahun, alam semesta mengalami penyusutan, sehingga kelak akan tiba pada titik bernama kiamat sebagai akhir dari semuanya.
Pada saat seperti itu, apakah yang bisa kita lakukan? Masihkah kita pongah pada kemajuan peradaban kita di hari ini? Dalam satu bagian film ini, terlihat visualisasi tentang Basilika Santo Petrus di Roma yang remuk, patung Yesus di Brazil yang hancur berkeping-keping, dan tugu Lincoln Memorial yang remuk. Mungkin semacam pesan bahwa di atas kebudayaan dan kebanggan tentang prestasi suatu bangsa, sesungguhnya manusia bergelut dengan persoalan yang sama, manusia mendiami bumi yang sama, dan kelak akan sama menghadapi kehancuran. Simbol kemajuan hanyalah fatamorgana yang membedakan kita dnegan manusia yang lainnya. Dalam situasi bencana alam, kita tiba-tiba saja menjadi satu, tanpa melihat perbedaan satu sama lain..
Film 2012 yang dibesut Roland Emmerich memang menyajikan tema tentang kiamat. Tapi saya lebih sepakat kalau film ini menyajikan tema tentang runtuhnya peradaban manusia. Pada saat bumi kiamat, maka setelah itu datanglah zaman baru dan kita akan menata peradaban yang baru, tanpa mengenal istilah bangsa dan negara. Jejak yang lama akan punah degan sendirinya, sehingga kelak kita akan memulai segalanya dari titik nol. Sejarah masa silam yang kelam, sejarah saling bunuh antar bangsa, akan menjadi kenangan yang lebur bersama smeua simbol kemajuan. Manusia akan menuliskan kemali sejarah baru, dan zaman akan kembali bergerak.
Bagi saya, film ini tak cuma menawarkan kengerian saja. Film ini menghamparkan dialog yang filosofis tentang peradaban, tatanan dunia, serta posisi bangsa-bangsa di tataran internasional. Film ini menyoroti tentang beban yang harus dihadapi Presiden AS yang berkulit hitam (mengingatkan pada Obama). Ia memilih tidak ke mana-mana dan bertahan di negerinya yang remuk dihantam gempa. Kemudian bagaimana upaya manusia untuk bertahan di tengah situasi seperti ini.
Para pemimpin negara kemudian bersama-sama mengungsi dengan bahtera (kapal) besar yang dibangun di atas pegunungan Himalaya dan digunakan untuk menyelamatkan diri. Ini mengingatkan pada kisah Nabi Nuh (apalagi, ada anak bernama Noah dalam film itu) yang membangun kapal di atas bukit. Kapal itu menyelamatkan manusia dan beberapa binatang. Meskipun untuk itu, terdapat dilema ketika ribuan manusia lainnya tidak punya kesempatan untuk menyelamatkan diri. Seperti dalam film Titanic, ribuan manusia lalu ‘berkelahi’ demi bisa ikut kapal besar
Selain visual effect yang memukau (inilah kehebatan Emmerich), tampaknya Emmerich seakan kehabisan ide dalam filmnya. Buktinya, film ini tak banyak berbeda dengan film Emmerich sebelumnya yakni The Days After Tomorrow (TDAT). Malah, film TDAT lebih banyak menyajikan fakta-fakta ilmiah tentang pemasanan global yang kelak akan berdampak pada bumi.
Sementara 2012 tidak banyak menyajikan fakta. Sebagai penonton, kita hanya diperkenalkan dengan ramalan dari bangsa Maya tentang akhir bumi pada 2012. Itupun tidak dieksplor lebih jauh ala Da Vinci Code. Nujuman bangsa Maya itu hanya disebut sekilas. Sebagai penonton, kita lebih banyak disuguhi visualisasi bencana yang amat dahsyat dan menenggelamkan semua jejak peradaban manusia.
Setidaknya menyaksikan film ini seakan meneguhkan kembali iman tentang adanya hari akhir. Memang, keyakinan tentang hari kiamat adalah fundasi penting dalam keimanan, sesuatu yang harud diyakini, tanpa harus dipertanyakan rasionalitasnya. Film ini bisa menjadi mercusuar untuk kembali pada iman tentang hari akhir, yang kemudian melahirkan matahari kesadaran akan pentingnya menata masa kini yang damai dari berbagai intrik antar bangsa. Mungkin, inilah pesan akhir yang hendak disampaikan dalam film.(*)
0 komentar:
Posting Komentar